KABARBURSA.COM - Pemerintah menetapkan ambisi besar dengan target penerimaan negara sebesar Rp2.997 triliun dalam Nota Keuangan RAPBN 2025. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp2.490 triliun diharapkan datang dari penerimaan pajak.
Target ini, meski tampak ambisius, diyakini masih realistis oleh pemerintah jika pertumbuhan ekonomi tetap stabil. Kebijakan fiskal tahun 2025 dirancang untuk mendorong Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan, dengan tujuan menciptakan pertumbuhan yang lebih tinggi serta merata.
Ekonom sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, memberikan pandangannya terhadap target tersebut. Menurutnya, meski pemerintah optimis, tantangan besar tetap mengintai. "Apakah ini rasional dan feasible? Berdasarkan tren penerimaan sebelumnya yang mencapai Rp2.802 triliun serta target penerimaan tahun 2024 yang dipatok di angka Rp2.309 triliun, sasaran ini tampaknya feasible karena peningkatannya tidak terlalu tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," ujar Didik dalam keterangan tertulisnya kepada Kabar Bursa, Minggu, 18 Agustus 2024.
Namun, tantangan eksternal tak dapat diabaikan. Pemerintah mengakui bahwa kondisi global, seperti perlambatan ekonomi dunia, ketidakpastian geopolitik, hingga fragmentasi geokonomi, akan berdampak negatif terhadap investasi dan perdagangan.
Untuk mencapai target pertumbuhan yang lebih tinggi, kebijakan makro yang kuat menjadi krusial, terutama dalam meningkatkan investasi dan ekspor sebagai motor utama.
Didik juga menyoroti semakin besarnya defisit anggaran yang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam RAPBN 2025, defisit diperkirakan akan mencapai Rp616,2 triliun.
Defisit ini, menurut Nota Keuangan, adalah konsekuensi dari kebijakan fiskal ekspansif yang diterapkan selama masa transisi pemerintahan. Namun, Didik mengingatkan bahwa beban utang akibat defisit ini akan semakin berat bagi negara. "Utang yang terus menumpuk akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan selanjutnya, terutama dalam menjaga keseimbangan fiskal dan mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang," jelas Didik.
Pemerintah tetap bersikukuh bahwa kebijakan fiskal tahun 2025 bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. RAPBN 2025 disusun dengan fokus mendukung transformasi ekonomi melalui peningkatan investasi, pembangunan infrastruktur, serta dorongan menuju ekonomi hijau.
Meski demikian, Didik mengingatkan, tanpa adanya reformasi struktural yang mendalam, terutama di sektor manufaktur dan industri, target pertumbuhan yang dicanangkan pemerintah mungkin sulit terwujud.
Di sisi lain, Didik memberikan perhatian khusus pada kebijakan perpajakan. Menurutnya, meski target penerimaan pajak sebesar Rp2.490 triliun sudah ditetapkan, pencapaian target ini bergantung pada keberhasilan reformasi perpajakan, termasuk digitalisasi dan perluasan basis pajak. "Reformasi perpajakan harus lebih fokus pada sektor-sektor yang saat ini masih terabaikan, seperti sektor industri non-migas, jasa, dan ekonomi digital. Sektor-sektor ini harus digali lebih dalam untuk meningkatkan penerimaan pajak," tegas Didik.
Menurut Didik, jika pertumbuhan sektor tersebut bisa tumbuh 8-10 persen, maka pengumpulan pajak akan mendapat ruang yang lebar.
Meski begitu, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mencapai target penerimaan pajak di tahun 2025. Menurut Didik, kondisi ekonomi saat ini cukup berat, terutama dengan daya beli masyarakat yang turun dan kelas menengah yang semakin tertekan. “Kondisi sekarang cukup berat di mana daya beli masyarakat turun. Kelas menengah juga berat kondisinya dan bahkan turun kelas,” katanya.
Ia menambahkan, pencapaian target penerimaan pajak akan sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin, jika pertumbuhan ekonomi stagnan di bawah atau sekitar 5 persen. Menurutnya, ini tidak sejalan dengan janji kampanye presiden terpilih Prabowo Subianto yang mengharapkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. “Tidak usah seperti janji kampanye pertumbuhan ekonomi 8 persen, jika pertumbuhan ekonomi bisa didorong 6-6,5 persen, maka sasaran penerimaan pajak tersebut bisa dicapai,” tegasnya.
Didik pun menekankan pentingnya menggali sektor-sektor baru yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan penerimaan pajak, seperti ekonomi digital dan ekonomi kreatif.
Dia menyoroti bahwa dengan berkembangnya e-commerce, fintech, dan layanan berbasis digital, sektor-sektor ini dapat menjadi peluang besar untuk menambah penerimaan negara. “Dengan berkembangnya e-commerce, fintech, dan layanan berbasis digital, sektor ini merupakan peluang besar untuk menambah penerimaan pajak melalui pengenaan pajak pada platform digital dan transaksi daring,” ungkapnya.
Selain itu, Didik juga menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kebijakan fiskal dan keberlanjutan ekonomi. Dalam Nota Keuangan, pemerintah menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan program-program pembangunan, sambil memastikan bahwa kebijakan fiskal tetap inklusif dan berkelanjutan.
Hal ini dilakukan untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 yang diharapkan mampu membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi yang kuat dan merata. (*)