KABARBURSA.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memprediksikan nilai tukar rupiah sebesar Rp16.100 per dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun depan.
“Nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada di sekitar Rp16.100 per Dolar AS, suku bunga SBN 10 tahun berada di 7,1 persen,” kata Jokowi dalam Pidato tentang RUU APBN Tahun Anggaran 2025 Berserta Nota Keuangan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024.
Jokowi juga memperkirakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan berada pada USD82 per barel. Sementara lifting minyak diperkirakan mencapai 600.000 barel per hari dan gas bumi mencapai 1,005 juta barel setara minyak per hari.
Jokowi menerangkan penyusunan RAPBN 2025 didasarkan pada asumsi dasar seperti, inflasi akan dijaga pada kisaran 2,5 persen. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 5,2 persen.
“Karena kondisi ekonomi global yang masih relatif stagnan, pertumbuhan ekonomi kita akan lebih bertumpu pada permintaan domestik. Daya beli masyarakat akan dijaga ketat, dengan pengendalian inflasi, penciptaan lapangan kerja, serta dukungan program bantuan sosial dan subsidi,” jelas dia.
Selain itu, Jokowi juga mengatakan, bahwa pemerintah akan terus mengupayakan peningkatan produk-produk yang bernilai tambah tinggi yang berorientasi ekspor. Tentu hal itu akan didukung oleh insentif fiskal yang kompetitif dengan tetap menjaga keberlanjutan fiskal.
“Bauran antara fiskal, moneter, dan sektor keuangan akan dijaga untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas sistem keuangan,” ujar Jokowi.
Pergerakan mata uang rupiah hari ini dibayangi oleh penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN oleh Presiden Jokowi yang mencantumkan asumsi kurus pada tahun depan.
Pada Kamis, 15 Agustus kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan melemah 0,16 persen atau 24,5 poin ke posisi Rp15.699,5 per dolar AS.
Pada saat yang sama, indeks dolar terpantau menguat 0,06 persen ke posisi 102,62.
Sama seperti rupiah, mata uang Asia lainnya pun mengalami pelemahan. Yen Jepang melemah 0,02 persen, won Korea melemah 0,06 persen, yuan China melemah 0,25 persen, dan dolar Singapura melemah 0,13 persen.
Sementara, mata uang Asia lainnya mengalami penguatan. Dolar Hongkong menguat 0,03 persen, peso Filipina menguat 0,04 persen, rupee India menguat 0,03 persen, dan baht Thailand menguat 0,31 persen.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan pergerakan rupiah pada hari ini cenderung fluktuatif tetapi berpotensi ditutup menguat di rentang Rp15.630-Rp15.720 per dolar AS.
Adapun, nilai wajar rupiah diperkirakan Bahana Sekuritas di kisaran Rp15.800 hingga Rp16.000 per dolar AS.
Sementara itu, Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memperkirakan rupiah akan berada di kisaran Rp15.400 hingga Rp16.000 per dolar AS sampai dengan akhir tahun ini.
Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan, mengatakan sejumlah katalis positif dan negatif masih mewarnai pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada paruh kedua tahun ini. Salah satunya, perubahan ekspektasi The Fed pada Juli 2024 yang membuat tekanan terhadap rupiah mulai reda dan investor asing mulai mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi.
“Tekanan rupiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang SRBI (Sertifikat Rupiah Bank Indonesia] yang menurun,” kata Katarina.
Ke depan, lanjutnya, faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah di antaranya perubahan ekspektasi Fed Fund Rate (FFR), Pemilu Amerika Serikat, outlook postur RAPBN 2025, stabilitas inflasi domestik, dan kebijakan pemerintah baru.
Pada pembukaan perdagangan hari ini, nilai tukar rupiah dibuka di zona merah. Pergerakan itu terjadi di tengah gelaran Sidang Tahunan dan Pidato Kenegaraan di DPR/MPR. Rupiah dibuka di level Rp15.689 per dolar AS.
Adapun, pada penutupan Kamis, 15 Agustus 2024, rupiah melemah 0,16 persen atau 24,5 poin ke posisi Rp15.699,5 per dolar AS.
Hingga pukul 09.05 WIB, rupiah tercatat melemah 0,35 persen ke posisi Rp15.744 per dolar AS. Nilai tukar rupiah bergerak di rentang Rp15.689 sampai dengan Rp16.764 per dolar AS.
Suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve System atau The Fed diprediksi turun pada September sebesar 50 basis poin (bps). Menurut analisis Citi Indonesia, hal itu lalu diikuti penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI).
“Jadi kami perkirakan September besok suku bunga The Fed 50 bps turun, diikuti 50 bps lagi di bulan Oktober, dan diikuti penurunan 25 bps pada setiap pertemuan, sehingga di pertengahan 2025 suku bunga ada di 3,25 persen,” jelas Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman dalam konferensi pers di Park Hyatt, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Agustus 2024.
Kemudian Helmi menyoroti Pemilihan Presiden (Pilpres) AS dan dampaknya terhadap perekonomian global. Menurut dia, jika perang dagang antara AS dan China terulang seperti saat Donald Trump memimpin, ada potensi dolar AS bakal semakin menguat.
Yuan China bakal terdepresiasi dan berpengaruh juga terhadap mata uang negara-negara berkembang. Ia menyebut, yuan berperan sebagai jangkar bagi nilai tukar negara-negara berkembang.
“Sebagaimana kita lihat pada pemerintahan Donald Trump periode 2016-2020, setiap terjadi pengenaan tarif dari AS terhadap barang-barang China, biasanya diikuti dengan penguatan dolar, karena mata uang China, Yuan terdevaluasi, dan ini berisiko bagi nilai tukar negara-negara berkembang, karena Yuan China jangkarnya nilai tukar negara-negara berkembang,” ujar Helmi.
Inflasi mendasar di AS mengalami penurunan untuk bulan keempat berturut-turut pada Juli, memberikan indikasi bahwa Federal Reserve mungkin akan melanjutkan rencananya untuk menurunkan suku bunga pada bulan depan.
Indeks harga konsumen inti, yang mengabaikan biaya makanan dan energi, naik 3,2 persen pada Juli dibandingkan tahun lalu. Angka ini merupakan laju pertumbuhan terendah sejak awal tahun 2021.
Laporan dari Biro Statistik Tenaga Kerja pada Rabu 14 Agustus 2024 menunjukkan bahwa indikator bulanan naik 0,2 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan pembacaan Juni yang sangat rendah.
Para ekonom sering kali menganggap indikator inti sebagai tolok ukur yang lebih akurat untuk inflasi mendasar dibandingkan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) secara keseluruhan.
Indikator tersebut juga menunjukkan kenaikan 0,2 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan 2,9 persen dibandingkan tahun lalu. Menurut BLS, hampir 90 persen dari kenaikan bulanan disebabkan oleh kenaikan biaya tempat tinggal, yang meningkat dibandingkan Juni.
Inflasi umum masih menunjukkan tren penurunan karena ekonomi perlahan-lahan beralih ke tingkat yang lebih rendah.
Dengan adanya pelemahan di pasar tenaga kerja, The Fed diperkirakan akan mulai menurunkan suku bunga bulan depan. Namun, besaran pemangkasan suku bunga kemungkinan akan diputuskan berdasarkan data tambahan yang akan dirilis.
Sebelum pertemuan September, para pejabat The Fed akan menganalisis data inflasi lebih lanjut serta laporan ketenagakerjaan lainnya. Laporan tersebut akan menjadi fokus setelah angka-angka mengecewakan pada Juli memicu aksi jual di pasar global dan meningkatkan kekhawatiran resesi.
Gubernur The Fed, Jerome Powell, dan rekan-rekannya baru-baru ini menekankan fokus mereka pada sisi tenaga kerja dari mandat ganda mereka, yang kemungkinan akan dibahas lebih lanjut dalam simposium tahunan mereka di Jackson Hole, Wyoming, minggu depan.
Sementara itu, saham berjangka menunjukkan fluktuasi dan imbal hasil obligasi mengalami kenaikan. Para trader kini menetapkan probabilitas yang lebih rendah untuk pemangkasan sebesar 50 basis poin pada bulan September. (*)