Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Alasan Kemenkeu Belum Laksanakan Rekomendasi IMF soal Pajak

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 15 August 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Alasan Kemenkeu Belum Laksanakan Rekomendasi IMF soal Pajak

KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan alasan kenapa pemerintah Indonesia belum mengimplementasikan sejumlah rekomendasi dari Dana Moneter Internasional (IMF) terkait upaya peningkatan pendapatan negara atau pajak.

Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menyatakan bahwa pemerintah menerima banyak rekomendasi dari berbagai lembaga internasional, bukan hanya dari IMF. Beberapa rekomendasi masih dalam tahap kajian.

“Bukan hanya dari IMF, kami juga sering menerima rekomendasi dari berbagai lembaga internasional lainnya. Beberapa sudah diadopsi, sementara yang lain masih dalam proses kajian,” ujar Yon saat ditemui di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu, 15 Agustus 2024.

Yon menambahkan bahwa ada beberapa kebijakan yang telah diadopsi dan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Contohnya, penerapan tarif progresif bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang kini berkisar antara 5 persen hingga 35 persen.

Selain itu, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet hingga Rp500 juta per tahun diberikan pembebasan pajak, sehingga mereka tidak perlu membayar Pajak Penghasilan (PPh) final yang biasanya dikenakan sebesar 0,5 persen.

“Beberapa rekomendasi yang kami anggap dapat segera diimplementasikan sudah dimasukkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah,” jelasnya.

Meskipun beberapa langkah telah diambil, terdapat strategi dalam Medium-Term Revenue Strategy (MTRS) 2017 yang belum terealisasi di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam laporan IMF Country Report Nomor 24/270 yang dirilis awal Agustus 2024, tercatat beberapa strategi penting yang belum dilaksanakan, seperti pengenalan cukai bahan bakar minyak (BBM), pajak minimum alternatif, penurunan pajak transaksi properti (PPN dan BPHTB), serta peningkatan pajak properti (PBB).

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, memberikan pandangannya terkait saran-saran IMF ini. Menurutnya, implementasi rekomendasi tersebut tidak semudah yang dibayangkan.

Meskipun IMF memperkirakan saran ini bisa menambah pendapatan negara sebesar 6,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau lebih dari Rp1.200 triliun (PDB 2023 sebesar Rp20.892,4 triliun), faktanya pemerintah sering menghadapi banyak hambatan dan pro kontra saat menerapkan kebijakan perpajakan baru.

“Semua opsi memang perlu dilakukan. Jika semua itu diterapkan, maka akan menghasilkan penerimaan negara yang cukup signifikan,” kata Fajry.

Ia juga menyoroti tantangan ekonomi informal (shadow economy) yang semakin marak. Menurutnya, pemerintah harus segera mengatasi masalah ini, terutama karena peningkatan shadow economy didorong oleh fenomena deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia.

“Perlu melakukan industrialisasi. Peningkatan shadow economy yang sekarang terjadi disebabkan oleh ekonomi kita yang mengalami deindustrialisasi. Peran sektor manufaktur perlu ditingkatkan,” kata Fajry.

Sebagai contoh, Fajry menjelaskan, bahwa sektor pertanian masih memiliki kontribusi kecil terhadap PDB. Hal ini disebabkan oleh kesulitan pemajakan di sektor ini, karena mayoritas pelakunya adalah usaha kecil atau perorangan yang sering mendapatkan fasilitas pajak.

“Hal ini karena sektor pertanian sulit dipajaki (sebagian besar usaha kecil perorangan) dan mendapatkan fasilitas pajak,” tandasnya.

10 Tahun Pemerintah Pajak, Rasio Pajak Turun

Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengerek rasio pajak hingga 12,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) tidak terwujud. Justru kebalikannya, terjadi penurunan.

Sebagai pengingat, saat pertama kali menjabat sebagai Presiden RI, tepatnya setelah dilantik yaitu 2015, penerimaan pajak yang berhasil didapat negara sebesar Rp1.240,42 triliun dengan rasio pajak 10,76 persen terhadap PDB.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, tahun pertama Jokowi berkuasa di 2015, rasio pajak masih di angka 10,76 persen dari PDB, turun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 10,85 persen.

Penurunan berlanjut hingga 2017 ke angka 9,89 persen, kemudian naik ke angka 10,24 persen pada 2018.

Tren kenaikan tidak dapat dipertahankan. Pada 2020, rasio pajak Indonesia kembali turun ke level 8,33 persen, menjadi titik terendah dalam dua periode kepemimpinan Jokowi. Pandemi COVID-19 dituding sebagai dalang utama penurunan ini, diiringi oleh kemerosotan ekonomi global.

Jokowi kemudian meluncurkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II pada 2022. Program ini berhasil mengangkat rasio pajak menjadi 10,39 persen. Namun, tanpa PPS, rasio pajak hanya akan mencapai 10,08 persen.

Di sepanjang 2022 dan 2023, rasio pajak terjaga di atas 10 persen, berkat lonjakan harga komoditas global.

Indonesia memang mendapat ‘durian runtuh’ dengan kenaikan penerimaan negara yang signifikan melonjak hingga 31,09 persen year on year (yoy) pada 2022, dan masih tumbuh 5,25 persen pada 2023. Sayangnya, fenomena ini tidak diikuti oleh peningkatan rasio pajak yang lebih tinggi.

Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, rasio pajak ditargetkan mencapai 10,7 persen hingga 12,3 persen terhadap PDB.

Jika dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya, di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menunjukkan capaian berbeda. Ketika terjadi booming komoditas bersamaan dengan krisis global 2008, rasio pajak langsung melonjak dan mencapai titik tertinggi pada angka 13,31 persen.

Anggota Komisi XI DPR, Primus Yustisio, menuding Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya membanggakan keberhasilan penerimaan negara yang melampaui target, tapi tak mampu mengangkat rasio pajak.

“Kalau dibandingkan 10 tahun, pemerintahan Pak Jokowi dibandingkan Pak SBY, apple to apple, itu banyak menurun, tax ratio di pemerintah ini jadi yang terendah di era pemerintahan SBY,” ucap Primus beberapa waktu lalu.

Primus pun menyinggung potensi pajak dari kegiatan digital layak didorong untuk memperkuat kas negara. Pada Juli 2024, penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital seperti Google dan perusahaan pinjaman online tercatat mencapai Rp26,75 triliun.

Namun, angka ini berasal dari transaksi, bukan dari seluruh aktivitas usaha dan laba perusahaan-perusahaan digital raksasa. (*)