KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan bahwa pertumbuhan industri ritel modern pada tahun 2024 kemungkinan hanya akan mencapai 4,1 persen hingga 4,2 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, mengungkapkan bahwa pada kuartal II 2024, pertumbuhan industri ritel modern diperkirakan hanya akan mencapai 3,5 persen yoy, jauh di bawah pertumbuhan 4 persen yoy yang tercatat pada periode April—Juni tahun lalu.
“Pertumbuhan ritel tentu terkoreksi dengan adanya deflasi berturut-turut. Deflasi itu penurunan permintaan, penurunan belanja,” kata Roy di Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2024.
Adapun proyeksi tersebut bahkan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan industri ritel modern pada semester I 2023 yang mencapai 4,85 persen. Sementara itu, data kinerja industri ritel untuk sepanjang tahun 2023 masih dalam proses rekapitulasi.
“Itu artinya konsumen menahan belanja. Artinya bisa dua, karena sentimen untuk level atas, belum ada kepastian. Atau, kedua, karena masyarakat menahan belanja akibat memang hilang daya belinya karena PHK," ujarnya.
Menurut Ketua Umum Aprindo itu, perlambatan tersebut disebabkan oleh terganggunya daya beli konsumen akibat meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri di dalam negeri.
Faktor Suku Bunga
Roy menekankan bahwa penurunan daya beli masyarakat akibat gelombang PHK terjadi bersamaan dengan kebijakan moneter yang ketat, di mana Bank Indonesia (BI) menetapkan suku bunga acuan sebesar 6,25 persen sejak April 2024. Kondisi ini menambah tekanan terhadap daya beli masyarakat, yang kini semakin terbebani oleh biaya hidup dan cicilan kredit yang lebih tinggi.
Dengan suku bunga acuan tetap di level 6,25 persen, Roy menjelaskan bahwa perbankan juga akan meningkatkan suku bunga kreditnya. Akibatnya, masyarakat cenderung akan menunda konsumsi impulsif pada Juli—Agustus 2024 untuk menyesuaikan dengan peningkatan angsuran kredit. Penundaan ini dapat berdampak pada pertumbuhan konsumsi dalam negeri, yang merupakan salah satu pilar penting perekonomian.
"Makanya, kita selalu suarakan BI Rate jangan terlalu lama tinggi. Kami berharap pada semester kedua, BI Rate turun jadi 6 persen atau 5,75 persen," imbuhnya. Ia berharap penurunan suku bunga acuan dapat meringankan beban masyarakat dan memacu kembali aktivitas konsumsi serta investasi.
Di sisi lain, momentum pemilihan kepala daerah atau pilkada yang akan digelar pada November 2024 juga diprediksi memengaruhi keputusan konsumen dalam belanja. Biasanya, pada periode menjelang pilkada, ada pergeseran pola konsumsi masyarakat, di mana mereka lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka, menunggu hasil pemilu dan kebijakan ekonomi yang mungkin diterapkan oleh para pemimpin baru. Kondisi ini dapat memperpanjang periode lesunya konsumsi, sehingga diperlukan kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Tantangan Sektor Ritel
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkap kebijakan pengaturan impor yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 telah menimbulkan banyak tantangan dalam dunia perdagangan ritel terutama terkait dengan barang-barang impor.
Menurutnya, terkait implementasi Permendag 31 atau 36 mengenai impor produk ritel dinilai problematik. Beberapa aplikasi, seperti aplikasi Temut, menghadapi kesulitan dalam penerapan kebijakan ini, menunjukkan bahwa ada kekurangan dalam proses implementasi yang harus diatasi.
“Ini yang jadi cacatan policy kita bagaimana implementasi Permendag 31 atau 36 soal importasi produk ritel saya kira ini jadi problem,” Kata Tauhid di Jakarta Pusat, Rabu, 14 Agustus 2024.
Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai kesehatan, termasuk undang-undang terkait, menyoroti dampak pada industri, khususnya industri hasil tembakau.
Tembakau merupakan salah satu komoditas utama dengan konsumsi yang tinggi setelah makanan pokok dan penyumbang devisa negara hampir Rp200 triliun. Penurunan konsumsi tembakau ini berpotensi berdampak signifikan pada sektor ritel.
“Tembakau ini nomor 2 konsumsinya setelah makanan pokok dan itu penyumbang devisa negara hampir Rp200 triliun, ketika turun bagaimana dampaknya kepada sektor ritel,” ujarnya.
Tauhid mempertanyakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan terlibat dalam penandatanganan kebijakan ini. Keputusan tersebut penting karena berkaitan dengan waktu tayang, social commerce, e-commerce, serta standar yang berdampak langsung pada perdagangan ritel.
Kemendag perlu memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan dapat mendukung keberlanjutan sektor ritel dan mengatasi tantangan yang ada dengan solusi yang efektif. Hal ini termasuk menyesuaikan kebijakan impor dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.