Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Aprindo Usulkan BLT dan Bantuan Sosial Dilanjutkan, Ada Apa?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 14 August 2024 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Aprindo Usulkan BLT dan Bantuan Sosial Dilanjutkan, Ada Apa?

KABARBURSA.COM - Daya beli masyarakat yang stagnan dan cenderung menurun menjadi perhatian serius bagi para pelaku usaha ritel di Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, mengungkapkan bahwa penurunan daya beli sudah terasa sejak akhir Mei 2024, dan situasi ini diprediksi akan bertahan hingga akhir tahun. Menurut Roy, kondisi ini diperparah oleh tingginya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) yang masih berada di level 6,25 persen, yang dinilai menghambat permintaan dan konsumsi.

Roy juga menyoroti terjadinya deflasi selama tiga bulan berturut-turut, yang ia sebut sebagai indikasi bahwa masyarakat mulai mengurangi belanja. Hal ini diperkirakan akan membuat kinerja bisnis ritel pada semester II/2024 stagnan, dengan pertumbuhan yang sama seperti semester II/2023, yaitu sekitar 4,8 persen - 4,9 persen.

Untuk mengatasi situasi ini, Roy mengusulkan sejumlah stimulus dari pemerintah. Bagi masyarakat, ia menyarankan agar bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan sosial lainnya tetap dilanjutkan, terutama bagi kalangan masyarakat bawah yang paling terdampak oleh kenaikan harga kebutuhan pokok.

Untuk kelas menengah, Roy mengusulkan subsidi tarif listrik guna menjaga daya beli mereka, karena banyak di antara mereka yang telah menguras tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, kalangan masyarakat atas membutuhkan kepastian ekonomi untuk mendukung stabilitas keuangan mereka.

Dari sisi pelaku usaha, Roy meminta insentif fiskal, seperti keringanan pajak, subsidi tarif listrik, dan bantuan upah bagi pekerja ritel. Hal ini penting mengingat 65 persen pekerja di sektor ritel adalah lulusan sekolah menengah atas (SMA), yang sangat membutuhkan bantuan tersebut.

Jika daya beli dan permintaan tidak segera membaik, Roy mengakui bahwa para pengusaha ritel mungkin harus melakukan langkah-langkah efisiensi, seperti menahan ekspansi gerai, relokasi, hingga pengurangan tenaga kerja. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menambahkan bahwa terhambatnya ekspansi ritel secara langsung akan berdampak pada kinerja pusat perbelanjaan.

Ia mencatat bahwa banyak ritel besar, seperti Matahari Department Store dan Hypermart, menahan diri untuk membuka gerai baru, bahkan beberapa di antaranya terpaksa menutup gerai yang sudah ada.

Kondisi ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh sektor ritel dan pusat perbelanjaan di tengah daya beli masyarakat yang lemah dan suku bunga yang tinggi. Tanpa adanya stimulus yang efektif dari pemerintah, baik konsumen maupun pengusaha ritel akan terus berada dalam tekanan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Ritel Tunda Gerai Baru

Alphonzus Widjaja, mengungkapkan bahwa banyak peritel saat ini memilih untuk menunda pembukaan gerai baru. Menurut Alphonzus, hal ini terlihat dari rencana ekspansi yang menurun signifikan dari beberapa nama besar seperti Matahari dan Hypermart.

Biasanya, Matahari merencanakan pembukaan 10-15 gerai baru per tahun, tetapi tahun ini hanya menargetkan empat, bahkan menutup sepuluh toko. Hypermart juga menunjukkan tren serupa dengan tidak membuka toko baru tahun ini.

“Kita melihat pengelola pusat belanja kekurangan peritel. Banyak peritel baru yang menahan diri untuk membuka usaha baru,” jelas Alphonzus saat ditemui di Pantai Indah Kapuk (PIK) Avenue, Jakarta Utara, Kamis, 8 Agustus 2024.

Meski banyak developer siap membangun mal baru, masalahnya adalah keterbatasan peritel untuk mengisi toko-toko tersebut.

“Para developer siap membangun mal baru, tapi peritel yang mau mengisi toko-tokonya terbatas karena banyak yang menahan diri,” tambahnya.

Alphonzus menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama fenomena ini adalah maraknya impor ilegal yang membanjiri pasar domestik.

“Impor ilegal sangat berdampak pada sektor fesyen. Daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan banyak orang beralih ke barang-barang impor ilegal yang lebih murah,” ungkapnya.

Contohnya, di Tanah Abang, dengan Rp100.000, seseorang bisa mendapatkan tiga barang, yang membuat konsumen kelas menengah ke bawah lebih memilih membeli di sana.

Untuk mengatasi masalah ini, Alphonzus menyarankan agar pemerintah membuat strategi yang memungkinkan produk ritel dapat diakses oleh kalangan menengah ke bawah. Dia juga berharap pemerintah dapat menghindari regulasi yang merugikan iklim usaha dan memberikan bantuan sosial dalam bentuk tunai.

“Bantuan sosial dalam bentuk tunai lebih berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Regulasi yang membatasi daya beli harus dihindari,” pungkasnya.

Dengan demikian, maka daya beli masyakarat bisa kembali meningkat dan membawa perputaran ekonomi kembali hidup.(*)