KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 hingga akhir Juli. Meskipun APBN mencatat defisit, keseimbangan primer masih menunjukkan surplus.
Pada Senin, 13 Agustus 2024, Sri Mulyani melaporkan bahwa pendapatan negara hingga akhir Juli mencapai Rp1.454,4 triliun, yang setara dengan 55,1 persen dari target dan meningkat 4,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, belanja negara mencapai Rp1.638,8 triliun, atau 49,3 persen dari target, dengan pertumbuhan sebesar 12,2 persen.
“Jika kita lihat, pertumbuhan belanja kita cukup tinggi dan konsisten, dibandingkan bulan lalu yang tumbuh 14 persen,” ujar Sri Mulyani, Selasa, 13 Agustus 2024.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Sri Mulyani, APBN 2024 mencatat defisit sebesar Rp93,4 triliun per akhir Juli, yang setara dengan 0,41 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Defisit ini masih rendah dibandingkan dengan target defisit tahun ini dalam APBN 2024, yaitu 2,2 persen,” tambahnya.
Namun, Sri Mulyani menekankan bahwa keseimbangan primer tetap mencatat surplus sebesar Rp179,3 triliun.
Surplus keseimbangan primer ini menunjukkan bahwa utang lama tidak perlu dilunasi dengan penarikan utang baru, sehingga tidak terjadi kondisi gali lubang-tutup lubang.
Sebelumnya, Sri Mulyani menegaskan bahwa peranan APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat penting bagi perekonomian.
Karena itu perlu banyak ahli ikut meneliti dan mengevaluasi detail bagaimana APBN dan APBD berfungsi serta memberi dampak perekonomiandan kesejahteraan rakyat.
“Kita perlu memahami instrumen (APBN) yang sudah diamanahkan oleh negara untuk dikelola,” kata Sri Mulyani, Senin, 12 Agustus 2024.
Menurut dia, seluruh jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus memahami APBN dan APBD untuk berada dalam frekuensi yang sama dalam memahami amanah pengelolaan keuangan negara.
Kemenkeu, kata Sri Mulyani, membentuk jaringan Local and Regional Experts dan membangun forum Regional Chief Economist (RCE) di setiap kantor wilayah Kemenkeu.
Menurut dia, semakin banyak masyarakat dan pemangku kepentingan memahami APBN dan APBD, maka akan semakin banyak yang ikut mengawal dan menjaga Keuangan Negara untuk mencapai tujuan Bangsa.
“Ini juga merupakan upaya Kemenkeu untuk mendorong kualitas debat publik dan kualitas check and balance dalam sistem demokrasi kita dan mendorong serta membangun kultur akuntabilitas publik yang sehat dan kuat,” jelasnya.
RCE Forum menjadi ajang bagi RCE dalam hal ini kantor wilayah Direktoran Jenderal (Ditjen) Perhendaraa, para Regional Experts dan Local Experts, serta para Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan di daerah untuk membangun sinergi dalam keselarasan komunikasi kebijakan fiskal pusat dan daerah.
Para Regional Experts dan Local Experts adalah akademisi dan praktisi dari perguruan tinggi dengan kompetensi, kepakaran, atau keahlian di bidang ekonomi dan fiskal yang telah dikukuhkan oleh Kementerian Keuangan sebagai mitra yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan perumusan analisis dan rekomendasi pada wilayah/regional untuk mendukung pelaksanaan RCE.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti mengatakan Ditjen Perbendaharaaan bersama-sama dengan instansi vertikal Kemenkeu di daerah yang tergabung dalam Perwakilan Kementerian Keuangan akan selalu meningkatkan sinergi dan memberikan dukungan data yang dibutuhkan oleh Regional Experts dan Local Experts dalam melakukan analisis.
“Kolaborasi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kebijakan pemerintah di daerah dan memberikan nilai tambah terhadap kebijakan yang diambil,” kata Astera.
Sementara itu Wakil Menkeu I Suahasil Nazara menyampaikan bahwa RCE yang diinisiasi oleh Kemenkeu berfungsi untuk memberikan gambaran yang holistik mengenai kebijakan fiskal pusat maupun daerah dan membantu dalam menyelaraskan kebijakan-kebijakan tersebut.
Peran ini sangat krusial untuk memastikan kebijakan fiskal di tingkat pusat dapat diterapkan dengan efektif di daerah, termasuk dalam mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan atau inkonsistensi yang mungkin timbul.
“Selain itu, RCE juga berperan aktif dalam mengumpulkan dan menganalisis data ekonomi regional yang kemudian digunakan untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih akurat dan relevan,” kata Suahasil.
Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng menilai keuangan Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dengan bergesernya fondasi penerimaan negara. Menurut dia, pendapatan dari migas yang dulu menjadi penopang utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini hanya menyumbang 4 persen dari total penerimaan negara.
“Migas sekarang hanya tinggal sepeser, hanya 4 persen dari total penerimaan negara, jauh dibandingkan pendapatan negara dari tembakau,” kata Salamudin kepada Kabar Bursa, Sabtu, 10 Agustus 2024.
Salamudin mempertanyakan relevansi migas sebagai indikator utama dalam merumuskan APBN. Selama ini, menurut dia, produksi dan harga minyak menjadi penentu utama apakah fiskal pemerintah akan membaik atau tidak. Namun, kondisi tersebut kini berubah drastis.
“Produksi minyak domestik hanya 35 persen dari kebutuhan nasional, sebagian besar minyak yang kita bakar di Indonesia berasal dari impor,” ujarnya.
Salamudin menyoroti migas kini menjadi beban besar bagi Indonesia, khususnya dalam neraca transaksi berjalan, defisit perdagangan, dan neraca pendapatan primer. Menurut dia, migas telah menjadi beban utama, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat yang harus membayar pajak tinggi untuk setiap liter BBM yang mereka konsumsi.
Dia pun mengkritik lemahnya kontrol dan pengawasan pemerintah terhadap distribusi migas, yang menurutnya telah memberikan peluang bagi segelintir orang untuk menikmati subsidi secara ilegal. “Ada kesan seolah-olah ini disengaja,” kata Salamudin.
Lebih lanjut, Salamudin mengatakan Pertamina yang seharusnya berperan sebagai pencari minyak dan penjual BBM, kini lebih berfungsi sebagai pedagang BBM impor yang memungut pajak dari konsumen.
“Jadi terkait migas ini, negara dikuras asing dan masyarakat dikuras pajak oleh bangsa sendiri,” katanya. (*)