Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa EDD mencakup proses identifikasi, verifikasi, dan pemantauan lebih mendalam terhadap nasabah yang dicurigai. Hingga saat ini, OJK telah meminta bank untuk memblokir lebih dari 6.000 rekening yang terkait dengan aktivitas penampungan dana judi daring di berbagai bank.
Selain itu, OJK juga meminta bank untuk melakukan analisis atas transaksi nasabah yang terindikasi dan melaporkannya sebagai Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) kepada Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK). Jika ditemukan adanya indikasi kuat, nasabah tersebut dapat dibatasi aksesnya untuk membuka rekening di seluruh bank di Indonesia, termasuk dimasukkan dalam daftar hitam (blacklisting).
EDD adalah langkah lanjut dari Customer Due Diligence (CDD), yang merupakan prosedur standar identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan untuk memastikan bahwa transaksi nasabah sesuai dengan profil dan karakteristik yang telah ditentukan. EDD diterapkan untuk nasabah yang dianggap berisiko tinggi, termasuk mereka yang tergolong sebagai politically exposed persons atau berada dalam area berisiko tinggi.
OJK Akui Tak Mudah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku tidak mudah memberantas judi online dan pinjaman online (pinjol) ilegal. Kenapa?
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Frederica Widyasari Dewi mengatakan, sejak 2015 hingga saat ini pihaknya telah lebih dari 8.500 pinjol sudah ditutup paksa atau blokir.
Menurut Frederica, kesulitannya memberantas pinjol sama dengan judi online, yaitu servernya berada di luar negeri.
“Saat ini lebih dari 8.500 aplikasi pinjol sudah kita tutup sejak 2015. Ada beberapa kendala sering muncul, sama seperti dengan judi online, karena sering kali servernya berada di luar negeri,” kata Frederica dalam acara konferensi pers di kantor Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2024.
Meski begitu, OJK melalui Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (PASTI) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo) terus berupaya menutup judi online dan pinjol ilegal.
“Begitu kita menerima laporan atau menemukan adanya pinjol ilegal dan judi online, langsung kami tutup. Tetapi ya itu, servernya ada di luar negeri, yang praktiknya seperti judi online di dilegalkan,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam keterangan tertulis mengatakan pihaknya telah memblokir lebih dari 6.000 rekening yang diindikasikan terkait transaksi judi online.
Selain itu, OJK juga telah meminta bank melakukan Enhance Due Diligence (EDD) atas nasabah yang terindikasi terkait transaksi judi online dan melaporkan transaksi tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Untuk diketahui, aktivitas perjudian di Indonesia merupakan Salah Satu Tindak Pidana Asal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Penyebab Gen Z Terjerat Pinjol Ilegal dan Judi Online
OJK mengungkap bahwa anak-anak muda, khususnya Generasi Z (Gen Z), masih banyak terjebak dalam pinjaman online (pinjol) dan perjudian daring atau judi online.
Masalah ini menunjukkan bahwa meskipun ada kesadaran yang meningkat tentang bahaya keuangan dan perjudian, generasi muda tetap rentan terhadap tawaran dan risiko yang ditawarkan oleh platform-platform ini. OJK pun terus mengingatkan pentingnya pendidikan keuangan dan perlunya kewaspadaan dalam menggunakan layanan online untuk menghindari dampak negatif yang dapat memengaruhi stabilitas keuangan mereka.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Frederica Widyasari Dewi, mengungkapkan salah satu faktor utama di balik tingginya keterlibatan generasi muda, terutama generasi Z, dalam pinjol dan judi online adalah tingkat literasi keuangan mereka yang masih rendah.
Menurutnya, kurangnya pemahaman tentang pengelolaan keuangan dan risiko yang terkait dengan layanan online dapat membuat mereka lebih mudah terjebak dalam situasi keuangan yang berisiko.
OJK menekankan pentingnya peningkatan pendidikan keuangan untuk membantu generasi muda memahami dan mengelola risiko finansial dengan lebih baik.
“Di usia 15 sampai 17 tahun itu rentan, tingkat literasinya rendah inklusinya rendah. Itu banyak sekali menjadi korban pinjol, anak-anak juga masuk ke judi online. Yang formal paylater, produk itu formal, tapi penggunaannya mereka tidak well literate, akhirnya anak-anak muda terjerat utang yang sangat menyusahkan masa depan mereka,” kata wanita yang akrab disapa Kiki dalam konferensi pers di kantor BPS, Jakarta Pusat, Jumat, 2 Agustus 2024.
Selain itu, generasi Z yang literasi keuangannya rendah ini disebut sering kali menempuh jalan pendek untuk memenuhi gaya hidupnya. Kiki mencontohkan, ada kasus anak muda yang kini nekat membuka pinjaman online hanya untuk nongkrong.(*)