KABARBURSA.COM - Rencana pemerintah untuk meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 dapat menyebabkan beberapa dampak negatif. Salah satunya adalah kemungkinan penurunan dalam penciptaan lapangan kerja.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa peningkatan tarif PPN akan menurunkan minat masyarakat untuk membeli barang-barang sekunder dan tersier. Ini sejalan dengan prediksi bahwa harga barang dan jasa akan meningkat setelah tarif PPN dinaikkan.
Penurunan minat belanja akan membuat dampak kenaikan tarif PPN tidak hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi juga oleh pelaku usaha. Hal ini disebabkan oleh turunnya permintaan yang pada akhirnya akan mengurangi penjualan para pelaku usaha.
Padahal, saat ini kinerja industri sebenarnya sudah mengalami tekanan. Hal ini terefleksikan dari Indeks manufaktur atau Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia merosot ke level 49,3 atau berada pada level kontraksi pada Juli 2024, level terendah sejak Agustus 2021.
"Efek lanjutan ketika konsumen mengurangi belanja maka perusahaan bisa menurunkan kapasitas produksi seperti saat ini tercermin dari PMI manufaktur yang berada dibawah level 50," kata Bhima, Senin, 12 Agustus 2024.
Dengan menurunnya kapasitas produksi, lanjut Bhima, maka perusahaan akan menekan kebutuhan tenaga kerja.
"Ada risiko yaitu menyempitnya lapangan kerja dan mendorong angkatan kerja baru sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal," ujar Bhima.
Untuk mencegah efek rembetan itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali wacana menaikkan tarif PPN. Menurut dia, dengan melihat kondisi perekonomian saat ini, pemerintah perlu menunda pelaksanaan aturan kenaikan tarif PPN.
Apabila PPN tetap dinaikkan, maka pemerintah harus menyiapkan insentif kepada masyarakat. Menurutnya, hal itu diperlukan agar daya beli masyarakat tetap terjaga, walaupun harga barang dan jasa mengalami kenaikan.
Apalagi, kata Yusuf, belanja perlindungan sosial (perlinsos) yang disiapkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 dirancang untuk merespons kondisi krisis di dalam negeri. Kondisi krisis itu pun bisa didefinisikan ketika terjadi permasalahan di level mikro, seperti pelemahan daya beli masyarakat.
"Jadi ketika indikator yang lebih mikro ini terlihat mengarah terhadap pelemahan daya beli maka respons APBN perlu segera mengantisipasi dengan memberikan insentif tertentu yang sudah dirancang atau disediakan pemerintah dalam kebijakan APBN di tahun berjalan," terang Yusuf.
Sebelumnya, Ajib Ahamdani, Analis Kebijakan Ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), meminta agar pemerintah menimbang ulang kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 persen, mengingat tren daya beli masyarakat sedang melemah. Langkah menaikkan PPN dianggapnya kurang bijak.
Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Bank Mandiri menunjukkan penurunan signifikan pada kelas menengah, dari 21,45 persen di tahun 2019 menjadi 17,44 persen pada 2023.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga mencatat bahwa 8,5 juta penduduk Indonesia mengalami penurunan kelas ekonomi dalam rentang waktu 2018-2023.
Sementara itu, data makroekonomi mengungkapkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, lebih dari 60 persen ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
"Jika daya beli masyarakat yang sudah lemah ini terus diberatkan oleh kebijakan fiskal yang tidak sinkron, maka target pertumbuhan ekonomi yang cukup ambisius dari pemerintah Prabowo-Gibran akan menghadapi tantangan besar," ungkap Ajib dalam keterangannya pada Senin 12 Agustus 2024.
Ajib menegaskan, jika pemerintah tetap bersikeras menerapkan kenaikan tarif PPN tahun depan, ada dua kebijakan yang bisa diambil.
Pertama, untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah bisa menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan PMK Nomor 101 tahun 2016, PTKP saat ini berada di angka Rp 54 juta per tahun, atau setara dengan penghasilan Rp 4,5 juta per bulan. Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk menaikkannya menjadi Rp 100 juta per tahun.
Langkah ini, kata Ajib, dapat mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Pada kelompok ini, peningkatan penghasilan akan lebih mungkin dibelanjakan, sehingga uang terus berputar dalam perekonomian dan negara pun memperoleh pemasukan.
Kedua, pemerintah bisa fokus mengalokasikan biaya pajak dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi penggerak utama perekonomian. Misalnya, sektor properti atau sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.
"Namun, secara kuantitatif, harus diperhitungkan dengan cermat agar biaya pajak ini tetap mendorong sektor swasta, sambil memastikan penerimaan negara tetap optimal. Dengan begitu, fiskal dapat dijaga tetap hati-hati," jelasnya.
Ajib juga menekankan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan secara matang sebelum menaikkan tarif PPN, meskipun kebijakan ini berpotensi meningkatkan penerimaan pajak.
Menurutnya, kenaikan tarif PPN ini lebih didorong oleh aspek budgetair, yaitu fungsi fiskal untuk menambah penerimaan negara.
Sebagai contoh, penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2023 mencapai Rp 764,3 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen dan inflasi 2,5 persen pada tahun 2024 dan 2025, kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen dapat memberikan tambahan penerimaan sekitar Rp 80 triliun pada tahun 2025.
Namun demikian, jika kebijakan ini benar-benar diterapkan tahun depan, Ajib menyarankan agar pemerintah menyiapkan insentif fiskal yang sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat serta mendukung kelangsungan sektor usaha.
"Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen membutuhkan kebijakan fiskal yang pro-pertumbuhan," tutupnya. (*)