KABARBURSA.COM - Kekhawatiran Indonesia akan kebanjiran produk tekstil yang harganya murah dari China terbukti. Di pusat grosir Tanah Abang, Jakarta Pusat, berbagai jenis pakaian impor dari China ditawarkan dengan harga murah.
Di Jembatan Blok A 1 lantai 1 Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, banyak pakaian impor buatan China dijual, seperti pakaian anak dengan harga di kisaran Rp25.000 sampai dengan Rp40.000-an.
Sweater anak-anak salah satunya, dibanderol dengan harga Rp42.500 per picis. Di baju itu dengan jelas bertuliskan ‘Made in China’ tanpa sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Di toko atau gerai berbeda, ditawarkan pakaian anak laki-laki usia dua sampai tiga tahun seharga Rp57.000 per pasang. Labelnya juga bertuliskan Made in China tanpa sertifikasi SNI.
Sedangkan pakaian ukuran anak usia enam sampai tujuh tahun dibanderol seharga Rp90.000 per pasang.
“Betul dari China ini kak. Dijualnya per pasang, ada beberapa size (ukuran),” kata seorang pedagang.
Di toko lainnya yang juga menjajakkan pakaian impor, namun bersertifikasi SNI dibanderol Rp75.000. Dari segi kualitas bahan tidak berbeda, halus, lembut dan nyaman ketika dipakai.
Tak hanya produk impor saja, di Blok A dan Blok B Pasar Tanah Abang juga menjajakkan pakaian produk lokal dan telah bersertifikasi SNI.
Perbedaan antara pakaian impor dari China dengan produk lokal yaitu dari China pakaiannya berlapis-lapis dengan pilihan warna yang cerah-cerah. Sementara, pakaian buatan Indonesia cenderung satu lapis dengan model sederhana.
Dari segi harga, pakaian Made in Indonesia lebih mahal, yaitu di kisaran Rp75.000 sampai dengan Rp150.000 tergantung model dan ukurannya.
Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemerintah enggan menghadapi risiko besar untuk menyelamatkan sektor tekstil.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, awalnya menyoroti kinerja industri tekstil dan pakaian jadi (wearing apparels) yang buruk di dalam negeri.
Ia mencatat bahwa pemerintah lebih fokus pada hilirisasi sektor pertambangan daripada mengurus industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia.
“Kami mengamati arah kebijakan industri yang diterapkan pemerintah saat ini. Fokus utama adalah pada program hilirisasi, namun sangat disayangkan bahwa ketika membahas lima subsektor industri, perhatian hilirisasi masih terlalu terpusat pada sektor pertambangan,” ujar Andry.
Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak ‘menganaktirikan’ industri tekstil, mengingat industri ini berkontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
“Padahal kita tahu, kalau kita tarik ke belakang sebetulnya industri tekstil ini bagian dari hilirisasi di migas. Jadi tekstil ini produk hilirisasi petrokimia. Seharusnya pemerintah memberikan effort yang besar juga, tidak pandang dulu. Jangan memprioritaskan hilirisasi pertambangan saja,” tegasnya.
Ia mengingatkan industri pengolahan non migas pada 2023 memberikan kontribusinya sebesar 16,8 persen terhadap PDB.
Adapun lima subsektor industri yang berkontribusi di antaranya makanan dan minuman, lalu kimia, farmasi dan obat tradisional, logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik, alat angkutan, dan termasuk industri tekstil juga pakaian jadi.
Andry berpendapat posisi industri tekstil dan pakaian jadi akan tergeser dari lima subsektor industri terbesar yang berkontribusi terhadap PDB pada 2024 oleh industri logam. Hal ini dikarenakan industri tekstil yang semakin terpuruk.
Proyeksi tergesernya industri tekstil tersebut dilihat dari kinerja industri logam dasar yang pertumbuhannya cukup tinggi, bahkan tumbuhnya mencapai double digit.
Ia pun berharap seluruh stakeholder terkait dalam pemerintahan turun tangan mempersiapkan langkah-langkah untuk mencegah hal ini. Bahkan, pihaknya berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut andil dalam melihat keterpurukan industri tekstil yang memberikan kontribusi tenaga kerja yang cukup besar ini.
“Kami tahu, sekarang ini kementerian-kementerian teknis terkait, menteri-menteri terkait, bahkan jajarannya sekalipun itu tidak mau mengambil risiko yang cukup besar. Dalam dua atau tiga bulan terakhir atau ini tidak ingin mengambil risiko untuk mengeluarkan apakah itu insentifatau regulasi terkait dengan industri tekstil,” ucap Andry.
Ia sangat menyayangkan sikap pemerintah, khususnya para menteri, yang menyepelekan proses pemindahan tangan ke pemerintahan selanjutnya terkait regulasi tertentu.
Di kesempatan yang sama, Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto membeberkan temuan soal ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja Satgas Impor. Katanya, berdasarkan analisis yang dilakukan INDEF terhadap respons masyarakat di media sosial X (Twitter), ditemukan sebanyak 64,09 persen warganet tidak percaya dengan efektivitas Satgas Impor mengatasi impor ilegal.
Pasalnya, berkaca dari kebijakan pembentukan satgas sebelumnya, pembentukan satgas dinilai tidak memberikan efek signifikan. Penggerebekan gudang barang ilegal di samping mendapatkan apresiasi juga mendapatkan kritik netizen.
“Ternyata sebagian besar masih skeptis bahwa satgas impor ilegal akan efektif untuk mengatasi impor ilegal ini. Terlalu banyak satgas di negara ini, ada masalah bikin satgas,” ucap Eko Listiyanto.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana mengkritik sikap pemerintah yang sedikit-sedikit melahirkan satgas untuk tindakan penanganan. Ia menilai hal ini hanya menjadi kebiasaan buruk bagi pemerintah.
“Karena ketika satgas dibentuk itu menunjukkan bahwa pemerintah lemah dalam koordinasi birokrasi. Pemerintah tidak memiliki cukup kontrol terhadap tugas pokok dan fungsi dari masing-masing kementerian. Ini membutkikan bahwa pemerintah memiliki kelemahan di situ, sehingga sedikit-sedikit dibentuk satgas, ada masalah apa satgas muncul,” tukas Danang.
Ia berpendapat pembentukan satgas hanya dilakukan demi menyenangkan publik. Danang melihat belum pernah satgas yang dibentuk pemerintah benar-benar menghasilkan penuntutan penindakan hukum.
“Kasian kementerian-kementerian yang berjuang mempertahankan industri manufaktur kita. Kasian kementerian yang berjuang untuk mempertahankan UKM kita, seperti Kemenkop UKM, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pariwisata,” imbuh Danang.
“Mereka ini berjuang untuk meningkatkan kapasitas dalam negeri kita, tapi ada beberapa kementerian lain yang kemudian malahan, merecoki dengan membanjiri barang-barang kita dengan cara-cara yang tidak terhormat dan ada pembiaran terhadap perlakuan seperti itu tanpa penindakan hukum,” sambung Danang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan industri tekstil terkontraksi minus 2,63 persen secara kuartalan pada kuartal II 2024.
Sementara, secara tahunan (yaer on year/yoy) pertumbuhan industri tekstil terkontraksi 0,03 persen. Kontraksi tersebut terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,05 persen (yoy) pada kuartal II 2024.
Sepanjang Januari hingga Juni 2024, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat industri tersebut telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 13.800 buruh. Fenomena ini memang tak lepas dari sepinya permintaan buntut maraknya produk impor yang harganya lebih murah.
Dari Januari hingga Juni 2024, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat bahwa industri tersebut telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 13.800 buruh. Fenomena ini terkait dengan menurunnya permintaan akibat maraknya produk impor yang lebih murah. (*)