KABARBURSA.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mewajibkan para pengusaha tambang untuk menyediakan fasilitas nursery atau persemaian yang bertujuan untuk menghasilkan bibit dan benih guna penghijauan kembali lahan bekas tambang.
Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengelolaan Fasilitas Persemaian untuk Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang ditandatangani Jokowi pada 5 Agustus 2024.
“Saya selalu mengingatkan bahwa setiap pertambangan harus memiliki nursery dan fokus pada pemulihan lingkungan serta rehabilitasi hutan, ini adalah perhatian dari Kementerian Kehutanan yang terus saya tekankan,” kata Jokowi saat menghadiri acara Festival LIKE 2 di Jakarta Pusat, Jumat, 9 Agustus 2024.
Jokowi menekankan bahwa industri tambang telah memberikan dampak besar terhadap lingkungan, sehingga lahan bekas tambang harus direhabilitasi dengan penghijauan kembali.
“Sektor energi dan pertambangan adalah yang paling berdampak besar terhadap lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaan yang salah bisa merugikan kita,” kata Jokowi.
Perpres 77 menjelaskan kategori badan usaha tambang yang diwajibkan membangun dan mengelola fasilitas persemaian, tercantum dalam pasal 2 aturan tersebut.
“Badan usaha yang wajib melakukan percepatan pembangunan dan pengelolaan fasilitas Persemaian (Nursery) pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara adalah pemegang: a. izin usaha pertambangan; b. izin usaha pertambangan khusus; c. izin usaha pertambangan khusus sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian; d. kontrak karya; dan e. perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, dengan Dokumen Lingkungan Hidup berupa Amdal,” tulis aturan tersebut.
Aturan ini juga menetapkan bahwa seluruh biaya yang terkait dengan tahapan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan fasilitas persemaian menjadi tanggung jawab masing-masing badan usaha.
Pemerintah memberikan waktu hingga 31 Desember 2025 untuk percepatan pembangunan dan pengelolaan fasilitas persemaian. Badan usaha yang tidak memenuhi kewajiban ini akan dikenakan sanksi tegas.
Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) menghadapi serangkaian tantangan yang semakin kompleks di masa depan. Seiring dengan banyaknya proyek migas yang sedang berjalan, permintaan akan peralatan juga mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini berimplikasi pada kenaikan harga peralatan yang diperlukan untuk mendukung operasi proyek-proyek tersebut.
“Kita menyadari bahwa tantangan yang dihadapi oleh industri hulu migas akan semakin besar ke depannya. Dengan banyaknya proyek yang berjalan di berbagai lokasi, permintaan terhadap bahan baku seperti OCTG dan rig juga akan meningkat, yang tentunya akan mempengaruhi harga,” ungkap Kepala Divisi Program Komunikasi SKK Migas, Hudi D Suryodipuro dalam konferensi pers ‘Supply Chain & National Capacity Summit 2024’ di kantor SKK Migas, Jakarta, Rabu, 7 Agustus 2024.
Selain itu, dorongan menuju energi hijau juga turut memperberat tantangan. Hudi D Suryodipuro menambahkan bahwa dengan kondisi tersebut, pengembangan energi fosil akan menghadapi biaya tambahan yang signifikan terkait dengan teknologi penangkapan karbon (carbon capture). Ini berarti, selain biaya yang sudah ada, industri migas harus mempertimbangkan investasi tambahan untuk mengurangi jejak karbon mereka, yang dapat meningkatkan keseluruhan biaya operasional dan pengembangan proyek.
Dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, SKK Migas akan menyelenggarakan acara Supply Chain & National Capacity Summit 2024 yang akan berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, pada tanggal 14 sampai dengan 16 Agustus 2024.
Acara ini bertujuan untuk membahas dan mencari solusi terkait tantangan dalam rantai pasokan dan kapasitas nasional di industri migas, serta untuk mengeksplorasi strategi yang dapat mendukung pengembangan energi secara berkelanjutan.
“Belum lagi tantangan yang muncul dari inisiatif untuk beralih ke energi hijau (green energy) dan mencapai emisi nol bersih (net zero emission). Dalam konteks ini, pengembangan energi fosil pasti akan menghadapi biaya tambahan yang terkait dengan teknologi penangkapan karbon. Forum ini, sebenarnya, adalah upaya antisipatif dari industri hulu migas untuk mengatasi isu-isu tersebut dan mencari solusi yang tepat,” jelasnya.
Dia menyebutkan bahwa acara tersebut juga akan dihadiri oleh berbagai vendor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dia berharap para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dapat secara langsung menyampaikan kebutuhan mereka kepada para vendor selama forum berlangsung.
“Harapan kami adalah agar para pelaku industri, khususnya KKKS, dapat langsung mengungkapkan kebutuhan mereka secara jelas. Di sisi lain, para vendor juga dapat menyampaikan kekhawatiran atau isu tertentu kepada para pelaku KKKS, sehingga terjalin komunikasi yang efektif antara kedua belah pihak,” ujarnya.
Ia pun mencontohkan, ketika bicara rig, ke depan kontraktor tidak bisa mengandalkan rig-rig yang sudah ada. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, kontraktor harus investasi, apakah dengan membeli atau membangun rig baru.
“Tapi kalau umpamanya mereka membangun, melakukan investasi di situ, yang akan jadi pertanyaan, worth it enggak buat mereka? Apa ini programnya dari KKKS? Jangan-jangan dia baru beli rig, tahun depan bornya itu berhenti, ngebornya berhenti. Jadikan mereka bertanya, mungkin enggak balik modal. Di forum ini kita bahas bersama dengan teman-teman,” kata Hudi. (*)