KABARBURSA.COM - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengungkapkan bahwa banyak peritel saat ini memilih untuk menunda pembukaan gerai baru. Menurut Alphonzus, hal ini terlihat dari rencana ekspansi yang menurun signifikan dari beberapa nama besar seperti Matahari dan Hypermart.
Biasanya, Matahari merencanakan pembukaan 10-15 gerai baru per tahun, tetapi tahun ini hanya menargetkan empat, bahkan menutup sepuluh toko. Hypermart juga menunjukkan tren serupa dengan tidak membuka toko baru tahun ini.
"Kita melihat pengelola pusat belanja kekurangan peritel. Banyak peritel baru yang menahan diri untuk membuka usaha baru," jelas Alphonzus saat ditemui di Pantai Indah Kapuk (PIK) Avenue, Jakarta Utara, Kamis, 8 Agustus 2024.
Meski banyak developer siap membangun mal baru, masalahnya adalah keterbatasan peritel untuk mengisi toko-toko tersebut.
"Para developer siap membangun mal baru, tapi peritel yang mau mengisi toko-tokonya terbatas karena banyak yang menahan diri," tambahnya.
Alphonzus menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama fenomena ini adalah maraknya impor ilegal yang membanjiri pasar domestik.
"Impor ilegal sangat berdampak pada sektor fesyen. Daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan banyak orang beralih ke barang-barang impor ilegal yang lebih murah," ungkapnya.
Contohnya, di Tanah Abang, dengan Rp100.000, seseorang bisa mendapatkan tiga barang, yang membuat konsumen kelas menengah ke bawah lebih memilih membeli di sana.
Untuk mengatasi masalah ini, Alphonzus menyarankan agar pemerintah membuat strategi yang memungkinkan produk ritel dapat diakses oleh kalangan menengah ke bawah. Dia juga berharap pemerintah dapat menghindari regulasi yang merugikan iklim usaha dan memberikan bantuan sosial dalam bentuk tunai.
"Bantuan sosial dalam bentuk tunai lebih berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Regulasi yang membatasi daya beli harus dihindari," pungkasnya.
Daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah tengah mengalami penurunan yang signifikan, terlihat dari aktivitas jual beli yang lesu baik di pasar tradisional maupun ritel. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim, menjelaskan bahwa selain memantau data konsumsi rumah tangga dari Badan Pusat Statistik (BPS), pihaknya juga melakukan survei langsung di pasar-pasar tradisional. Hasilnya, pedagang di Pasar Tanah Abang dan Mangga Dua melaporkan penurunan jumlah pembeli.
"Sementara angka dari BPS menunjukkan penurunan, kami juga melihat realita di lapangan. Setiap kali kami survei pasar tradisional seperti Tanah Abang dan Mangga Dua, keluhan pedagang tentang sepinya pembeli cukup nyata. Ini menjadi indikator jelas adanya penurunan daya beli," kata Isy di Pantai Indah Kapuk (PIK) Avenue, Jakarta Utara, kemarin.
Isy menambahkan bahwa pihaknya terus memantau penurunan daya beli dan telah melakukan beberapa langkah strategis, seperti menggelar pameran dan diskon di ritel untuk merangsang kembali aktivitas belanja. Dia juga menenangkan pedagang dengan menegaskan bahwa razia tidak akan menargetkan pusat perbelanjaan atau pasar, melainkan fokus pada barang-barang impor ilegal yang berada di gudang importir.
"Pedagang tidak perlu khawatir tentang razia di pusat perbelanjaan atau pasar. Kami lebih fokus pada razia barang impor ilegal di gudang importir. Jadi, pedagang dan masyarakat dapat berbelanja dengan tenang," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengungkapkan bahwa penurunan daya beli juga tercermin dari aktivitas di pusat perbelanjaan. Ia menjelaskan bahwa konsumen kini lebih memilih produk dengan harga lebih murah, yang mempengaruhi penjualan di beberapa toko.
"Kami melihat tren belanja menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah bawah lebih memilih barang dengan harga satuan rendah. Oleh karena itu, toko-toko dengan harga terjangkau seperti Miniso, KKV, DIY, dan Sociolla mengalami peningkatan penjualan," katanya.
Menurut data BPS, konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2024 hanya tumbuh sebesar 4,93 persen secara tahunan (year on year/yoy), sedikit menurun dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu yang di atas 5 persen. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menjelaskan bahwa meskipun konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif, pertumbuhannya tidak setinggi tahun lalu pada beberapa komoditas.
"Konsumsi rumah tangga tetap tumbuh positif 4,93 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya, namun ada penurunan pada beberapa komoditas," jelasnya.
Jadi secara keseluruhan dapat dilihat bahwa daya beli masyarakat yang rendah disebabkan karena harga yang melambung tinggi. Walau begitu, konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif meski tidak setangguh tahun-tahun sebelumnya.(*)