KABARBURSA.COM - Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti, mengungkapkan bahwa per 1 Agustus 2024, jumlah peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mencapai 276.520.647 jiwa, yang setara dengan 98,19 persen dari total penduduk Indonesia. Pencapaian ini selaras dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Ghufron menegaskan bahwa angka ini lebih dari sekadar statistik; ini adalah cerminan tanggung jawab negara untuk memastikan setiap individu mendapatkan layanan kesehatan yang layak. "Kami terus berkomitmen untuk menjangkau setiap lapisan masyarakat," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis, 8 Agustus 2024.
Untuk memastikan akses layanan kesehatan yang merata, BPJS Kesehatan saat ini bekerja sama dengan 23.205 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan 3.129 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Selain itu, untuk menjangkau daerah-daerah yang tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), BPJS Kesehatan juga memberikan pelayanan di Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan Memenuhi Syarat (DBTFMS), termasuk melalui kerja sama dengan rumah sakit terapung yang melayani wilayah-wilayah terpencil.
Sejak peluncurannya, Program JKN telah menunjukkan peningkatan signifikan baik dalam jumlah peserta maupun pengelolaan dana. Pada tahun 2014, BPJS Kesehatan menerima iuran sebesar Rp40,7 triliun, dan angka ini melonjak drastis menjadi Rp151,7 triliun pada tahun 2023. Kolektibilitas iuran JKN pada 2023 mencapai 98,62 persen, menandakan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya membayar iuran JKN secara rutin semakin tinggi.
Namun, Ghufron juga mencatat tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan. Pada tahun 2023, BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp34,7 triliun untuk menangani 29,7 juta kasus penyakit katastropik. Ini menuntut BPJS Kesehatan untuk mengelola biaya pelayanan kesehatan dengan bijaksana, di tengah meningkatnya jumlah peserta dan iuran.
Selain itu, pemanfaatan layanan JKN terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2014, tercatat 92,3 juta pemanfaatan layanan, sementara pada 2023, angka ini melesat menjadi 606,7 juta pemanfaatan, atau sekitar 1,7 juta pemanfaatan setiap hari. Ghufron mengungkapkan, "Peningkatan ini mencerminkan semakin banyaknya masyarakat yang memanfaatkan layanan JKN."
Polemik KRIS
Kekhawatiran terus membayangi pengguna BPJS Kesehatan mengenai penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), dengan anggapan bahwa hal ini bisa menyulitkan akses kamar di rumah sakit. Namun, BPJS Kesehatan memastikan bahwa sistem kelas tidak akan dihapus. Apa yang membedakan sistem KRIS dari sistem kamar rawat inap yang lama?
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizky Anugrah, menegaskan bahwa Perpres terbaru tidak mencantumkan penghapusan sistem kelas 1, 2, dan 3 yang selama ini digunakan untuk pelayanan rawat inap BPJS. Sebaliknya, setiap kamar untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan disesuaikan dengan 12 kriteria standar KRIS yang tercantum dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024.
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, mengingatkan bahwa pelaksanaan KRIS berpotensi menyebabkan penumpukan pasien. "Saat ini, meski ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 seluruhnya diperuntukkan bagi pasien JKN, akses ke kamar masih sulit. Apalagi dengan adanya KRIS," ujar Timboel Selasa 14 Mei 2024 lalu.
Menanggapi hal ini, Juru Bicara Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan perhitungan untuk memastikan jumlah tempat tidur di rumah sakit mencukupi untuk penerapan KRIS, sehingga “seharusnya tidak ada pengurangan tempat tidur”.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Noor Arida Sofiana, mengakui bahwa proses standarisasi KRIS masih menjadi tantangan bagi sejumlah rumah sakit swasta karena pengadaan sarana dan prasarana yang belum sepenuhnya selesai.
Pengamat Kebijakan Kesehatan, Hermawan Saputra, menyebut perlunya “reinvestasi besar-besaran” dari pihak manajemen rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta, untuk memenuhi standar kualitas KRIS. Perpres Nomor 59 Tahun 2024 menetapkan bahwa penerapan KRIS akan dilakukan secara bertahap hingga 30 Juni 2025, sementara penetapan manfaat, tarif, dan iuran untuk KRIS mulai berlaku paling lambat pada 1 Juli 2025.
Apa yang membedakan sistem KRIS dari sistem kelas rawat inap JKN yang lama? Rizky Anugrah menjelaskan bahwa KRIS adalah sistem standarisasi baru yang diterapkan dalam pelayanan rawat inap BPJS Kesehatan di rumah sakit. Dengan kebijakan ini, diharapkan semua golongan masyarakat mendapatkan pelayanan yang sama, baik medis maupun non-medis, tanpa perbedaan kelas. "KRIS bertujuan untuk memastikan seluruh fasilitas kesehatan memberikan layanan secara merata," kata Rizky.
Rizky mengungkapkan bahwa penerapan KRIS tidak berarti menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3, melainkan membuat kualitas kamar sesuai dengan standar. “Untuk saat ini, sistem kelas 1, 2, dan 3 tetap berlaku sesuai Perpres Nomor 64. Kami masih mengacu pada peraturan tersebut,” jelasnya.
Mengenai iuran setelah penerapan KRIS, Rizky menyatakan bahwa BPJS Kesehatan masih menunggu peraturan menteri yang akan diterbitkan Kementerian Kesehatan. Iuran akan disesuaikan setiap dua tahun, dengan perubahan kali ini diatur melalui Permenkes terkait KRIS.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menambahkan bahwa saat ini ada sekitar 2.600 rumah sakit yang menyatakan siap untuk menerapkan KRIS. “Kami sudah memastikan bahwa tidak akan ada pengurangan tempat tidur,” ujarnya.
Juru Bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menekankan bahwa rumah sakit bisa memanfaatkan dana dari BPJS untuk renovasi dan penambahan ruang rawat jika diperlukan.
Dengan begitu, pengadaan KRIS diharapkan tidak menghambat akses pasien, meskipun perbedaan persepsi mengenai sistem ini masih memicu polemik. Komisi IX DPR berencana memanggil Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan pihak BPJS Kesehatan pada 29 Mei untuk membahas isu ini lebih lanjut.
Bagi pasien seperti Mima, yang sudah menjalani pengobatan rawat inap selama satu setengah tahun, kekhawatiran terhadap KRIS adalah soal akses kamar. Mima mengungkapkan kesulitan mendapatkan kamar dan menyebutkan bahwa ia rela menerima kamar apa pun asal tersedia. Sebaliknya, Agnes, seorang pengidap kanker yang telah berobat selama enam bulan, mengaku tidak mengalami kesulitan dengan penerapan KRIS di rumah sakitnya.
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, memperingatkan agar KRIS tidak menghambat akses pasien. Menurutnya, pengurangan iuran dapat berdampak negatif pada pendapatan BPJS dan menyebabkan defisit. Ia menekankan perlunya solusi untuk memastikan pasien tidak kesulitan mendapatkan kamar rawat inap.
Sekretaris Jenderal ARSSI, Noor Arida Sofiana, menyebutkan bahwa rumah sakit swasta, terutama yang tidak memiliki modal besar, mungkin menghadapi kesulitan dalam menerapkan KRIS. Investasi besar diperlukan untuk menyesuaikan standar kualitas, termasuk aspek infrastruktur dan sumber daya manusia.
Pengamat Kebijakan Kesehatan, Hermawan Saputra, menambahkan bahwa rumah sakit swasta akan mengalami tantangan besar dalam penyesuaian KRIS, baik dari segi investasi maupun dampaknya terhadap semua aspek operasional rumah sakit.
Dengan berbagai dinamika yang terjadi, diharapkan bahwa penyesuaian KRIS akan membawa manfaat bagi seluruh peserta BPJS tanpa mengorbankan akses dan kualitas layanan. (*)