Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Dulu Primadona, kini Industri Tekstil di Ujung Tanduk

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 08 August 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Dulu Primadona, kini Industri Tekstil di Ujung Tanduk

KABARBURSA.COM - Industri tekstil Indonesia sedang berada di ujung tanduk, dengan pertumbuhan yang terkontraksi dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang mengguncang sektor ini.

Andry Satrio Nugroho, Head of Center of Industry Trade and Investment INDEF, menyatakan keprihatinannya terhadap situasi yang kian memburuk ini.

“Terkait dengan masalah pemutusan kerja dan PHK yang tentunya ini menurut kami adalah alarm tanda bahaya," kata Andry dalam diskusi publik INDEF: Industri Tekstil menjerit, PHK melejit, Kamis 8 Agustus 2024.

Ia menambahkan bahwa situasi ini menunjukkan adanya ketidakberesan yang serius pada tahun ini. Setelah dianalisis, industri tekstil menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam gelombang PHK ini.

Dia melihat dengan keprihatinan yang mendalam bahwa capaian tenaga kerja yang terkena PHK pada Januari hingga Juni ini melonjak drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Wilayah PHK terbesar tersebar di pusat-pusat sentra industri, menandakan ada masalah serius yang perlu segera diatasi. Jakarta menjadi puncak dari tingginya tingkat PHK.

Berdasarkan data dari Kementerian Ketenaga Kerjaan (Kemnaker) tercatat 32.064 tenaga kerja terdampak PHK sepanjang Januari hingga Juni 2024. Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 23,29 persen kasus PHK terjadi di Jakarta.

Angka tersebut dipublikasikan dalam laporan Satu Data Kemnaker pada Kamis, 25 Julis 2024.

Lebih detailnya, di Jakarta terjadi kasus PHK sebanyak 7.469 orang pada Januari hingga Juni 2024. Di tempat kedua adalah Banten dengan 6.135 kasus, kemudian Jawa Barat sebanyak 5.155 kasus PHK.

Selanjutnya Jawa Tengah sebanyak 4.275 kasus PHK, dan Sulawesi Tengah sebanyak 1.812 karyawan terkena PHK.

“Kami melihat ada yang tidak beres di tahun ini. Beberapa kasus PHK massal terbesar berada di pusat-pusat sentra industri. Industri tekstil menyumbang angka yang cukup besar dalam hal ini,” jelas Andry.

Padahal menurut Andry, di masa lalu industri tekstil dan produk turunannya, termasuk pakaian jadi, menjadi sektor yang strategis dan padat karya. Namun kini, sektor yang dahulu dibanggakan justru berada dalam tekanan besar.

“Di masa lalu kita cukup percaya diri ketika berbicara mengenai industri tekstil dan produk dari tekstil serta pakaian jadi,” ujarnya.

Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan besar bagi Andry, mengapa industri tekstil, yang seharusnya menjadi sektor strategis dan padat karya, sekarang ini dalam kondisi menghadapi tekanan yang sangat besar.

“Kenapa hari ini sektor yang sebelumnya merupakan sektor yang sangat strategis dan padat karya justru mendapat tekanan besar,” tanya Andry.

Sementara itu, dalam kajian LPEM FEB UI bertajuk ‘Rentannya Mesin Pertumbuhan Ekonomi’, terungkap bahwa kelas menengah menjadi penopang utama setoran pajak pemerintah, mulai dari pajak penghasilan, pajak properti, serta pajak kendaraan bermotor.

Ketika porsi kelas menengah merosot dalam perekonomian, dampaknya akan terasa secara langsung pada penerimaan negara. Artinya, maraknya PHK yang terjadi saat ini tidak hanya menambah jumlah pengangguran, tetapi juga menekan daya beli masyarakat. Dengan tertekannya daya beli masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia terancam.

Dalam Seri Analisis Makroekonomi Indonesia Economic Outlook Kuartal III-2024, Tim Kajian Makroekonomi, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI mengungkapkan bahwa peran kelas menengah terhadap penerimaan negara mencapai 50,7 persen dan 34,5 persen berasal dari calon kelas menengah atau AMC.

“Kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara, menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak,” dikutip dari hasil kajian yang bertajuk ‘Rentannya Mesin Pertumbuhan Ekonomi’ 8 Agustus 2024.

Kontribusi ini menurut tim LPEM FEB UI sangat penting untuk mendanai program pembangunan publik, termasuk investasi infrastruktur dan sumber daya manusia.

Untuk mendukung investasi tersebut, sangat penting untuk menjaga daya beli, baik kelas menengah maupun calon kelas menengah.

“Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka mungkin berkurang yang berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan,” tulis tim LPEM FEB UI.

Emiten Tekstil Kena Suspen BEI

PT Century TExtile Industry Tbk yang berkode CNTX dan CNTB terhitung sejak Sesi I Perdagangan, Rabu, 7 Agustus 2024, di-suspen alias dihentikan penjualannya oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).

Alasan BEI menghentikan sementara penjualam saham CNTX dan CNTB karena harga terus drop. Karena itu, mau tidak mau perusahaan tersebut mengajukan rencana voluntary delisting dari BEI dan go private.

“Menunjuk surat PT Century Textile Industry Tbk Nomor 045/CT/TN/VIII/2024 pada tanggal 5 Agustus 2024 perihal pemberitahuan rencana delisting dan permohonan suspensi perdagangan saham PT Century Textile Industry Tbk, perseroan menyampaikan rencana untuk voluntary delisting dari Bursa Efek Indonesia dan go private,” bunyi pengumuman BEI yang dikutip Kamis, 8 Agustus 2024.

Selanjutnya, BEI memutuskan untuk melakukan penghentian sementara (suspensi) perdagangan efek perseroan CNTX dan CNTB di semua pasar, mulai Sesi I perdagangan efek tanggal 7 Agustus 2024.

“Bursa meminta kepada pihak-pihak terkait untuk selalu memperhatikan keterbukaan informasi yang disampaikan oleh perseroan,” bunyi pengumuman BEI lagi.

Saat disuspensi saham CNTX ada di posisi Rp142. Sedangkan CNTB merupakan kode saham seri B dari Century Textile.

Asal tahu saja, PT Century Textile Industry yang core business-nya adalah memroduksi kain tenun polos dan dobby. Sedangkan aktivitas regulernya adalah mengekspor kain kemeja dan seragam ke seluruh dunia.

Berdasarkan laporan keuangan perseroan per 3 bulan yang berakhir 30 Juni 2024, perseroan membukukan omzet USD1,4 juta. Dengan asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS, angka itu setara Rp22,4 miliar. Capaian itu naik ketimbang periode dama di tahun lalu sebesar USD1,08 juta atau Rp17,28 miliar.

Per 31 Desember 2023, perseroan mencatatkan rugi USD4,04 juta atau setara Rp64,6 miliar. Melonjak dari tahun sebelumnya yang hanya USD1,55 juta atau setara Rp24,8 miliar. Jumlah pemegang sahamnya per 31 Juli 2024 sebesar 499 pihak. (*)