KABARBURSA.COM - Industri tekstil di Indonesia tengah menghadapi situasi genting akibat maraknya impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang masuk ke pasar domestik. Meskipun Menteri Perdagangan telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) impor ilegal, kinerjanya dinilai masih jauh dari optimal.
"Penindakan satgas impor ilegal hanyalah sebatas gimmick," kata Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI), Agus Riyanto, dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa, Rabu, 7 Agustus 2023.
"Tidak ada industri yang pakai produk impor ilegal sebagai bahan bakar di perusahaannya,” imbuh Agus.
Menurut Agus, jika ada industri yang menggunakan produk impor ilegal, hal itu biasanya hanya untuk dijual kembali ke pasar tanpa melalui proses produksi. "Sama saja bohong produk impor ilegal masuk ke pasar. Jadi penindakan ini kelihatannya cuma gimmick saja," tegasnya lagi.
Agus juga menyoroti pentingnya kerja sama antar lembaga dalam penanganan masalah ini. Ia menekankan Satgas Impor Ilegal harus bekerja sama dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kepolisian, dan Kejaksaan.
"Bea Cukai harus buka-bukaan siapa yang membebaskan produk tersebut. Karena mereka (Bea Cukai) lah yang menjadi gerbang awal masuk produk asing ke Indonesia. Produk ini masuk menggunakan kontainer, bukan dari kapal-kapal kecil," ujar Agus.
Pernyataan Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen & Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan, Moga Simatupang, perihal tidak cukupnya anggaran untuk mobilisasi dan pemusnahan barang-barang sitaan juga mendapat kritik dari Agus. Ia menilai alasan tersebut tidak masuk akal dan memberikan solusi alternatif untuk masalah tersebut.
Menurut Agus, solusi dari banjir impor barang-barang sitaan tersebut adalah dengan cara mengembalikannya dengan pembiayaannya dibebankan oleh importirnya. “Kemarin kan Pak Mendag sempat sebut importirnya orang asing, berartikan tahu siapa pelakunya, tinggal dibebankan dan diadili juga," kata Agus.
Selain itu, industri tekstil yang saat ini mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Menurut Agus, pemerintah wajib berjuang untuk menuntaskan masalah ini dan tidak menggunakan alasan anggaran sebagai penghalang.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, mengungkapkan bahwa 90 persen pakaian jadi yang beredar di pasaran dikuasai oleh produk impor. Ini berbanding terbalik dengan kondisi pasar yang seharusnya mendukung produk lokal.
“Market pakaian jadi sangat bagus, namun kenyataannya yang beredar di pasaran 90 persen dikuasai oleh produk impor,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 7 Agustus 2024.
“Penyerapan produk lokal hanya 10 persen saja, pantas banyak garmen dan konveksi yang tutup,” imbuhnya.
Nandi berharap pemerintah melalui pembentukan Satgas oleh Kementerian Perdagangan dapat mendorong roda perekonomian TPT dalam negeri agar bangkit kembali. Selain itu, perlindungan terhadap pasar dalam negeri TPT yang merupakan instrumen dari program hilirisasi sangat diperlukan.
“Sehingga menjadi raja di negeri sendiri dan berharap kepada pemerintah yang akan datang untuk aktif berperan dalam melindungi pasar dalam negeri,” katanya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia, termasuk pakaian jadi, mengalami penurunan pada Kuartal II-2024. Penurunan ini terjadi baik secara tahunan maupun kuartalan.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud mengatakan industri tekstil dan pakaian jadi mengalami kontraksi sebesar 0,03 persen secara year on year (yoy) pada kuartal II-2024. Secara kuartalan (q to q), tercatat kontraksi sebesar 2,63 persen.
“Jadi di kuartal II-2024 ini, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi mengalami kontraksi baik secara tahunan maupun kuartalan,” kata Edy dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 5 Agustus 2024.
Industri TPT nasional, ungkap Edy, memang sedang menghadapi tekanan. Hal itu terlihat dari banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga penutupan pabrik-pabrik tekstil di berbagai wilayah di Indonesia.
Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sejak Januari-Juni 2024 setidaknya terdapat 10 perusahaan yang telah melakukan PHK massal. Enam di antaranya karena penutupan pabrik, sedangkan empat sisanya melakukan efisiensi jumlah pegawai.
Total karyawan yang terkena PHK di 10 perusahaan tersebut sekitar 13.800-an orang. Jumlah itu kemungkinan lebih sedikit daripada kondisi nyata di lapangan, mengingat tidak semua perusahaan mau terbuka atas langkah PHK massal ini.
“Yang terdata dan kami sudah minta izin untuk boleh diekspos jumlah sebesar itu. Yang tutup sejak Januari sampai awal Juni 2024 ada enam perusahaan. Yang PHK dengan alasan efisiensi jumlah karyawan, yang memperbolehkan diekspos ada empat perusahaan. Total pekerja yang terkena PHK sekitar 13.800-an,” kata Presiden KSPN, Ristadi, Kamis, 13 Juni 2024 lalu.
Menurutnya, kondisi ini memang cukup lumrah di industri tekstil Tanah Air. Bahkan menurut dia, sekitar 90 persen pemangkasan yang terjadi di industri ini, khususnya dari perusahaan dengan pangsa pasar lokal tidak memberikan kejelasan terkait pemberian pesangon.
“Memang rata-rata ketika perusahaan pabrik atau produk tekstil, terutama yang local oriented, yang kebanyakan pasar lokal itu memang ketika pabrik tutup, pesangonnya 90 persen bermasalah. Kecuali untuk pabrik-pabrik yang ekspor oriented, itu mereka lebih patuh. Biasanya mengutamakan pemberian pesangon,” kata Ristadi.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.