Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ketika Alasan Belanja Birokrasi Tak Bikin PDB Melonjak

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 06 August 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Ketika Alasan Belanja Birokrasi Tak Bikin PDB Melonjak

KABARBURSA.COM - Bhima Yudhistira, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), berpendapat bahwa belanja pemerintah, meskipun terus meningkat, masih berdampak minimal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Bhima menyoroti bahwa tahun depan ada wacana kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), padahal tahun ini sudah naik 8 persen. Selain itu, ada juga rencana penambahan nomenklatur Kementerian dari pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

“Belanja pegawai dan barang itu lebih dari Rp800 triliun jika digabung. Tahun depan, gaji PNS mau dinaikkan lagi. Ini artinya belanja birokratis perlu dikurangi,” ujar Bhima dalam taklimat media yang digelar secara daring, Selasa 6 Agustus 2024.

Menurutnya, efisiensi belanja pemerintah terkait birokrasi perlu ditingkatkan dan disertai dengan peningkatan pelayanan publik.

Bhima menekankan pentingnya peningkatan indikator kepuasan pelayanan publik, penurunan angka korupsi, dan efisiensi birokrasi. Dengan kondisi saat ini, indikator-indikator tersebut seharusnya semakin baik.

“Birokrasi yang efisien harus dikejar sehingga porsi belanja modal bisa lebih besar,” tambahnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa belanja pemerintah di kuartal II-2024 tumbuh melambat akibat pergeseran jadwal belanja jika dibandingkan kuartal II-2023.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan bahwa belanja pemerintah hanya tumbuh 1,42 persen di kuartal II-2024 karena pembayaran gaji ke-13 dan Tunjangan Hari Raya (THR) tahun ini jatuh di kuartal I-2024.

“Kalau kita lihat kuartal I-2024, pertumbuhan belanja pemerintah sangat tinggi karena basisnya berbeda. Kuartal I-2023 belanja pemerintah relatif rendah dibandingkan kuartal I-2024,” ucap Febrio.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh positif. Konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar, dengan andil 53,53 persen dan tumbuh 4,93 persen (yoy), diikuti oleh Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dengan andil 27,89 persen dan tumbuh 4,43 persen (yoy).

Sementara itu, belanja pemerintah hanya memberikan kontribusi sebesar 7,31 persen terhadap Produk Domestik Bruto dan hanya tumbuh 1,42 persen (yoy).

Pemborosan Anggaran

Belajar dari kasus pembengkakan anggaran 2022 lalu, Abdullah Azwar Anas mengaku beberapa instansi di daerah belum mampu menjalankan program kemiskinan dengan hasil yang memadai.

Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Azwar Anas menyatakan bahwa banyak program kemiskinan seperti studi banding dan diseminasi program yang berulang kali diadakan di hotel. Namun, kenyataannya, alokasi anggaran bukan Rp500 triliun. Presiden berharap anggaran digunakan untuk program yang berdampak langsung pada masyarakat.

“Perjalanan dinas, menurut data Kemenkeu, pada 2022 mencapai puluhan triliun. Perlu dipilah mana yang perlu dan tidak,” kata Anas.

Azwar Anas juga menjelaskan tantangan dalam tata kelola birokrasi untuk pengentasan kemiskinan. Proses bisnis perlu diperiksa, regulasi disempurnakan, dan kebijakan diperkuat dengan indikator baru untuk mempercepat penurunan kemiskinan.

Kementerian Keuangan melaporkan bahwa belanja perjalanan dinas PNS pada 2022 membengkak hingga 72 persen, dari Rp27,3 triliun menjadi Rp37,8 triliun. Laporan juga menyebutkan bahwa alokasi anggaran pengentasan kemiskinan pada 2022 mencapai Rp431,5 triliun, termasuk Program Indonesia Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH), dan lain-lain.

Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan bahwa kementeriannya memperoleh alokasi Rp78 triliun untuk “uang perlindungan sosial”. Sebanyak Rp74 triliun untuk bansos, sementara Rp4 triliun untuk bantuan bencana, anak, lansia, disabilitas, dan lainnya. Rismaharini mengklaim anggaran tersebut digunakan secara sangat efisien.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menjelaskan bahwa anggaran perlindungan sosial termasuk untuk orang miskin, namun totalnya tidak mencapai Rp500 triliun. Muhadjir juga menambahkan bahwa perjalanan dinas dan rapat di hotel sering kali membludak di akhir tahun, meningkatkan anggaran.

Ketua Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menyebut praktik pemborosan anggaran sebagai hal lazim di birokrasi. Anggaran pengentasan kemiskinan sering digunakan untuk biaya pendukung seperti uang rapat, perjalanan dinas, dan honor panitia. Robert juga menekankan bahwa reformasi birokrasi tidak bisa dilakukan secara instan karena turut menggerakkan perekonomian daerah.

Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Danang Widoyoko, mengkritik bahwa PNS seringkali mendapatkan tambahan pemasukan dari perjalanan dinas dan rapat di hotel, berbeda dengan pegawai swasta. Sistem “single salary” atau penggajian tunggal diusulkan untuk mengatasi korupsi di birokrasi, namun masih dipertimbangkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Azwar Anas berkomitmen untuk reformasi birokrasi tematik dalam pengentasan kemiskinan melalui perbaikan proses bisnis, data, regulasi, dan dukungan IT melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik/SPBE. Presiden Jokowi juga menekankan agar semua program kemiskinan selaras dari pusat hingga daerah.

Direktur Eksekutif KPPOD, Armand Suparman, menyarankan agar pendataan valid dilakukan untuk kebijakan pengentasan kemiskinan. Ia juga mengapresiasi UU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang mengatur penggunaan belanja pegawai daerah maksimal 30 persen dari APBD dan anggaran infrastruktur minimal 40 persen. Implementasi regulasi ini perlu dipantau dan dilakukan secara bertahap untuk mengubah birokrasi. (*)