Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Industri Tekstil Indonesia Sedang tidak Baik, ini Buktinya

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 05 August 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Industri Tekstil Indonesia Sedang tidak Baik, ini Buktinya

KABARBURSA.COM - Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia, termasuk pakaian jadi, mengalami penurunan pada Kuartal II-2024. Penurunan ini terjadi baik secara tahunan maupun kuartalan.

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud mengatakan bahwa industri tekstil dan pakaian jadi mengalami kontraksi sebesar 0,03 persen secara year on year (yoy) pada kuartal II-2024. Secara kuartalan (q to q), tercatat kontraksi sebesar 2,63 persen.

“Jadi di kuartal II-2024 ini, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi mengalami kontraksi baik secara tahunan maupun kuartalan,” kata Edy dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 5 Agustus 2024.

Industri TPT nasional, ungkap Edy, memang sedang menghadapi tekanan. Hal itu terlihat dari banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga penutupan pabrik-pabrik tekstil di berbagai wilayah di Indonesia.

Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sejak Januari-Juni 2024 setidaknya terdapat 10 perusahaan yang telah melakukan PHK massal. Enam di antaranya karena penutupan pabrik, sedangkan empat sisanya melakukan efisiensi jumlah pegawai.

Total karyawan yang terkena PHK di 10 perusahaan tersebut sekitar 13.800-an orang. Jumlah itu kemungkinan lebih sedikit daripada kondisi nyata di lapangan, mengingat tidak semua perusahaan mau terbuka atas langkah PHK massal ini.

“Yang terdata dan kami sudah minta izin untuk boleh diekspos jumlah sebesar itu. Yang tutup sejak Januari sampai awal Juni 2024 ada enam perusahaan. Yang PHK dengan alasan efisiensi jumlah karyawan, yang memperbolehkan diekspos ada empat  perusahaan. Total pekerja yang terkena PHK sekitar 13.800-an,” kata Presiden KSPN Ristadi, Kamis, 13 Juni 2024.

Menurutnya, kondisi ini memang cukup lumrah di industri tekstil Tanah Air. Bahkan menurut dia, sekitar 90 persen pemangkasan yang terjadi di industri ini, khususnya dari perusahaan dengan pangsa pasar lokal tidak memberikan kejelasan terkait pemberian pesangon.

“Memang rata-rata ketika perusahaan pabrik atau produk tekstil, terutama yang local oriented, yang kebanyakan pasar lokal itu memang ketika pabrik tutup, pesangonnya 90 persen bermasalah. Kecuali untuk pabrik-pabrik yang ekspor oriented, itu mereka lebih patuh. Biasanya mengutamakan pemberian pesangon,” ujar Ristadi.

Berikut rincian daftar PHK pabrik tekstil yang terjadi di Indonesia pada Januari hingga Juni 2024:

PHK Massal Akibat Pabrik Tutup

  • PT Dupantex, Jawa Tengah - PHK sekitar 700 karyawan
  • PT Alenatex, Jawa Barat - PHK sekitar 700 karyawan
  • PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah - PHK sekitar 500 orang
  • PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah - PHK sekitar 700 orang
  • PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah - PHK sekitar 400 orang
  • PT Sai Apparel, Jawa Tengah - PHK sekitar 8.000 orang

PHK Massal Karena Efisiensi

  • PT Sinar Pantja Djaja, Semarang - PHK sekitar 2.000 karyawan
  • PT Bitratex, Semarang - PHK sekitar 400 karyawan
  • PT Djohartex, Magelang - PHK sekitar 300 karyawan
  • PT Pulomas, Bandung - PHK sekitar 100 karyawan.

Gelombang PHK akan Berlanjut

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani memperkirakan gelombang PHK di Indonesia akan terus berlanjut pada tahun 2024. Menurut dia, sektor-sektor industri yang mungkin melakukan PHK adalah yang padat karya dan berorientasi ekspor, seperti industri garmen atau tekstil.

“Potensi PHK masih ada, tapi lebih kepada selected industry, khususnya industri padat karya berorientasi ekspor seperti sektor garmen yang memang selama ini sudah mengalami tekanan baik dari sisi pasar maupun dari sisi inflasi biaya usaha,” kata Shinta.

Selain itu, Shinta menilai industri manufaktur juga berpotensi melakukan PHK ke karyawan, meski jumlahnya tidak terlalu besar. Di tengah kondisi itu, kemungkinan besar yang terjadi yaitu tidak akan ada perekrutan karyawan baru.

“Untuk industri manufaktur lain sebetulnya resiko PHK-nya tidak terlalu besar, tetapi kemungkinan besar akan terjadi hiring freeze yang berkepanjangan,” ujar Shinta.

Shinta memandang industri manufaktur nasional saat ini masih relatif stabil. Namun hingga akhir tahun akan cukup menantang.

“Ini karena risiko inflasi biaya operasi usaha atau capex (efek samping pelemahan nilai tukar) akan tetap tinggi hingga akhir tahun,” tuturnya.

Sementara itu, di sisi pasar terdapat potensi penurunan daya beli masyarakat di paruh kedua 2024, juga maraknya impor ilegal. Selain itu, pelaku usaha di sektor juga masih banyak yang wait and see untuk ekspansi karena transisi politik.

“Tiga kombinasi faktor ini menyebabkan ekspansi usaha di sektor manufaktur cenderung lemah sepanjang tahun sehingga potensi hiring freeze dan PHK masih tetap terbuka, bergantung pada kondisi iklim usaha atau investasi yang diciptakan oleh ketiga faktor tersebut, termasuk intervensi kebijakan pemerintah yang mempengaruhi faktor tersebut," terang Shinta.

Meski begitu, Shinta memastikan, pelaku usaha atau industri yang merupakan anggota Apindo tetap akan mematuhi aturan jika melakukan PHK terhadap karyawannya.

“Sepengetahuan kami dari anggota Apindo kalau ada yang harus PHK karyawan mengikuti aturan yang berlaku. Namun masih banyak yang berupaya untuk tetap mempertahankan karyawannya sebisa mungkin tapi tidak melakukan rekrutmen,”tuturnya.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat total pekerja yang terdampak PHK sepanjang semester I 2024 mencapai 32.064 pekerja.

Berdasarkan Laporan Bulanan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, hingga hingga Juni 2024, PHK terbanyak terjadi di DKI Jakarta dengan jumlah 7.469 pekerja.

Daerah kedua terbanyak adalah Banten dengan total 6.135 pekerja, disusul Jawa Barat sebanyak 5.155 pekerja dan Jawa Tengah dengan 4.275 pekerja.

Posisi selanjutnya adalah Sulawesi Tengah dengan total 1.812 pekerja yang terkena PHK, kemudian Bangka Belitung 1.527 pekerja, dan Riau sebanyak 833 pekerja.

Berikutnya adalah daerah dengan PHK terbanyak lainnya adalah Jawa Timur dengan total 819 pekerja, Kalimantan Barat 785 pekerja, dan terakhir posisi ke-10 adalah Sumatera Utara dengan 539 pekerja terkena PHK. (*)