Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Asosiasi Kritik PP 17 UU Kesehatan: bikin Seret Omset

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 02 August 2024 | Penulis: Pramirvan Datu | Editor: Redaksi
Asosiasi Kritik PP 17 UU Kesehatan: bikin Seret Omset

KABARBURSA.COM - Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) menyatakan keberatannya terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang menjadi turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aparsi menilai beberapa pasal dalam peraturan tersebut, yang melarang penjualan produk tembakau, mengancam keberlangsungan usaha para pedagang pasar.

Ketua Umum Aparsi, Suhendro, menyampaikan bahwa PP Kesehatan ini akan berdampak serius terhadap sekitar 9 juta pedagang pasar di seluruh Indonesia. Salah satu ketentuan yang dikecam adalah larangan menjual rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta pelarangan penjualan rokok secara eceran. Suhendro menilai aturan ini masih sangat ambigu dan sulit diterapkan.

“Kami menolak keras dua larangan ini karena banyak pasar yang berdekatan dengan sekolah atau fasilitas bermain anak. Selain itu, peraturan ini juga bisa menurunkan omzet pedagang pasar yang banyak bergantung pada penjualan produk tembakau. Ini akan menimbulkan masalah baru bagi kami sebagai pelaku usaha,” ujar Suhendro.

Dalam situasi ini, Suhendro berpendapat bahwa larangan tersebut bisa menghambat pertumbuhan ekonomi pedagang pasar yang baru saja mulai bangkit pasca pandemi. Menurutnya, penerapan aturan ini dapat menurunkan omzet usaha sebesar 20-30 persen, bahkan mengancam penutupan usaha karena tembakau adalah salah satu komoditas utama bagi pedagang pasar.

Sebelumnya, Suhendro bersama Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI) juga menyuarakan penolakannya terhadap larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan. Mereka menilai aturan ini akan merusak rantai pasok antara pedagang grosir dan pedagang kelontong.

“Jika diterapkan, aturan ini sama saja ingin mematikan usaha perdagangan rakyat. Rantai pasok antara pedagang grosir dan kelontong bisa rusak karena regulasi yang tidak seimbang,” tambah Suhendro dalam konferensi pers bersama APARSI dan PPKSI.

Oleh karena itu, Aparsi secara tegas menolak PP Kesehatan Nomor 28/2024 yang dianggap mendiskreditkan usaha pedagang pasar.

Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur larangan penjualan produk tembakau (rokok) secara eceran satuan per batang, kecuali cerutu atau rokok elektronik. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 434 ayat (1) poin c PP tersebut.

Pasal 434 mengatur bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik dengan menggunakan mesin layan diri, kepada orang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil, secara eceran satuan per batang (kecuali cerutu dan rokok elektronik), di area sekitar pintu masuk dan keluar, dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.

Pasal 434 ayat (2) memberikan pengecualian untuk jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial jika terdapat verifikasi umur.

Meniru Pendekatan Eropa

Pakar kesehatan publik Laifa Annisa menekankan pentingnya Indonesia meniru pendekatan Eropa, terutama Belanda, dalam menangani kecanduan merokok melalui program klinik khusus untuk berhenti merokok. klinik ini menggunakan berbagai medium termasuk produk alternatif tembakau sebagai instrumen untuk membantu para perokok berhenti.

Laifa menyarankan bahwa pembelajaran dari Belanda dapat diterapkan di Indonesia dengan menciptakan program terstruktur yang memanfaatkan produk alternatif tembakau untuk mengurangi angka perokok dewasa. Namun, ia mengakui bahwa ada tantangan, terutama dengan anggapan masyarakat Indonesia yang masih menganggap vape sama atau lebih berbahaya daripada rokok konvensional.

Sebuah riset dari IPSOS pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 70 persen perokok Indonesia memiliki pandangan tersebut, yang menurut Laifa perlu diluruskan untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia. Ia juga menekankan pentingnya regulasi yang tepat sasaran bagi industri vape, dengan transparansi dan akuntabilitas untuk meningkatkan standar  kesehatan masyarakat sambil mendorong inovasi.

Lebih lanjut, Karl Fagerstrom, pakar nikotin dan kesehatan publik, juga menambahkan bahwa Swedia adalah contoh sukses dalam penerapan produk alternatif tembakau sebagai bagian dari kampanye berhenti merokok. Penggunaan produk tembakau tanpa asap di Swedia menunjukkan bahwa meskipun nikotin adiktif, produk tanpa asap tidak menyebabkan penyakit serius yang terkait dengan merokok.

Hal ini berkontribusi pada tingkat kanker paru-paru dan kematian akibat tembakau yang lebih rendah di Swedia dibandingkan dengan negara lain di Eropa. Fagerstrom menjelaskan bahwa mengatasi misinformasi tentang nikotin di masyarakat dapat menghasilkan kebijakan kesehatan yang lebih efektif dan melindungi masyarakat lebih baik.

“Pengalaman Swedia menunjukkan bahwa dengan memberikan ruang bagi produk tembakau tanpa asap, tingkat  kesehatan masyarakat dapat ditingkatkan secara signifikan,” tutur Fagerstrom. (*)