KABARBURSA.COM - Laporan terbaru dari S&P Global menunjukkan bahwa pemilik usaha tengah menghadapi tekanan yang signifikan, berdampak langsung pada meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama di kalangan pekerja kontrak atau buruh harian lepas.
Menurut kajian S&P Global terhadap sektor manufaktur di Indonesia, terjadi penurunan tajam dalam output produksi dan angka pesanan baru pada bulan Juli lalu. Banyak perusahaan manufaktur memilih untuk mengurangi jumlah karyawan mereka untuk ketiga kalinya dalam empat bulan terakhir.
Indeks Manajer Pembelian (PMI) sektor manufaktur Indonesia turun ke zona kontraksi di angka 49,3 pada Juli, menurun dari 50,7 di bulan sebelumnya. Meskipun penurunan ini relatif kecil, ini merupakan kontraksi pertama sejak Agustus 2021, saat pandemi masih melanda.
Perusahaan-perusahaan di sektor manufaktur melaporkan bahwa permintaan pasar saat ini sedang lesu, menjadi faktor utama penurunan penjualan yang pertama kali terjadi dalam setahun terakhir.
S&P Global mencatat adanya kelebihan produksi di sektor manufaktur meskipun terjadi penurunan output secara keseluruhan. Persediaan barang mengalami peningkatan signifikan untuk kelima kalinya dalam enam bulan terakhir, yang akhirnya mendorong produsen untuk mengurangi aktivitas pembelian pada bulan Juli—penurunan pertama sejak Agustus 2021.
Pengurangan jumlah karyawan juga terjadi dengan penurunan yang paling tajam dalam hampir tiga tahun. Laporan S&P Global menyebutkan banyaknya kasus kontrak karyawan yang tidak diperpanjang, seperti yang disiarkan dalam rilis Kamis pagi.
Laporan ini seolah melengkapi berbagai indikator yang menunjukkan ancaman besar. Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan bahwa angka PHK di Indonesia melonjak lebih dari 30.000 orang selama enam bulan pertama tahun ini, meningkat sebesar 95 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Perekomian Indonesia menunjukkan gejala kemerosotan dengan terus meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang Januari hingga Juni 2024, sebanyak 32.064 tenaga kerja mengalami PHK, melonjak 21,45 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencatat 26.400 orang.
Menurut Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, lonjakan PHK ini mencerminkan kelemahan mendalam dalam ekonomi domestik. PHK, sebagai indikator keterlambatan (lagging indicator), menunjukkan dampak nyata dari pelemahan ekonomi yang sedang berlangsung.
“Ini mengisyaratkan bahwa kondisi ekonomi riil kita lebih buruk daripada angka-angka PHK yang tercatat,” ungkap Wijayanto, dikutip Kamis 1 Agustus 2024.
DKI Jakarta memimpin dalam jumlah PHK dengan 7.469 orang, diikuti Banten dengan 6.135 orang, Jawa Barat sebanyak 5.155 orang, Jawa Tengah 4.275 orang, Sulawesi Tengah 1.812 orang, dan Bangka Belitung 1.527 orang.
Wijayanto menambahkan bahwa sektor yang paling terdampak adalah manufaktur, yang menunjukkan tren deindustrialisasi yang terus berlanjut. Para pengusaha di sektor ini tidak melakukan perekrutan baru, melainkan melakukan efisiensi dan rasionalisasi tenaga kerja.
“Di tengah kondisi ekonomi yang semakin memburuk, tingginya biaya operasional, minimnya dukungan pemerintah, dan persaingan dari produk impor yang intensif, banyak pengusaha yang beralih dari produksi menjadi importir produk China. Ini merupakan tren yang sangat mengkhawatirkan,” ujar Wijayanto.
Dia menekankan bahwa tanpa intervensi serius dari pemerintah, deindustrialisasi akan semakin meluas, PHK massal akan semakin sering terjadi, penerimaan pajak akan terus menurun, dan ketergantungan pada produk impor akan meningkat.
Namun, Wijayanto melihat peluang dalam konflik dagang antara China dan Amerika Serikat. Dia berpendapat bahwa Indonesia harus memanfaatkan relokasi industri China untuk memperkuat ekspor ke Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa.
“Ini adalah kesempatan besar yang harus dimanfaatkan. Sementara Vietnam, Thailand, dan Laos sudah mendapatkan manfaat, pemerintah Indonesia harus memperbaiki iklim investasi dan memastikan bahwa Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa mendukung strategi ini,” harapnya.
Efek Omnibus Law
Peningkatan PHK di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang Cipta Kerja, yang dianggap semakin membuat posisi karyawan menjadi rentan. Dalam judicial review terhadap UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia membeberkan alasan-alasan mereka untuk mencabut undang-undang tersebut.
UU ini tidak memberikan batasan jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing dan menghilangkan kepastian kerja bagi buruh. Said Iqbal, Presiden KSPI, menegaskan bahwa undang-undang ini memungkinkan kontrak kerja berulang tanpa jaminan menjadi pekerja tetap, yang mengancam stabilitas kerja.
Beleid kontroversial ini juga hanya mengatur pesangon PHK menjadi setengah dari aturan sebelumnya, merugikan pekerja yang terkena PHK dan mempermudah proses PHK, membuat pekerja kehilangan kepastian kerja dan pendapatan.
Di masa lalu, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja kontrak bisa diangkat menjadi karyawan tetap setelah bekerja maksimal dua tahun, dengan perpanjangan satu kali untuk satu tahun ke depan. Peraturan ini dihapus dalam UU Cipta Kerja, sehingga memungkinkan pemberi kerja untuk memperpanjang kontrak atau memutus kontrak tanpa harus mengangkat karyawan sebagai pekerja tetap.
Lapangan Kerja Menciut
Keadaan pasar kerja di Indonesia semakin menurun akibat pelemahan aktivitas manufaktur, menjadi kabar buruk di tengah penurunan penciptaan lapangan kerja dalam satu dekade terakhir.
Data dari Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penambahan lapangan kerja di sektor formal selama sepuluh tahun terakhir mengalami kemunduran. Dari 2009 hingga 2014, sektor formal menyerap sekitar 15,62 juta pekerja.
Namun, angka ini menurun menjadi 7,78 juta pekerja antara 2014 dan 2019, dan hanya 2,77 juta pekerja pada periode 2019 hingga 2024. Dengan kata lain, dalam sepuluh tahun terakhir, terutama lima tahun terakhir, peluang pekerjaan di sektor formal semakin menyusut.
Sektor formal, menurut definisi BPS, mencakup pegawai tetap dan pekerja mandiri dengan buruh berupah tetap. Hingga Februari lalu, hanya 58,05 juta orang Indonesia yang bekerja di sektor formal.
Pandemi memang memperburuk ketersediaan lapangan kerja di sektor formal, namun tren penurunan sebenarnya sudah dimulai sebelum pandemi. Penurunan ketersediaan lapangan kerja terlihat dari data pada periode awal pemerintahan Jokowi jika dibandingkan dengan era terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana penambahan lapangan kerja turun drastis dari 15,62 juta menjadi 7,88 juta. (*)