Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

BI Edarkan Larangan SRBI Dijual ke Ritel, ini Alasannya

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 25 July 2024 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
BI Edarkan Larangan SRBI Dijual ke Ritel, ini Alasannya

KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) baru saja mengeluarkan surat edaran yang menghimbau para bankir agar tidak melakukan mobilisasi dana pihak ketiga (DPK) dan tidak memasarkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) secara langsung kepada nasabah ritel. Surat edaran bernomor 26/3/DGS-DPMA/Srt/B ini ditandatangani oleh Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti pada 24 Juli 2024.

Dalam surat tersebut, BI menjelaskan dua poin utama mengenai implementasi SRBI sebagai instrumen operasi moneter pro market:

  • Pertama, penerbitan SRBI telah berhasil mendorong pendalaman pasar uang, yang terlihat dari peningkatan volume transaksi repo dan outright SRBI di pasar sekunder.
  • Kedua, dengan mempertimbangkan tujuan utama penerbitan SRBI sebagai instrumen operasi moneter pro market untuk memperkuat transmisi kebijakan moneter dan pendalaman pasar uang,
  • BI menghimbau agar bank melakukan transaksi SRBI dengan mempertimbangkan pengelolaan likuiditas bank, mengacu kepada market conduct, tidak melakukan mobilisasi DPK, dan tidak memasarkan SRBI serta instrumen operasi moneter lainnya secara langsung kepada nasabah ritel.

Langkah BI ini, menurut para analis dilakukan untuk mencegah efek samping SRBI terhadap operasional perbankan. Lionel Prayadi, Macro Strategist Mega Capital Sekuritas, menyatakan bahwa jika SRBI menjadi acuan bagi nasabah ritel untuk menabung, biaya dana (cost of fund) perbankan bisa naik dan menggerus margin bunga bersih (net interest margin). Hal ini tidak hanya mengurangi profitabilitas perbankan, tetapi juga bisa memicu aksi jual saham-saham perbankan di bursa.

Pada saat yang sama, dalam dua lelang terakhir, BI menurunkan bunga diskonto SRBI secara tajam menjadi 7,24 persen untuk tenor 12 bulan. Lionel menduga bahwa BI berani menempuh langkah tersebut karena pola bull steepening di pasar surat utang AS, Treasury.

Imbal hasil UST-2Y turun 6,1 bps menjadi 4,43 persen seiring dengan menguatnya ekspektasi pasar atas pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve pada bulan September. Sementara itu, yield 30Y UST naik 5,8 bps menjadi 4,54 persen karena ekspektasi pertumbuhan ekonomi AS yang solid dengan ekspektasi pertumbuhan Q2 2024 naik menjadi 2,00 persen dari 1,40 persen pada Q1 2024.

Gacor Tarik Modal Asing

Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI gacor di mata investor, bahkan aliran modal asing naik hingga Rp108 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama di bulan lalu.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, mengungkapkan bahwa per 15 Juli 2024 SRBI berhasil menarik dana hingga Rp775,4 triliun, bersama dengan instrumen lain seperti Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) yang memperoleh USD1,82 miliar, dan Suku Valas Bank Indonesia (SUVBI) yang mencapai USD267 juta.

Perry Warjiyo menekankan bahwa penerbitan SRBI telah berperan penting dalam mendukung aliran modal asing ke dalam negeri dan stabilitas nilai tukar Rupiah. Data menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan posisi per 14 Juni 2024, di mana SRBI tercatat sebesar Rp666,53 triliun, SVBI sebesar USD2,3 miliar, dan SUVBI sebesar USD395 juta.

Aliran modal asing yang masuk ke instrumen-instrumen ini juga semakin meningkat, dengan kepemilikan non-residen mencapai Rp220,35 triliun atau 28,42 persen dari total outstanding SRBI per 15 Juli 2024. Sebagai perbandingan, pada bulan sebelumnya, kepemilikan asing baru mencapai Rp179,86 triliun atau 26,98 persen dari total outstanding.

Perry Warjiyo menegaskan bahwa ke depan, BI akan terus mengoptimalkan berbagai inovasi instrumen pro-market dari sisi volume maupun daya tarik imbal hasil, didukung oleh kondisi fundamental ekonomi domestik yang kuat. Hal ini bertujuan untuk mendorong berlanjutnya aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan domestik.

Animo investor pada instrumen bank sentral dengan bunga diskonto tinggi, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), kian meningkat. Kalangan pemodal dari berbagai sektor berbondong-bondong menyerbu instrumen ini.

Tidak hanya pemodal asing, pemilik dan pengelola dana domestik juga makin antusias memburu SRBI. Minat yang makin terpusat pada instrumen tenor pendek ini memicu keketatan likuiditas di perbankan, menyebabkan beberapa bank menurunkan target kreditnya.

Investor dari sektor perbankan bukan satu-satunya yang menimbun SRBI. Pengelola dana di industri nonbank seperti asuransi, dana pensiun, dan reksa dana juga meningkatkan minat mereka. Data Bank Indonesia menunjukkan industri nonbank memborong SRBI sebesar Rp34,4 triliun selama Juni, naik tajam dibanding Mei yang hanya sebesar Rp1,3 triliun.

Investor asing menurunkan pembelian instrumen tenor pendek ini menjadi Rp40,3 triliun dari bulan sebelumnya sebesar Rp77 triliun. Investor asing saat ini menguasai 27 persen dari total SRBI yang beredar, sementara perbankan domestik memiliki 64 persen dan investor nonbank domestik sebanyak 6 persen.

Menurut Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan, arus masuk asing yang lebih rendah dan pembelian SRBI oleh investor domestik yang lebih tinggi bisa memicu efek crowding out yang lebih serius. SRBI, yang awalnya dirancang untuk menarik modal asing dan meningkatkan suplai valas di dalam negeri guna membantu penguatan rupiah, justru menguras likuiditas dalam negeri yang seharusnya bisa disalurkan ke obligasi pemerintah atau pasar saham.(*)