KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi 1,42 persen ke level 6.827 pada perdagangan Kamis, 8 Mei 2025. Pelemahan ini ternyata disebabkan oleh beberapa sentimen.
Analis sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan, salah satu penyebab koreksi tajam ini dipicu oleh penurunan cadangan devisa Indonesia sebesar USD152,5 miliar. Diketahui, angka ini menurun dibanding bulan sebelumnya, atau akhir Maret 2025. senilai USD157,1 miliar.
"Penurunan ini mencerminkan langkah intervensi (Bank Indonesia) BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, yang sebelumnya sempat tertekan hingga mendekati Rp16.700 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup menguat ke level Rp16.502," ujar dia dalam risetnya, Kamis, 8 Mei 2025.
Meski ini menunjukkan respons cepat otoritas moneter, namun pelaku pasar menafsirkan situasi ini sebagai sinyal tekanan terhadap sektor eksternal.
Dari luar negri, sentimen negatif datang dari keputusan Federal Reserve (The Fed) yang kembali menahan suku bunga di level 5,25–5,50 persen.
Meskipun kebijakan ini bersifat netral, Hendra menyebut pasar sebelumnya berharap adanya pemangkasan lanjutan pada 2025. Sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia menilai pelaku pasar global, khususnya investor asing cenderung mengurangi eksposurnya di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Sentimen negatif semakin diperkuat oleh meningkatnya ketidakpastian global akibat kebijakan tarif besar-besaran Presiden Donald Trump yang diumumkan pada awal April 2025, yang memicu kekhawatiran akan babak baru perang dagang global," ungkapnya.
Hendra menerangkan, saham-saham sektor perbankan seperti BBCA, BBRI, dan BMRI menjadi pemberat utama indeks pada perdagangan kemarin. Sebab, bobot kapitalisasi yang besar, serta kemungkinan aksi profit-taking dari investor asing.
Sebaliknya, lanjut dia, sektor defensif mulai menunjukkan daya tahan, terlihat dari kenaikan saham-saham seperti (ICBP) dan (KLBF).
"Yang paling menonjol adalah lonjakan saham BBTN sebesar 9,95 persen, yang didorong oleh prospek positif dari program perumahan nasional serta ekspektasi sinergi ke depan dalam ekosistem holding ultra mikro," jelasnya.
Dari sisi teknikal, Hendra menjelaskan pelemahan IHSG juga tergolong wajar sebagai bentuk koreksi setelah penguatan dalam beberapa hari terakhir, terutama karena indeks gagal menembus resistance psikologis di kisaran 7.000 dan berpotensi menguji support MA10 di level 6.783 dalam waktu dekat.
Secara keseluruhan, ia menilai pelemahan IHSG kemarin lebih disebabkan oleh rotasi aset dan kekhawatiran global jangka pendek, bukan pelemahan fundamental ekonomi nasional, sehingga investor perlu tetap selektif namun tidak perlu panik yang berlebihan.
"Untuk perdagangan hari ini, saham-saham seperti BBTN (target 1.200), AMRT (target 2.470), dan DKFT (target 380) layak dicermati karena memiliki momentum teknikal kuat dan dukungan sentimen sektoral," pungkasnya.
Sebelumnya, Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan, penurunan angka tersebut dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai respons BI dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang makin tinggi.
"Posisi cadangan devisa pada akhir April 2025 setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis, 8 Mei 2025.
Menurut Ramdan, BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Ke depan, lanjut dia, BI memandang posisi cadangan devisa memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus, serta persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.
"Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan Pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," pungkasnya.
Setelah reli panjang selama delapan hari perdagangan, IHSG akhirnya tersandung juga pada penutupan pasar saham kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan tercatat melemah tajam sebesar 1,4 persen dan ditutup di level 6.827,8.
Penurunan ini menjadi yang pertama dalam lebih dari seminggu terakhir dan sekaligus menjadi sinyal bahwa pasar mulai kembali realistis terhadap dinamika ekonomi makro, termasuk perkembangan cadangan devisa Indonesia yang baru-baru ini menunjukkan tekanan serius.
Dari sudut pandang arus modal, Mirae Asset Sekuritas Indonesia melihat investor asing secara kolektif menarik dana sebesar Rp842 miliar, dengan sektor perbankan menjadi korban utama. Saham-saham unggulan seperti BMRI, BBRI, dan BBNI masing-masing mencatat net sell signifikan, sementara ASII dan TLKM juga mengalami tekanan jual dari investor global.
Koreksi tajam ini seolah mempertegas bahwa kenaikan IHSG sebelumnya mungkin terlalu cepat dan tidak cukup merefleksikan realita ekonomi dalam negeri yang masih penuh tantangan.
Salah satu indikator penting yang memperkuat sentimen negatif adalah laporan terbaru mengenai cadangan devisa Bank Indonesia. Pada April 2025, posisi cadangan devisa tercatat turun signifikan sebesar USD4,6 miliar dan kini hanya menyisakan USD152,5 miliar.
Jika dikonversi, angka ini setara dengan lebih dari dua ribu triliun rupiah, angka yang tetap besar namun mencerminkan tekanan nyata yang dihadapi ekonomi nasional. Penurunan tajam ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
Di awal April, rupiah sempat melemah drastis ke kisaran Rp17.200 per USD, dipicu oleh pengumuman “Liberation Day” dari Presiden AS Donald Trump yang mengguncang pasar keuangan global. Bank Indonesia, tentu saja, harus mengambil langkah stabilisasi yang menguras sebagian dari cadangan devisa Indonesia dalam rupiah.
Dalam konteks makroekonomi, ini adalah ilustrasi yang sangat jelas tentang cadangan devisa untuk apa, yaitu sebagai tameng untuk menjaga stabilitas kurs dan ketahanan sektor eksternal di tengah badai global.
Mirae Asset Sekuritas menyoroti bahwa arus modal keluar dan tekanan terhadap pasar saham bukan hanya akibat faktor eksternal, tetapi juga mencerminkan fundamental domestik yang belum sepenuhnya solid. Salah satunya adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di kuartal pertama 2025 yang lebih rendah dari perkiraan pasar.
Ini memicu kekhawatiran bahwa pemulihan ekonomi pascapandemi mulai kehilangan momentum justru di saat tekanan global kembali meningkat. Kombinasi dari pelemahan pertumbuhan, penurunan cadangan devisa Indonesia 2025, dan potensi pelebaran defisit transaksi berjalan adalah alasan mengapa investor asing tampak mulai berhati-hati.
Untuk bulan Mei, Mirae Asset memperkirakan cadangan devisa Indonesia tidak akan banyak berubah karena pergerakan rupiah mulai stabil dalam beberapa pekan terakhir. Namun, itu bukan berarti risiko telah berlalu. Tantangan ke depan tetap tinggi, terutama dari sisi geopolitik dan ketidakpastian perang dagang yang dapat kembali mengguncang pasar keuangan global.
Jika ketegangan meningkat, bukan tak mungkin Rupiah kembali tertekan, yang pada akhirnya bisa memaksa Bank Indonesia kembali menggunakan cadangan devisa sebagai instrumen stabilisasi. Dalam skenario ini, kita bisa melihat pelemahan lebih lanjut dalam posisi devisa nasional.
Di tengah ketidakpastian ini, penting bagi publik untuk memahami bahwa cadangan devisa Indonesia bukan sekadar angka di laporan keuangan negara, tapi juga barometer kepercayaan pasar terhadap ketahanan ekonomi nasional. Dari stabilitas nilai tukar, pembayaran utang luar negeri, hingga menjaga kepercayaan investor asing, itulah cadangan devisa untuk apa.
Oleh karena itu, koreksi pasar saat ini sebaiknya tidak dianggap sebagai gangguan teknikal semata, tetapi sebagai pengingat bahwa stabilitas ekonomi tetap rentan terhadap guncangan eksternal. Maka dari itu, menjaga cadangan devisa tetap kuat dan memastikan pemanfaatannya yang bijak menjadi kunci utama menghadapi ketidakpastian ekonomi global ke depan.(*)