Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Saham Dassault Aviation Jatuh Usai Insiden Rafale India

Seberapa kuat Dassault bisa mempertahankan kepercayaan pasar dalam menghadapi tekanan opini dan fakta di lapangan.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 08 May 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Yunila Wati
Saham Dassault Aviation Jatuh Usai Insiden Rafale India Ilustrasi jatuhnya pesawat tempur Rafale dan anjloknya saham Dassault. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Saham Dassault Aviation, produsen pesawat tempur Rafale asal Prancis, mengalami tekanan hebat di pasar setelah laporan jatuhnya jet tempur buatan mereka di wilayah konflik antara India dan Pakistan. Peristiwa ini terjadi pada 7 Mei 2025, saat India meluncurkan serangan udara ke sejumlah titik strategis di Pakistan dan wilayah Kashmir yang dikuasai Islamabad.

Dalam operasi militer bertajuk Operasi Sindoor, Angkatan Udara India mengerahkan jet tempur Rafale untuk menggempur setidaknya sembilan target. Pemerintah Pakistan kemudian mengklaim bahwa mereka berhasil menembak jatuh lima jet tempur India, termasuk tiga unit Rafale—klaim yang memicu sorotan tajam terhadap kinerja tempur jet andalan buatan Prancis tersebut.

Seorang pejabat intelijen Prancis yang tak disebutkan namanya, seperti dikutip dari media lokal, mengonfirmasi bahwa setidaknya satu unit Rafale milik India memang jatuh akibat tembakan dari sistem pertahanan udara Pakistan. Jika terbukti, insiden ini menjadi salah satu yang pertama dalam sejarah operasional Rafale di mana pesawat tersebut gugur dalam aksi tempur langsung.

Reaksi pasar pun langsung terasa. Saham Dassault Aviation yang tercatat di Bursa Paris (Euronext) terkoreksi lebih dari 5% tak lama setelah kabar insiden mencuat. Investor merespons negatif atas kekhawatiran potensi kerugian reputasi dan ancaman terhadap kontrak ekspor di masa depan.

Meski begitu, secara fundamental, performa Dassault sepanjang tahun lalu masih terbilang kuat. Perusahaan mencatat laba bersih sebesar EUR924 juta sepanjang 2024, dengan tumpukan pesanan (backlog) mencapai 299 pesawat senilai E43,2 miliar. Penjualan jet Rafale ke berbagai negara seperti Mesir, India, dan UEA masih menjadi tulang punggung kinerja keuangan perusahaan.

Namun kini tantangannya berlapis. Di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat, ditambah dengan potensi gangguan rantai pasok, manajemen Dassault harus bergerak cepat untuk meredam dampak reputasi dari insiden ini.

Pertanyaannya kini bukan hanya soal performa Rafale di langit, tetapi juga seberapa kuat Dassault bisa mempertahankan kepercayaan pasar dalam menghadapi tekanan opini dan fakta di lapangan. Reaksi lanjutan dari negara-negara klien serta hasil investigasi atas insiden jatuhnya Rafale diprediksi akan sangat menentukan arah pergerakan saham dan prospek bisnis Dassault ke depan.

Potret Terkini Sang Raksasa Dirgantara Prancis

Nama Dassault Aviation kembali menjadi perbincangan hangat, tak hanya karena kiprahnya di medan konflik Asia Selatan, tetapi juga karena performa keuangan dan sahamnya yang mencuri perhatian di bursa. 

Produsen pesawat tempur Rafale ini membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pemain lawas di industri pertahanan global, tetapi juga kekuatan finansial yang layak diperhitungkan.

Sepanjang 2024, produsen pesawat tempur Rafale itu mencetak pendapatan sebesar EUR6,23 miliar, naik signifikan dari EUR4,80 miliar pada tahun sebelumnya. Laba bersih perusahaan pun melesat menjadi EUR1,1 miliar, dengan margin yang solid di kisaran 17 persen. 

Pesanan baru berdatangan: 30 unit Rafale untuk ekspor dan 26 jet bisnis Falcon berhasil masuk dalam portofolio. Total tumpukan pesanan (backlog) hingga akhir 2024 mencapai EUR43,22 miliar, mencerminkan kuatnya permintaan global terhadap lini produk mereka.

Tak mengherankan, saham Dassault yang tercatat di Bursa Euronext Paris (kode: AM.PA) melonjak lebih dari 50 persen dalam tiga bulan terakhir. Lonjakan ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek jangka panjang perusahaan, meskipun sesekali diguncang isu geopolitik.

Namun perjalanan di pasar modal tak selalu mulus. Saham Dassault terkoreksi tajam setelah kabar jatuhnya jet Rafale India dalam konflik bersenjata dengan Pakistan mencuat. Meski belum ada konfirmasi resmi menyeluruh, insiden ini memberi dampak sentimen negatif jangka pendek di lantai bursa.

Dari sisi kepemilikan, produsen Rafale ini dikuasai oleh Groupe Industriel Marcel Dassault yang menggenggam 66,28 persen saham. Airbus SE memiliki 10,56 persen, sementara sisa 22,94 persen beredar di publik (free float). Dengan struktur seperti ini, pengendali utama perusahaan tetap berada di tangan keluarga pendiri. Ini penting untuk menjaga stabilitas arah bisnis jangka panjang.

Berdiri sejak tahun 1916, produsen Rafale telah menorehkan jejak panjang di dunia aviasi militer dan sipil. Rafale, yang kini menjadi andalan ekspor pertahanan Prancis, telah dipesan lebih dari 500 unit oleh sejumlah negara, termasuk India, UEA, dan Mesir. Selain itu, lini Falcon mereka masih menjadi primadona di pasar jet bisnis global.

Meski sektor pertahanan global terus menghadapi tantangan seperti ketegangan geopolitik dan rantai pasok yang belum sepenuhnya pulih, permintaan terhadap pesawat tempur dan teknologi pertahanan tetap tinggi. Dengan rekam jejak panjang, backlog yang kuat, serta pengembangan produk berkelanjutan, produsen Rafale ini masih berada di lintasan yang mengarah pada pertumbuhan berkelanjutan.

Apakah mereka akan terus terbang tinggi? Semua tergantung pada kemampuan mereka menjaga kualitas produk, ketepatan waktu pengiriman, dan kemampuan meredam dampak reputasi dari insiden-insiden di lapangan. 

Namun untuk saat ini, produsen Rafale ini tetap jadi pemain utama yang tak bisa diabaikan di langit industri pertahanan global.(*)