KABARBURSA.COM – Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menegaskan bahwa kekacauan sistem Coretax tidak bisa dijadikan dasar untuk mendesak pengunduran diri Dirjen Pajak Suryo Utomo.
Menurutnya, hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan sebagai pemegang kendali langsung atas jabatan tersebut.
"Jabatan Dirjen Pajak itu sepenuhnya kewenangan Presiden. Jadi, kalau ada yang minta beliau mundur, ya itu bukan domain saya. Yang berhak merespons adalah Presiden dan Menteri Keuangan sebagai user-nya," kata Misbakhun di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 7 Mei 2025.
Terkait kekisruhan sistem teknologi informasi perpajakan Coretax, Misbakhun menilai bahwa evaluasi terhadap proyek yang telah menelan anggaran triliunan rupiah ini harus dilakukan secara cermat dan tidak emosional. Ia meminta publik untuk menunggu hingga tenggat yang telah dijanjikan Ditjen Pajak.
"Ada dua janji. Pertama, selesai pada Juli. Kedua, rampung sepenuhnya pada 31 Desember. Kita tunggu saja. Kalau lewat dari itu, kita lihat apa masalahnya,” ujarnya.
Menurutnya, Coretax sebagai sistem digitalisasi harus berfungsi optimal, namun jika ada hambatan teknis, maka evaluasi harus mengacu pada kondisi aktual dan bukan tekanan opini.
Soal langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan mengaudit proyek Coretax, Misbakhun menyebut hal itu sebagai langkah yang sah dan sesuai prosedur.
Ia menegaskan tidak perlu ada kegaduhan karena pengawasan terhadap belanja negara adalah bagian dari mekanisme tata kelola anggaran yang sehat.
“BPK mengaudit itu hal wajar. Ini kan bagian dari belanja APBN. Selama audit itu dalam ranah kewenangan BPK, ya tidak ada yang salah. Itu tugas mereka,” jelas politisi Golkar tersebut.
Misbakhun menekankan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah dorongan agar sistem Coretax segera tuntas dan bisa dimanfaatkan secara optimal untuk reformasi perpajakan, bukan menciptakan drama politik yang memperkeruh situasi.
“Kita ini sedang membangun sistem. Evaluasi iya, tapi jangan digiring ke arah politisasi. Jangan setiap gangguan sistem dijadikan alasan untuk menggulingkan orang,” pungkasnya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat terkait permasalahan yang terjadi pada sistem perpajakan terbaru, Coretax. Permintaan maaf ini disampaikan setelah munculnya protes dari warganet yang mengeluhkan sejumlah gangguan pada sistem tersebut. Banyak Wajib Pajak yang melaporkan adanya error dan kendala teknis dalam menggunakan sistem tersebut.
"Kepada seluruh Wajib Pajak, saya mengucapkan maaf dan terima kasih atas pengertian dan masukan yang diberikan selama masa transisi ini. DJP (Direktorat Jenderal Pajak) terus berupaya melakukan perbaikan dengan prinsip practical dan pragmatic," ujarnya dalam akun media sosial Instagram resminya @smindrawati.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa dirinya menyadari adanya kendala yang muncul saat mengimplementasikan sistem baru, khususnya yang berkaitan dengan sistem digital perpajakan seperti Coretax. Ia juga menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari proses untuk membangun sistem perpajakan yang lebih efisien, terintegrasi, dan akuntabel.
"Namun, itu semua bagian dari perjalanan untuk membangun sistem perpajakan yang lebih terintegrasi, efisien, dan akuntabel," ucapnya, mengingat tantangan besar yang dihadapi dalam digitalisasi sistem perpajakan di Indonesia.
Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang semakin melebar.
Achmad memaparkan data terkini yang dia lihat dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) soal penerimaan pajak Indonesia pada Januari 2025 hanya mencapai Rp88,89 triliun atau 4,06 persen dari target tahunan, Sebuah angka yang diklaim sangat rendah dan turun 41,86 persen dibandingkan Januari 2024. Bahkan menjadi penerimaan Januari terburuk dalam lima tahun terakhir, jika dibandingkan persentase terhadap target APBN tahunan.
Bila di tahun-tahun sebelumnya, rata-rata penerimaan pajak Januari mampu menyumbang 7,5 persen hingga 9,2 persen dari target setahun, maka posisi 2025 yang baru 4,06 persenmenunjukkan potensi kekurangan penerimaan yang sangat serius.
Lebih jauh, jika tren ini berlanjut, penerimaan negara bisa mengalami shortfall hingga Rp300 hingga Rp400 triliun, yang otomatis menggembungkan defisit. "Jika tren ini berlanjut, defisit APBN 2025 bisa mencapai Rp800 triliun atau hampir 3 persen PDB," ujar Achmad melalui pernyataan resminya yang diterima Kabarbursa.com pada Selasa, 12 Maret 2025.
Menurutnya, penurunan ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni turunnya kemampuan ekonomi publik dan kegagalan implementasi sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, yang diluncurkan pada Januari 2025. Sistem yang seharusnya meningkatkan efisiensi justru menghambat proses administrasi perpajakan, mengakibatkan banyak wajib pajak kesulitan melapor dan menyetor pajak.
"Coretax terbukti mengganggu proses administrasi perpajakan, dan ini menjadi ancaman besar bagi stabilitas fiskal Indonesia. Tanpa langkah koreksi fiskal yang cepat dan tepat, Indonesia akan menghadapi defisit yang lebih parah," kata dia
Coretax merupakan sistem administrasi perpajakan terbaru yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk menggantikan sistem lama. Coretax dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam proses pelaporan, pembayaran, serta pengawasan pajak dengan mengandalkan teknologi digital dan otomatisasi data. Namun pada praktiknya, penerapan coretax ini mendapat berbagai kendala.
Lebih lanjut, Achmad menilai bahwa kinerja APBN Februari 2025 akan semakin tertekan, dengan penerimaan pajak yang diperkirakan tidak mampu mengejar kekurangan dari Januari.
Meski penerimaan bea dan cukai menunjukkan peningkatan pada Januari 2025, sektor ini hanya berkontribusi sekitar 15 persen dari total penerimaan pajak, yang tidak cukup untuk menutupi kekurangan besar di sektor pajak utama. Achmad mengingatkan bahwa Indonesia sangat bergantung pada pajak, dan kegagalan administrasi seperti Coretax hanya akan memperburuk kondisi fiskal negara.
Sementara itu, proyeksi defisit yang disampaikan oleh Goldman Sachs, yakni 2,9 persen produk domestik bruto (PDB), dianggap terlalu optimis tanpa adanya pembenahan serius. "Ini lebih buruk dari prediksi Goldman Sachs yang baru memperkirakan defisit 2,9 persen PDB. Patut diketahui Goldman Sachs, lembaga investasi ternama di dunia memprediksi defisit Indonesia bisa defisit mencapai Rp650 hingga Rp750 triliun, biasanya prediksi ini mejadi baseline realistis oleh para Investor dunia," ujar dia.
Dia mendesak pemerintah segera mengambil langkah darurat, termasuk audit menyeluruh terhadap Coretax, membuka kembali layanan manual administrasi perpajakan, dan mengevaluasi ulang belanja negara. "Pemerintah harus transparan tentang situasi fiskal ini agar pasar dan masyarakat bisa memahami kondisi yang sebenarnya," ujarnya.
Achmad menegaskan bahwa krisis fiskal bukan hanya masalah angka, tetapi juga masalah kepercayaan. Pemerintah diminta lebih terbuka untuk mengoreksi kebijakan fiskal agar tidak memperburuk keadaan ekonomi di Indonesia.(*)