KABARBURSA.COM - Pasar saham Asia terlihat semringah di tengah kabar positif seputar potensi meredanya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Investor juga berharap dari penantian Federal Reserve terhadap suku bunga.
Walau begitu, investor tetap berhati-hati dalam menyikapi perkembangan geopolitik dan kebijakan moneter global. Fokus utama mereka saat ini tertuju pada rencana pertemuan pejabat tinggi AS dan Tiongkok yang akan digelar akhir pekan ini di Swiss.
Pertemuan ini dinilai sebagai sinyal awal upaya de-eskalasi dari perang tarif yang memanas sejak Presiden Donald Trump kembali menaikkan bea masuk atas produk asal Tiongkok hingga 145 persen. Sebagai balasan, China juga mengenakan tarif tinggi terhadap berbagai produk asal AS, memperpanas ketegangan dalam beberapa pekan terakhir.
Namun kini, harapan untuk dialog yang lebih konstruktif mulai tumbuh.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan bahwa pertemuan tersebut diharapkan akan berfokus pada "de-eskalasi", meski pihak China masih menunjukkan sikap hati-hati. Dalam pernyataannya, pihak Beijing mengutip pepatah klasik: "Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata", yang mengindikasikan mereka ingin melihat hasil nyata sebelum memberikan respons yang lebih terbuka.
Dari sisi kebijakan moneter, perhatian investor tertuju pada keputusan Federal Reserve yang dijadwalkan keluar Kamis waktu setempat, 8 Mei 2025. Sejauh ini, peluang penurunan suku bunga pada pertemuan kali ini nyaris tak terbaca oleh pasar.
Data tenaga kerja AS yang dirilis pekan lalu terbilang solid, memupus ekspektasi pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat. Bahkan, peluang penurunan suku bunga pada bulan Juni turun menjadi sekitar 33 persen, jauh merosot dari posisi 64 persen pada bulan sebelumnya.
Meskipun begitu, pasar masih mencermati bagaimana nada pidato Ketua The Fed Jerome Powell. Ada harapan bahwa Powell akan tetap tegas menjaga independensi lembaganya dari tekanan politik, terutama setelah pernyataan kontroversial dari Presiden Trump bulan lalu yang mengancam akan mengganti posisi Powell—meski kemudian dibantah.
China sendiri mengumumkan sejumlah langkah pelonggaran, termasuk penurunan suku bunga reverse repo tujuh hari dari 1,5 persen menjadi 1,4 persen dan pelonggaran rasio cadangan wajib perbankan sebesar 50 basis poin.
Kebijakan ini bertujuan untuk menyuntikkan lebih banyak likuiditas ke sistem keuangan dan mendukung sektor riil. Pemerintah Tiongkok juga membuka lebih banyak jalur investasi, termasuk memungkinkan dana asuransi untuk mengalir ke pasar saham.
Namun begitu, pasar masih menunggu stimulus fiskal dalam skala yang lebih besar. Sebagian investor memilih bersikap wait and see, sambil menanti bagaimana hasil pertemuan dagang akhir pekan ini akan memengaruhi arah kebijakan ekonomi selanjutnya.
Secara keseluruhan, pasar Asia bergerak positif namun tetap penuh kehati-hatian. Harapan akan membaiknya hubungan dagang AS-Tiongkok dan arah kebijakan moneter yang lebih stabil dari The Fed menjadi penopang utama.
Namun pasar juga menyadari bahwa ekspektasi tanpa konfirmasi bisa berubah cepat—dan karena itu, sentimen masih sangat rentan terhadap perkembangan berita terbaru.
Dari sisi mata uang, dolar AS menguat pada Rabu waktu setempat, 7 Mei 2025. Penguatan ini terjadi seiring meredanya tekanan pada tensi perdagangan dan ekspektasi bahwa The Fed tidak akan tergesa-gesa menurunkan suku bunga.
Bursa saham Asia ditutup menguat secara umum pada perdagangan Rabu, 7 Mei 2025, seiring optimisme pelaku pasar terhadap meredanya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China.
Di Jepang, indeks Nikkei 225 sedikit terkoreksi 0,14 persen ke posisi 36.779, sementara indeks Topix justru naik 0,31 persen ke 2.696.
Di China, sentimen investor membaik usai pengumuman kebijakan stimulus dari pemerintah. Indeks Shanghai Composite menguat 0,80 persen ke 3.342, diikuti oleh Shenzhen Component yang naik 0,22 persen ke level 10.104, dan indeks CSI300 mencatat kenaikan 0,61 persen ke 3.831.
Indeks Hong Kong, Hang Seng mencatatkan penguatan tipis sebesar 0,13 persen dan ditutup di 22.691, sejalan dengan ekspektasi pasar akan adanya hasil konkret dari pertemuan dagang AS-Chinaakhir pekan ini. Sementara itu, bursa Korea Selatan juga menunjukkan performa positif, dengan Kospi naik 0,55 persen ke 2.573.
Di Taiwan, Taiex bertambah 0,12 persen dan ditutup di 20.546. Sedangkan di Australia, indeks ASX200 menguat 0,33 persen ke posisi 8.178, didukung sektor energi dan tambang yang tetap atraktif di tengah ketidakpastian global.
Meski mayoritas indeks regional mencatat kinerja positif, pasar valuta asing Asia justru menunjukkan tren berbeda. Mata uang-mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS yang kembali menguat menjelang keputusan suku bunga The Fed dan potensi arah kebijakan yang lebih hawkish.
Yen Jepang mencatat pelemahan cukup signifikan terhadap dolar, diperdagangkan di level 143,26 atau melemah 0,57 persen. Dolar Singapura (SGD) turun 0,19 persen ke 1,2908, sedangkan Dolar Australia (AUD) melemah 0,22 persen ke level 0,6481.
Rupiah juga tidak luput dari tekanan, melemah 0,53 persen ke level 16.536 per dolar AS.
Tekanan serupa juga terlihat pada Rupee India, yang melemah 0,46 persen ke 84,8237, dan Yuan China yang turun 0,11 persen ke 7,2268 meski negara tersebut baru saja mengumumkan pemangkasan suku bunga dan pelonggaran rasio cadangan perbankan.
Ringgit Malaysia tercatat turun 0,21 persen ke 4,2413, dan Baht Thailand ikut melemah tipis 0,05 persen ke posisi 32,6640 per dolar AS.
Kondisi ini menggambarkan bahwa meskipun bursa saham regional mencatat kinerja positif, penguatan dolar AS masih menjadi tantangan utama bagi mata uang Asia.
Ekspektasi bahwa Federal Reserve belum akan melonggarkan kebijakan moneternya dalam waktu dekat, setelah data tenaga kerja AS yang solid, membuat dolar tetap atraktif di mata investor global.
Pasar Asia saat ini berada dalam posisi yang cukup menarik: di satu sisi disokong oleh sentimen positif dari pembicaraan dagang dan stimulus domestik seperti di China, namun di sisi lain masih dibayangi oleh kekuatan dolar dan ketidakpastian arah suku bunga global.
Kombinasi dinamika ini membuat pelaku pasar terus mencermati rilis data dan agenda kebijakan dari bank sentral utama dunia, sambil tetap memperhitungkan peluang jangka pendek dari sektor-sektor yang sensitif terhadap perubahan makroekonomi.(*)