KABARBURSA.COM – Ketegangan India dan Pakistan kembali menyita perhatian dunia. Di permukaan, publik disuguhi kabar soal deru rudal dan retorika panas yang mewarnai panggung geopolitik. Tapi, ada satu aspek yang jarang dibahas lebih dalam, yakni soal seberapa besar sebenarnya kekuatan anggaran pertahanan kedua negara? Di balik headline tentang serangan udara dan jatuhnya pesawat tempur, terselip cerita tentang miliaran dolar yang secara diam-diam membentuk peta kekuatan kawasan.
Secara historis, India dan Pakistan memang seperti dua tetangga yang enggan akur. Konflik berakar dari perebutan wilayah Kashmir ini sudah memanas sejak 1947, dan hingga kini keduanya masih rutin saling lempar tuduhan, bahkan kadang serangan fisik. Yang terbaru, India kembali melancarkan serangan udara ke wilayah Pakistan-administered Kashmir dan mengklaim menargetkan sembilan kamp teroris dengan apa yang disebut “presisi tinggi” demi meminimalkan korban sipil. Pakistan di sisi lain mengklaim sukses menembak jatuh lima jet tempur India—klaim yang, tentu saja, masih butuh pembuktian lebih lanjut.
Di balik semua drama itu, pertanyaan pentingnya adalah siapa yang lebih kuat secara anggaran militer? Jawabannya bisa bikin terperangah. Data dari International Institute for Strategic Studies menunjukkan bahwa India, sepanjang tahun lalu, mengucurkan anggaran pertahanan sebesar USD74,4 miliar (Rp1.227,6 triliun). Itu menjadikan India sebagai negara dengan belanja militer terbesar kedua di Asia setelah China, sekaligus masuk enam besar dunia.
Sebagai perbandingan, Pakistan—yang selama ini jadi lawan abadi India—punya tentara sekitar 660 ribu personel aktif, kurang dari setengah kekuatan militer India. Dari segi anggaran jauh lebih kecil. Belanja pertahanan Pakistan tahun lalu hanya sekitar sepersepuluh dari India. Angka ini memperlihatkan kesenjangan yang cukup mencolok dan menegaskan posisi Pakistan yang lebih bersifat defensif ketimbang ofensif.
Meski secara kuantitas kalah telak, strategi Pakistan tidak bisa dibilang remeh. Seperti yang diungkapkan pensiunan jenderal sekaligus diplomat Pakistan, Raza Muhammad, doktrin militer negaranya fokus pada pertahanan mutlak dan baru akan melancarkan serangan jika benar-benar terdesak. Ini beda dengan India yang memiliki kapabilitas untuk melancarkan operasi ofensif jika diperlukan.
“Superioritas India baru benar-benar terlihat kalau sampai pecah perang total,” kata Rakesh Sharma, purnawirawan Letnan Jenderal India yang kini jadi analis di Vivekananda International Foundation, dikutip dari Financial Times di Jakarta, Rabu. 7 Mei 2025.
Menurut Sharma, dalam konflik terbatas, kedua negara bisa saja masih imbang di beberapa aspek. Tapi dalam perang terbuka, kekuatan India akan jauh lebih dominan.
Selain dari sisi anggaran dan jumlah pasukan, persenjataan nuklir juga jadi variabel penting yang bikin konflik ini rawan meledak kapan saja. Menurut data Arms Control Association, kedua negara diperkirakan punya 160–170 hulu ledak nuklir. Meski jumlahnya nyaris seimbang, India selangkah lebih maju soal teknologi misil. Negara itu mengembangkan Agni, rangkaian rudal balistik antarbenua dengan jangkauan hingga 5.000 km. Artinya, India tidak cuma fokus pada konflik regional tapi juga siap bermain di level global. Pakistan sendiri disebut tengah bekerja sama dengan beberapa perusahaan China untuk memperluas jangkauan misil balistik mereka.
Lalu, kenapa soal anggaran pertahanan ini penting untuk dibahas di media ekonomi seperti KabarBursa? Jawabannya simpel: anggaran militer yang membengkak selalu punya implikasi ekonomi yang serius. India, misalnya, memang punya ekonomi domestik yang besar dan kuat. Tapi jika ketegangan memanas terus-menerus, ada risiko bahwa belanja militer yang tinggi bisa menggerus anggaran untuk sektor lain seperti kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur. Moody’s bahkan pernah mengingatkan bahwa lonjakan belanja militer India berpotensi mempengaruhi defisit fiskal jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Di sisi lain, Pakistan yang ekonominya lebih rapuh bakal lebih cepat merasakan dampak negatif dari konflik yang berlarut-larut. Negara ini sudah tergantung pada bailout dari IMF dan sedang berjuang menahan laju inflasi yang tinggi. Ketegangan militer yang berkepanjangan hanya akan memperburuk posisi fiskal mereka dan mempersempit ruang gerak untuk pulih.
Singkatnya, India unggul dalam jumlah dan dana, Pakistan fokus bertahan, dan dunia hanya bisa berharap keduanya tidak melangkah lebih jauh menuju eskalasi besar. Karena ketika konflik bersenjata mulai memakan porsi besar dalam anggaran nasional, tak hanya keamanan yang terganggu, tapi juga stabilitas ekonomi dalam dan luar negeri ikut kena imbasnya.
Kalau mundur sebentar ke sejarah, kita akan menemukan pola yang mirip saat Perang Kargil tahun 1999 yang jadi perang besar terakhir antara India dan Pakistan. Waktu itu, ratusan prajurit dari kedua belah pihak tewas dan Amerika Serikat turun tangan cukup keras. Washington langsung menyetop pasokan suku cadang untuk berbagai senjata buatan AS yang dimiliki kedua negara—paling krusial adalah F-16 milik Pakistan yang mendadak lumpuh karena tak bisa servis.
Presiden AS saat itu, Bill Clinton, bahkan menekan habis-habisan Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, agar mundur dari wilayah India yang diduduki. Ini jadi contoh nyata bahwa ketegangan militer tak pernah lepas dari tarik-menarik kepentingan global.
Kalau Pakistan banyak bergantung pada AS di masa lalu, sekarang cerita sudah agak bergeser. Menurut data Stockholm International Peace Research Institute, antara 2020 dan 2024, sebesar 81 persen impor senjata Pakistan datang dari China. Islamabad makin menjauh dari pemasok barat yang mahal dan lebih dekat ke Beijing yang lebih murah dan bersahabat secara politik. Mayoritas pesawat tempur dan pesawat serang darat Pakistan kini dikembangkan bersama China.
India punya cerita yang agak beda. Negara ini sudah membangun industri pertahanan sendiri yang lumayan besar, meskipun masih banyak mengandalkan alat tempur buatan Rusia. Kedua negara—India dan Rusia—bahkan terus bekerja sama mengembangkan teknologi misil. Belakangan, India juga mulai buka pintu buat senjata buatan AS dan Prancis.
Bahkan waktu Donald Trump masih jadi Presiden periode pertama, dia terang-terangan mendorong Perdana Menteri Narendra Modi supaya belanja lebih banyak senjata made in USA. Tekanan itu makin mempertegas bahwa perdagangan senjata adalah bagian dari diplomasi ekonomi.
Dalam ketegangan terbaru ini, AS melalui Menteri Luar Negeri Marco Rubio menyatakan akan terus “berkomunikasi dengan pemimpin India dan Pakistan untuk mendorong penyelesaian damai.” Tapi, seperti biasa, pernyataan diplomatik seperti ini kadang cuma angin lalu jika tensinya sudah naik ke level militer.
China juga tidak tinggal diam. Negara yang menyebut dirinya sebagai “teman karib” Pakistan ini mengimbau agar kedua negara menahan diri. Meski punya kedekatan historis dengan Islamabad, analis menyebut Beijing tak mau gegabah karena saat ini mereka juga sedang membangun ulang hubungan dagang dengan India setelah beberapa tahun ribut soal perbatasan. China jelas melihat India sebagai pasar besar yang bisa membantu keluar dari tekanan ekonomi akibat perang tarif dengan Amerika Serikat.
Hari ini, Tiongkok menyebut operasi militer India sebagai hal yang “disesalkan” dan meminta kedua pihak untuk menahan diri. Analis keamanan India, Rakesh Sharma, mengatakan meskipun China akan terus mendukung Pakistan, dukungan itu bakal dilakukan secara hati-hati—misalnya lewat bantuan informasi intelijen, satelit, atau pengiriman senjata pertahanan udara—tanpa harus melibatkan diri langsung.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, bahkan sudah bilang terang-terangan ke Menteri Luar Negeri Pakistan, Mohammad Ishaq Dar, bahwa “China memahami penuh kekhawatiran keamanan Pakistan dan mendukung Pakistan dalam menjaga kedaulatan serta kepentingan keamanan nasionalnya.”
Di tengah panas-dingin hubungan ini, Presiden Trump hanya berkomentar singkat soal serangan terbaru. “Saya harap semua ini segera berakhir.” Tapi dari kubu India, mantan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Manoj Mukund Naravane, justru memberikan sinyal lain yang bikin merinding. Dalam unggahannya di X (Twitter), dia menulis lugas, “Ini baru permulaan.”(*)