Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pertumbuhan Ekonomi Melambat, Apa Kabar Pasar Modal RI?

Nailul Huda mengatakan pasar tidak terlalu terdampak oleh sentimen negatif dari pertumbuhan ekonomi.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 May 2025 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Yunila Wati
Pertumbuhan Ekonomi Melambat, Apa Kabar Pasar Modal RI? Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

KABARBURSA.COM - Pasar modal Indonesia dinilai tak terpengaruh oleh pertumbuhan Indonesia pada kuartal I 2025, yang tercatat sebesar 4,87 persen Year on Year (YoY). 

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, pasar tidak terlalu terdampak oleh sentimen negatif dari pertumbuhan ekonomi yang baru diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

"Saya melihat sentimen faktor global masih cukup kuat. Ekonomi Amerika Serikat (AS) yang masih belum membaik, saya rasa menjadi sentimen positif untuk pasar saham Indonesia," kata Huda kepada KabarBursa.com, Rabu, 7 Mei 2025.

Huda menyebut, saat ini banyak investor asing masuk ke pasar saham Indonesia karena melihat kondisi ekonomi AS yang belum oke. Meski begitu, ia mengimbau agar investor harus tetap waspada akibat perekonomian domestik Indonesia yang bergejolak.

Di sisi lain, Huda mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 merupakan yang terendah sejak kuartal III 2021 yang saat itu hanya tumbuh 3,53 persen.

"Situasi ekonomi saat ini bukan sedang tertekan akibat pandemi, namun laju pertumbuhan hampir sama dengan masa pandemi," jelas dia. 

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat signifikan dikarenakan permasalahan daya beli yang masih terjadi. Dia bilang, indikator daya beli masyarakat menunjukkan pelemahan.
 
"Indeks keyakinan konsumen melemah dari bulan Januari hingga Maret 2025," ujarnya. 

Selain itu, Huda juga menyinggung ihwal pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang sebesar 4,89 persen pada kuartal I 2025. Angka ini mengalami penurunan dari periode serupa tahun lalu sebesar 4,91 persen. 

"Merupakan sebuah peringatan dini. Padahal di Q1 2025 terjadi perayaan hari besar keagamaan yakni Hari Raya Idul Fitri. Momen musiman Ramadan-Lebaran ternyata tidak mampu mendongkrak perekonomian," katanya. 

Ia kemudian membandingkan dengan kondisi tahun 2023 ketika momen mudik lebaran. Saat itu, katanya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 5,22 persen. 

"Sebelumnya Celios menghitung bahwa perputaran uang di Hari Raya Idul Fitri tahun 2025 juga menurun signifikan," pungkasnya. 

Ekonomi RI Tumbuh Tapi Rapuh, Apa Sinyal untuk Kuartal II?

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2025 tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). 

Kinerja ini ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu 10,52 persen. Namun, di balik angka positif itu, terdapat kontraksi ekonomi sebesar 0,98 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter), yang memunculkan kekhawatiran mengenai ketahanan ekonomi nasional memasuki kuartal II.

Direktur Neraca Produksi BPS Puji Agus Kurniawan, menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada Januari–Maret 2025 mencapai Rp5.665,9 triliun, atau Rp3.264,5 triliun berdasarkan harga konstan 2010. 

Menurutnya, kontraksi secara kuartalan mencerminkan pelemahan aktivitas domestik terjadi akibat rendahnya serapan belanja negara. “Penurunan signifikan dalam konsumsi pemerintah sebesar 39,89 persen menjadi penyebab utama kontraksi. Ini mencerminkan pola musiman sekaligus tantangan struktural dalam realisasi belanja fiskal,” ujar Puji dalam Berita Resmi Statistik (BPS), Senin, 5 Mei 2025.

Dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian menjadi penopang utama dengan kontribusi kuat, diikuti oleh jasa lainnya, jasa perusahaan, serta transportasi dan pergudangan yang juga mencatatkan pertumbuhan tinggi. Namun, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi cukup dalam secara kuartalan, yakni 7,42 persen, seiring volatilitas harga komoditas global.

Sementara itu, dari sisi pengeluaran, ekspor barang dan jasa tumbuh 6,78 persen yoy, menjadi motor pendorong di tengah lesunya konsumsi rumah tangga. Konsumsi domestik hanya tumbuh 4,89 persen, yang meskipun dominan secara struktur PDB (54,53 persen), dinilai belum cukup kuat menahan tekanan ekonomi eksternal dan internal.

Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Pipit Helly Sorayan, mencatat bahwa selain konsumsi pemerintah, hampir semua komponen pengeluaran mengalami tekanan. “Ekspor dan impor barang serta jasa masing-masing terkontraksi 6,11 persen dan 10,20 persen secara kuartalan. Ini memberikan sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang lebih luas,” jelasnya.

Secara spasial, Pulau Jawa masih menjadi kontributor utama dengan porsi 57,43 persen dan pertumbuhan 4,99 persen. Sulawesi bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 6,40 persen. Namun, ketimpangan masih terlihat, terutama di wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua yang hanya tumbuh 1,69 persen.

Situasi triwulan I 2025 ini menjadi semacam "peringatan dini" bagi para pemangku kebijakan dan pelaku pasar. Meski angka tahunan masih dalam jalur positif, tren kuartalan menurun bisa menjadi indikasi tekanan yang lebih dalam apabila tidak segera diantisipasi.

Sejumlah ekonom menyoroti lemahnya daya beli masyarakat sebagai sinyal utama yang perlu diwaspadai. Bahkan momentum Ramadan dan Lebaran yang biasanya mendorong konsumsi, dinilai gagal memberikan efek maksimal. Jika konsumsi rumah tangga tidak segera digenjot, misalnya lewat insentif fiskal atau pengendalian inflasi, risiko perlambatan lebih tajam di kuartal II akan meningkat.

Prospek pertumbuhan pada triwulan berikutnya pun dipengaruhi oleh banyak faktor: realisasi belanja APBN, penguatan nilai tukar rupiah, pemulihan sektor ekspor di tengah perang dagang global, hingga efektivitas komunikasi kebijakan pemerintah pasca transisi kekuasaan. Di tengah tantangan ini, strategi koordinasi fiskal dan moneter menjadi krusial untuk menjaga ritme pertumbuhan tetap berada di jalur target pemerintah sebesar 5,2 persen.

"Beberapa indikator konsumsi dan ekspor masih menunjukkan resiliensi. Tapi sinyal-sinyal pelemahan tetap harus diwaspadai dengan serius,” kata Puji Agus menutup paparan BPS.(*)