Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Batu Bara Acuan Asia Anjlok, Terendah dalam 4 Tahun

Harga batu bara Asia terus merosot karena China, India, dan Jepang mengurangi impor, sementara produksi dalam negeri China cetak rekor baru.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 07 May 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Harga Batu Bara Acuan Asia Anjlok, Terendah dalam 4 Tahun Harga batu bara Asia jatuh ke level terendah empat tahun, didorong penurunan impor dari China, India, dan Jepang serta rekor produksi batubara domestik China. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM — Harga batu bara termal yang dikapalkan dari Indonesia dan Australia tengah berada di titik terlemah dalam empat tahun terakhir. Penyebabnya? Trio pembeli raksasa Asia, yakni China, India, dan Jepang, sama-sama mengerem impor batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik.

Harga batu bara utama dari kedua eksportir ini sebenarnya sudah menunjukkan tren menurun sejak Oktober tahun lalu. Tapi beberapa pekan terakhir, laju turunnya makin cepat, seiring volume impor yang terus melemah.

China, sebagai pembeli terbesar batu bara termal di dunia, mencatat penurunan impor menjadi 22,72 juta ton pada April. Menurut data yang dikutip Reuters dari analis Kpler, angka ini lebih rendah dibandingkan Maret yang mencapai 23,84 juta ton. Lebih jauh, akumulasi impor sepanjang Januari–April 2025 tercatat 91,56 juta ton — anjlok 13,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang menyentuh 105,4 juta ton.

Turunnya impor batu bara China tidak terjadi tanpa sebab. Produksi listrik dari PLTU mulai melemah, sementara produksi batu bara dalam negeri justru mencetak rekor baru. Pada kuartal pertama 2025, pembangkit listrik termal di China, yang hampir seluruhnya berbahan bakar batu bara, turun 4,7 persen karena pembangkit tenaga air dan energi terbarukan justru mengalami kenaikan signifikan.

Di sisi lain, produksi batu bara domestik mereka menggila. Pada Maret lalu saja, output batu bara China menembus 440,58 juta ton, naik 9,6 persen secara tahunan sehingga total produksi kuartal pertama mencapai 1,2 miliar ton, atau naik 8,1 persen dibandingkan tahun lalu.

Kombinasi pasokan lokal yang melimpah dan penggunaan batu bara yang melemah bikin harga batu bara domestik di China ikut tertekan. Konsultan SteelHome mencatat harga batu bara termal di Pelabuhan Qinhuangdao jatuh ke 660 yuan (sekitar USD90,78) per ton pekan lalu, terendah dalam empat tahun terakhir, dan merosot 25 persen dari posisi Oktober lalu.

Efek domino ini juga menjalar ke harga impor. Untuk tetap bersaing, harga batu bara Australia dengan kadar energi 5.500 kilokalori per kilogram (kcal/kg) — yang jadi favorit pembeli China — anjlok ke USD69,98 per ton pada pekan yang berakhir 2 Mei, menurut laporan Argus. Ini adalah kali pertama harga turun di bawah USD70 sejak Mei 2021, dan sudah terjun 22,5 persen dari puncaknya USD90,29 pada Oktober lalu.

Batu bara Indonesia pun ikut terseret arus. batu bara dengan kadar 4.200 kcal/kg yang banyak dibeli oleh China dan India jatuh ke USD48,42 per ton pada pekan yang sama, level terendah dalam empat tahun dan sudah susut 7,5 persen sejak Oktober. Menariknya, penurunan harga batu bara Indonesia tak sedalam Australia yang kemungkinan karena impor India masih cukup tangguh belakangan ini.

Impor Batu Bara India Naik, tapi Belum Cukup Imbangi China


India mencatat kenaikan impor batu bara termal pada April 2025 mencapai 15,31 juta ton. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Mei tahun lalu dan naik dari 14,4 juta ton pada Maret. Tapi meski terlihat menggeliat, data kuartal pertama masih menunjukkan tren melemah. Sepanjang Januari–April 2025, menurut catatan Kpler, total impor batu bara India tercatat 53,33 juta ton, turun 6,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Pasar kini bertanya-tanya apakah lonjakan di Maret dan April ini akan bertahan? Ada sejumlah tanda yang menunjukkan itu mungkin saja terjadi. Pemerintah India baru-baru ini memperpanjang mandat bagi pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar impor agar beroperasi penuh hingga 30 Juni. Kebijakan ini jelas bakal menopang permintaan batu bara impor.

Langkah ini sepertinya diambil untuk menjawab dua masalah sekaligus, yakni permintaan listrik yang terus naik, dan kegagalan Coal India—perusahaan tambang negara—dalam mendorong kenaikan produksi yang signifikan. Sepanjang tahun fiskal yang berakhir 31 Maret, Coal India hanya mampu menambah produksi sebesar 1 persen menjadi 781,1 juta ton. Angka ini jauh dari target awal mereka yang dipatok di 838 juta ton.

Kendati begitu, meski India terus mengimpor batu bara dalam jumlah besar, analis memandang volume tersebut belum cukup untuk mengompensasi penurunan tajam permintaan dari China yang masih jadi pemain kunci di pasar global.

Di sisi lain, Jepang—importir batu bara terbesar ketiga di dunia—juga mencatat penurunan. Pada empat bulan pertama tahun ini, total impor batu bara Jepang tercatat 34,71 juta ton, turun 4,9 persen dibanding periode yang sama 2024.

Jepang banyak mengimpor batu bara kualitas tinggi dari Australia dan harga indeks mingguan untuk batu bara 6.000 kcal/kg sempat naik tipis menjadi USD93,79 per ton di pekan hingga 2 Mei, dari level terendah empat tahun sebelumnya USD91,58.

Gambaran besar pasar batu bara Asia saat ini masih cenderung lesu. Harga terus melunak sejalan dengan turunnya volume impor. Ini merupakan tren yang kemungkinan berlanjut selama pembangkit listrik tenaga batu bara di China masih tertahan dan tambang-tambang dalam negeri terus mencatat produksi tinggi.(*)