KABARBUSA.COM - Peneliti Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF Abdul Manap Pulungan menilai, lemahnya cadangan devisa Indonesia bakal menghambat Bank Indonesia (BI) dalam mengintervensi pasar guna menstabilkan nilai tukar rupiah yang terus merosot beberapa waktu lalu.
“Kenapa BI tidak maksimal dalam intervensi? Karena memang cadangan devisa sangat tipis,” ujar Abdul Manap dalam diskusi virtual ekonomi melambat pertanda gawat? Selasa, 6 Mei 2025.
Ia menyebutkan, cadangan devisa Indonesia yang hanya berkisar USD157 miliar membatasi gerak otoritas moneter.
“Itu tidak bisa serta-merta BI intervensi di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar, makanya dibiarkan saja untuk depresiasi karena hanya menggerami lautan,” imbuhnya.
Menurutnya, situasi ini menjadi semakin krusial karena nilai tukar rupiah terus tertekan sejak awal tahun. Bahkan sempat menyentuh angka Rp17.400 per dolar AS usai libur Lebaran. Angka ini jauh dari asumsi nilai tukar dalam APBN yang berada di kisaran Rp16.000.
Risiko tekanan terhadap stabilitas keuangan domestik, kata Abdul Manan, tetap membayangi. Terutama di tengah kondisi ekonomi global yang belum pulih.
Ia menilai, meski keputusan Federal Reserve (The Fed) pada 7 Mei nanti akan mempertahankan suku bunga acuan, dampaknya terhadap rupiah tidak signifikan karena fase tekanan terberat sudah terlewati. Kendati demikian, ancaman justru muncul dari dalam negeri.
“Dampaknya terhadap sektor keuangan mungkin ada, tapi tidak signifikan. Karena porsi portofolio valas kita juga tidak begitu besar, baru sekitar 15 persen dibandingkan yang rupiah,” ujarnya.
Kondisi inilah yang menurutnya butuh langkah strategis pemerintah dan BI untuk memperkuat cadangan devisa. Salah satu kebijakan yang diapresiasinya adalah kewajiban 100 persen devisa hasil ekspor (DHE) disimpan di dalam negeri.
“Mudah-mudahan ini bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan cadangan devisa. Dengan DHE yang meningkat, maka Bank Indonesia bisa lebih rileks dalam intervensi ketika terjadi tekanan,” katanya.
Selain itu, pentingnya menjaga cadangan devisa dalam jumlah besar, kata dia, bukan hanya untuk keperluan stabilisasi pasar keuangan, tetapi juga untuk pembayaran utang luar negeri dan kebutuhan impor industri.
“Kalau ini tidak dijaga dengan baik, maka ketika jor-joran intervensi justru nanti akan menjatuhkan rupiah lebih dalam,” kata Abdul Manap.
Dalam konteks ini, ia juga menambahkan bahwa meskipun inflasi domestik mulai terkendali, BI masih menahan suku bunga acuan di level tinggi untuk meredam tekanan terhadap rupiah. Namun, menurutnya, kebijakan ini membawa dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi karena membuat pembiayaan di sektor riil menjadi stagnan.
“Jumlah uang beredar kita sekarang hanya tumbuh 6–7 persen, padahal sebelumnya bisa di atas 10 persen. Ini menunjukkan aktivitas sektor sangat lambat karena ada pergeseran dana dari perbankan ke rekening pemerintah maupun rekening Bank Indonesia,” jelasnya.
Abdul Manap pun mengingatkan bahwa bila masalah nilai tukar ini tidak ditangani dengan strategi yang tepat, maka ambisi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada 2025—bahkan rata-rata 8 persen sesuai visi Indonesia Emas 2045—bisa meleset.
“Kita bisa terjebak dalam middle income trap—yang dalam bahasa kasarnya, kita tidak kaya,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Cadangan devisa Indonesia mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah pada akhir Maret 2025, mencapai angka USD157,1 miliar. Angka ini naik signifikan dibanding posisi Februari yang tercatat sebesar USD154,5 miliar, sekaligus melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan cadangan akan berada di level USD155 miliar. Estimasi internal dari SSI Research yang sebelumnya mematok angka USD154 miliar juga terlampaui.
Kenaikan tersebut ditopang oleh penerimaan devisa dari sejumlah sumber, antara lain pendapatan pajak, jasa, serta penarikan pinjaman luar negeri oleh pemerintah. Lonjakan cadangan devisa ini menjadi penyangga penting di tengah ketidakpastian global, khususnya terkait arah kebijakan suku bunga dan fluktuasi pasar keuangan dunia.
Dalam laporan tertulis yang dirilis Rabu, 16 April 2025, SSI Research mencatat bahwa dengan posisi saat ini, cadangan devisa Indonesia setara dengan lebih dari 6,9 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. “Angka ini jauh melebihi standar kecukupan internasional,” tulis lembaga riset tersebut.
Ekonom SSI Research, Fithra Faisal Hastiadi, menilai capaian ini menunjukkan efektivitas kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar tanpa mengorbankan kecukupan likuiditas. “Pencapaian ini mencerminkan kelihaian kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar tanpa mengorbankan kecukupan likuiditas untuk menghadapi guncangan eksternal,” ujarnya.
Meski demikian, Fithra menyoroti bahwa nilai tukar rupiah masih berada di bawah tekanan, bergerak di kisaran Rp16.800 hingga Rp17.000 per dolar AS. Dalam konteks ini, SSI Research menilai intervensi pasar melalui pelepasan cadangan devisa secara terukur dapat dilakukan Bank Indonesia untuk menstabilkan nilai tukar ke target Rp16.400.
Strategi yang disarankan mencakup dua tahap intervensi. Pertama, sebesar USD2 miliar dilakukan pada April guna memberikan sinyal kuat ke pasar. Kemudian, tahap kedua sebesar USD2 miliar bisa dilaksanakan pada Mei, tergantung pada dinamika makroekonomi dan pergerakan arus modal asing.
Namun, Fithra juga mengingatkan potensi risiko ke depan. “Jika tekanan global berlanjut dan nilai tukar terus melemah, sementara harga komoditas tidak stabil, defisit transaksi berjalan bisa melebar. Dalam skenario itu, akumulasi cadangan dapat melambat akibat intervensi yang lebih agresif,” ucapnya.
Di tengah kondisi eksternal yang masih dinamis, posisi cadangan devisa yang kuat ini menjadi salah satu pilar penting untuk menjaga kepercayaan pasar dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional terhadap potensi guncangan dari luar negeri.(*)