Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

INDEF Soroti ini: Ancaman Middle Income Trap Mengintai

Pergeseran dana dari sistem perbankan ke rekening pemerintah dan rekening BI yang tidak langsung terserap ke sektor riil.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 06 May 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Pramirvan Datu
INDEF Soroti ini: Ancaman Middle Income Trap Mengintai Gedung Perkantoran kawasan SCBD Kuningan. foto: KabarBursa.com/abbas sandji

KABARBURSA.COM - Ekonomi Indonesia dibayangi risiko stagnasi akibat kombinasi suku bunga acuan yang masih tinggi dan tekanan nilai tukar rupiah yang belum mereda. Kondisi ini dinilai berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi jangka menengah, bahkan bisa menyeret Indonesia ke dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.

Peneliti Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan, menyoroti efek lanjutan dari kebijakan Bank Indonesia (BI) yang belum menurunkan suku bunga acuan, meski inflasi sudah menurun. Ia mengingatkan bahwa aktivitas sektor keuangan melambat karena pergeseran dana dari sistem perbankan ke rekening pemerintah dan rekening BI yang tidak langsung terserap ke sektor riil.

“Sebelum kebijakan penaikan suku bunga itu dilakukan, jumlah uang beredar kita sebagai proporsi terhadap likuiditas perekonomian masih tumbuh di atas, katakanlah, 10 persen. Sedangkan sekarang hanya bergerak di angka 6–7 persen,” jelas Abdul Manap dalam diskusi virtual ekonomi melambat pertanda gawat?  Selasa, 6 Mei 2025.

Menurutnya, kondisi tersebut menunjukkan makin besarnya dana menganggur (idle part) di dalam sistem keuangan nasional, yang memperlambat sirkulasi modal di sektor produktif.

Ia memahami bahwa BI saat ini berupaya menjaga stabilitas nilai tukar, terutama karena rupiah tertekan cukup dalam sejak awal tahun. 

“BI ingin menjaga stabilitas nilai tukar yang sangat tertekan sejak awal tahun. Ini jauh dari asumsi APBN sebesar Rp16.000, bahkan sempat mencapai Rp17.400 di awal-awal setelah kita libur Lebaran,” ungkapnya.

Namun di sisi lain, ia menegaskan bahwa langkah tersebut harus diimbangi dengan dukungan terhadap pembiayaan sektor riil. Jika tidak, target pertumbuhan ekonomi tahun 2025 sebesar 5,3 persen bisa meleset, apalagi dalam konteks Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ambisius menargetkan pertumbuhan rata-rata 8 persen.

“Padahal, kita perlu dukungan dari sisi pembiayaan agar ekonomi bisa tumbuh lebih cepat sebagai langkah untuk mencapai target pertumbuhan 5,3 persen di tahun 2025. Ini kalau di RPJPN, kita menargetkan sangat tinggi, rata-rata 8 persen, sama seperti prioritasnya Pak Prabowo. Tapi di awal saja sudah hanya 4,87 persen,” kata dia.

Ia bahkan menyampaikan kekhawatiran lebih jauh bahwa dokumen perencanaan pembangunan nasional itu berisiko hanya menjadi formalitas belaka, tanpa pencapaian nyata.

“Saya khawatir dokumen itu hanya menjadi dokumen saja, tidak bisa direalisasikan. Kasihan juga, target-target yang ingin kita capai untuk menuju Indonesia 2045, Indonesia Emas, bisa saja meleset. Dan kita bisa terjebak dalam middle income trap—yang dalam bahasa kasarnya, kita tidak-tidak kaya,” tutur Abdul.

Bunga Tinggi, Modal Tertahan

Bank Indonesia (BI) memilih untuk mempertahankan suku bunga tinggi sebagai upaya menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, langkah ini menimbulkan konsekuensi: sirkulasi modal ke sektor riil terhambat. Peneliti INDEF, Abdul Manap Pulungan, menilai bahwa likuiditas dalam sistem keuangan semakin ketat.

“Pertumbuhan uang beredar sekarang hanya berkisar 6–7 persen, padahal sebelumnya bisa di atas 10 persen. Artinya, ada dana besar yang menganggur di rekening pemerintah dan Bank Indonesia, tanpa masuk ke sektor produktif,” jelas Abdul dalam diskusi ekonomi yang digelar secara virtual.

Kondisi ini turut memperlambat aktivitas kredit dan investasi swasta. Sektor keuangan, properti, hingga konsumsi masyarakat dikhawatirkan akan merasakan tekanan yang lebih besar dalam beberapa bulan ke depan.

Rupiah Tertekan, Kebijakan Terbelah

Di sisi lain, rupiah sempat melemah tajam hingga menyentuh angka Rp17.400 per dolar AS, jauh dari asumsi APBN sebesar Rp16.000. BI pun berada dalam posisi dilematis: menstabilkan kurs namun harus mengorbankan ruang pertumbuhan ekonomi.

Situasi ini berdampak langsung ke sektor-sektor yang memiliki eksposur terhadap valuta asing. Perusahaan dengan utang valas yang besar menghadapi tekanan biaya yang meningkat. Importir barang konsumsi dan modal pun terkena imbas depresiasi berkepanjangan. Meskipun ada peluang jangka pendek di sektor ekspor, koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal tetap menjadi syarat mutlak untuk menjaga keseimbangan.

Target Ambisius, Realisasi Masih Jauh

Pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen tahun ini, sebagai bagian dari roadmap menuju Indonesia Emas 2045. Namun, realisasi kuartal I hanya mencatat 4,87 persen. Selisih ini memunculkan pertanyaan besar: apakah strategi pertumbuhan saat ini cukup kuat untuk mendorong ekonomi ke jalur yang ditargetkan?

"Kalau tidak segera ada dorongan pembiayaan terhadap sektor riil, target RPJPN yang menargetkan rata-rata pertumbuhan 8 persen bisa jadi hanya sekadar dokumen. Kita bisa saja terjebak, stagnan sebagai negara menengah," ujar Abdul.

Arah Strategi Investor

Bagi investor, kondisi ini menuntut pendekatan yang lebih berhati-hati. Meski fundamental ekonomi masih relatif stabil, tekanan struktural dan ketidakpastian kebijakan harus diperhitungkan secara cermat.

Rekomendasi utama:

  • Prioritaskan sektor yang tangguh di tengah suku bunga tinggi seperti energi, komoditas ekspor, dan teknologi.
  • Hindari eksposur berlebih pada sektor yang sensitif terhadap pembiayaan jangka pendek, seperti properti, otomotif, dan ritel konvensional.
  • Pantau ketat arah kebijakan moneter dan fiskal, termasuk sinyal penurunan bunga dan langkah penguatan rupiah.

Kesimpulan

Indonesia belum sepenuhnya aman dari risiko perlambatan. Jika kebijakan tidak segera mengarah pada dukungan nyata terhadap sektor produktif, maka peluang tumbuh cepat bisa berubah jadi ancaman stagnasi. Bagi investor, inilah waktu untuk bersikap adaptif dan selektif dalam membaca dinamika pasar.(*)