Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Tingkat Pengangguran Terbuka Turun 4,76 Persen, ini Faktanya

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 06 May 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Citra Dara Vresti Trisna
Tingkat Pengangguran Terbuka Turun 4,76 Persen, ini Faktanya Ilustrasi kondisi pengangguran di Indonesia. BPS melaporkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia menurun. (Foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji)

KABABURSA.COM - Pemerintah melaporkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 turun menjadi 4,76 persen. Namun, penurunan ini justru dibarengi dengan bertambahnya jumlah penganggur sebanyak 83,45 ribu orang. 

Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menilai, penurunan TPT tidak serta merta mencerminkan perbaikan kondisi ketenagakerjaan. Bahkan, menurutnya, bisa jadi menutupi kenyataan yang lebih pahit.

“Di kebanyakan negara berkembang dan berpendapatan rendah, tidak tersedia jaminan perlindungan sosial. Contohnya asuransi pengangguran dan tunjangan kesejahteraan. Akibat kondisi itu, hanya mereka yang relatif kaya yang mampu menganggur,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa, 6 Mei 2025.

Ia menjelaskan, dalam konteks negara seperti Indonesia, menganggur bisa menjadi “kemewahan” yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya tabungan atau penghasilan lain di luar pekerjaan. 

“Pengangguran merupakan kondisi mewah bagi mereka yang mempunyai tabungan atau pendapatan di luar pekerjaan (non labor income) yang bisa menganggur. Sementara mereka yang miskin, tidak bisa menganggur, mereka harus bekerja apa saja untuk dapat hidup (too poor to be unemployed),” tegas Awalil.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memang menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Februari 2025 mencapai 70,63 persen atau yang tertinggi dalam belasan tahun terakhir.

Ini berarti makin banyak warga berusia kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja. Namun Awalil mengingatkan, tingginya angka TPAK ini bukan semata cerminan potensi pertumbuhan ekonomi, melainkan “keterpaksaan ekonomi untuk mencari pekerjaan”.

Sektor Pertanian dan Pekerja Tak Dibayar

Sektor pertanian menjadi penyerap tenaga kerja terbesar, mencapai 41,76 juta orang, angka tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Namun sektor ini dinilai telah menampung tenaga kerja melebihi kapasitasnya untuk memberikan upah layak.

Masalah lain yang mencolok adalah besarnya jumlah pekerja tak dibayar, khususnya pekerja keluarga. Pada Februari 2025, jumlahnya mencapai 20,16 juta orang dan merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. Angka ini meningkat drastis dari 14,76 juta orang pada 2019, sebelum pandemi.

Menurut Awalil, meskipun dalam definisi BPS mereka dikategorikan sebagai “telah bekerja”, realitanya pekerja keluarga yang tidak menerima upah layaknya hidup dalam situasi menyerupai pengangguran. 

“Kondisi pekerja keluarga dalam kehidupan sehari-hari mereka ini serupa pengangguran. Namun, dalam definisi bekerja dari BPS, mereka tercatat sebagai telah bekerja, karena membantu orang lain memperoleh penghasilan atau keuntungan,” jelasnya.

Pekerjaan Layak Masih Langka

Satu ironi lain dalam data ketenagakerjaan 2025 adalah meningkatnya pengangguran justru pada kelompok berpendidikan tinggi. TPT untuk lulusan perguruan tinggi (Diploma IV, S1, S2, S3) naik menjadi 6,23 persen, dari 5,63 persen pada Februari 2024.

Sebaliknya, pengangguran pada tingkat pendidikan rendah justru lebih kecil—SD ke bawah hanya 2,32 persen, SMP 4,35 persen. Menurut Awalil, data ini memperlihatkan ketidaksesuaian antara harapan lulusan pendidikan tinggi dan kenyataan pasar kerja.

“Dapat diartikan bahwa sebagian pekerjaan yang tersedia kurang layak dan memang lebih untuk yang berpendidikan rendah. Diperburuk fenomena banyak orang yang melanjutkan sekolah tinggi dengan harapan setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Akan tetapi lapangan pekerjaan yang terbuka untuk itu pun masih belum sesuai dengan harapan,” katanya.

Masalah lain yang mengintai adalah setengah pengangguran. Meskipun angkanya turun menjadi 8,00 persen, tetap dianggap tinggi jika dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.

“Mereka bekerja kurang dari jam normal (35 jam seminggu) dan masih mencari tambahan jam kerja atau pindah pekerjaan,” tambah dia.

Penurunan TPT Tak Selalu Kabar Baik

Secara keseluruhan, Awalil menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat pengangguran di Indonesia tidak berarti kondisi ketenagakerjaan membaik. Banyak warga yang secara statistik dianggap “bekerja”, sebenarnya masih dalam situasi kerja yang tidak layak.

“Secara umum bisa disimpulkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia tidak cukup mencerminkan kondisi ketenagakerjaan yang sebenarnya memburuk. Banyak dari mereka yang bekerja sebenarnya belum mempunyai pekerjaan yang layak. Sebagian cukup besar dari mereka harus bekerja apa saja untuk dapat bertahan hidup,” tegas Awalil.

Pengangguran Tembus Tujuh Juta Orang

Sebelumnya, Kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia menjadi perhatian utama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) usai Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan penambahan sebanyak 83.000 orang.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan kajian menyeluruh terhadap data tersebut sebelum menetapkan kebijakan, termasuk rencana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK serta penyesuaian upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

“Nanti kita harus lihat berapa penambahan pengangguran dibandingkan dengan kesempatan kerja,” ujar Yassierli saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, pada Senin, 5 Mei 2025.

Ia menambahkan bahwa kementerian belum bisa memberikan pernyataan secara komprehensif hingga pertemuan resmi dengan BPS digelar keesokan harinya.

“Tim dari BPS akan ke kementerian besok, jadi saya belum bisa komentar lebih lanjut. Nanti kita lihat bersama datanya seperti apa, analisisnya seperti apa,” katanya.

Yassierli juga menekankan bahwa hasil dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) akan menjadi rujukan penting dalam menyusun arah kebijakan ketenagakerjaan nasional ke depan.

Menanggapi situasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih menghantui dunia kerja di tengah tekanan ekonomi global, Yassierli menyampaikan bahwa pembentukan Satgas PHK kini memasuki tahap akhir.

“Satgas PHK ini masih dalam proses finalisasi. Nanti terakhir tentu menunggu keputusan Presiden, apakah akan berbentuk Perpres atau mekanisme lainnya, kita tunggu saja,” ungkapnya.

Yassierli menjelaskan bahwa Satgas tersebut akan terdiri dari perwakilan pemerintah pusat, serikat pekerja, pengusaha, kalangan akademik, serta kementerian dan lembaga terkait. Pembentukan format ini, menurutnya, merupakan hasil arahan langsung dari Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam forum sarasehan ketenagakerjaan beberapa waktu lalu.

Yang terpenting, lanjut Yassierli, adalah peran dan fungsi strategis dari Satgas itu sendiri. “Harapan kami, Satgas PHK ini tidak hanya menjadi pemadam kebakaran di hilir, tapi juga bergerak ke hulu. Ke hulu itu termasuk antisipasi dan kepastian perluasan lapangan kerja seperti apa,” tegasnya.(*)