Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

S&P 500-Nasdaq Jatuh, Apa yang bikin Wall Street Guncang?

Tarif Trump terhadap film asing, kekhawatiran inflasi, dan arah suku bunga The Fed membuat pasar saham Amerika bergejolak.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 06 May 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Syahrianto
S&P 500-Nasdaq Jatuh, Apa yang bikin Wall Street Guncang? Ilustrasi: Wall Street di Amerika Serikat. (Foto: AI untuk KabarBursa)

KABARBURSA.COM - Indeks S&P 500 melemah pada perdagangan Senin, 5 Mei 2025, mengakhiri tren penguatan terpanjang dalam dua dekade terakhir. Pelemahan terjadi setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru terhadap film produksi luar negeri. Sementara itu, pelaku pasar juga mencermati keputusan suku bunga Federal Reserve (The Fed) yang dijadwalkan rilis pekan ini.

Seperti dilaporkan Reuters, indeks Dow Jones Industrial Average turun 98,60 poin atau 0,24 persen ke posisi 41.218,83. Indeks S&P 500 merosot 36,29 poin atau 0,64 persen ke level 5.650,38, sedangkan Nasdaq Composite melemah 133,49 poin atau 0,74 persen ke posisi 17.844,24.

Dengan koreksi ini, Dow Jones juga menghentikan tren kenaikan sembilan harinya—yang menjadi rekor terpanjang sejak Desember 2023.

Tarif Film Asing Picu Volatilitas

Pada Minggu, 4 Mei 2025, Presiden Trump mengumumkan rencana pengenaan tarif sebesar 100 persen terhadap film yang diproduksi di luar Amerika Serikat. Namun, belum ada penjelasan rinci mengenai mekanisme implementasi kebijakan tersebut.

Langkah tersebut menambah ketidakpastian pasar, menyusul kebijakan tarif pertama yang diumumkan Trump pada 2 April lalu. Sejak pengumuman itu, indeks S&P 500 sempat terkoreksi hampir 15 persen. Namun dalam sembilan sesi terakhir hingga Jumat lalu, indeks berhasil pulih dan mencatatkan tren kenaikan terpanjang sejak 2004.

Sejumlah saham perusahaan produksi film dan televisi langsung melemah setelah pengumuman tarif terbaru. Saham Netflix terkoreksi 1,9 persen, mengakhiri reli selama 11 hari berturut-turut. Saham Amazon.com juga turun 1,9 persen, sementara Paramount Global melemah 1,6 persen. Kendati demikian, sebagian saham berhasil memangkas kerugian di sesi akhir perdagangan.

Tarif juga memicu kekhawatiran terhadap laba perusahaan. Saham Tyson Foods anjlok 7,7 persen setelah produsen makanan tersebut gagal memenuhi ekspektasi pendapatan kuartalan.

Di sisi lain, saham Skechers melonjak 24,3 persen setelah perusahaan sepatu itu menyepakati akuisisi senilai USD 9,4 miliar oleh perusahaan investasi 3G Capital. Kesepakatan ini dilakukan secara privat.

Tekanan juga datang dari sektor energi. Saham energi dalam indeks S&P menjadi yang terburuk di antara 11 sektor utama, dengan penurunan sebesar 2 persen. Koreksi terjadi setelah OPEC+ mengumumkan percepatan peningkatan produksi minyak, yang menimbulkan kekhawatiran akan kelebihan pasokan di tengah permintaan yang belum stabil. 

Di Bursa Efek New York (NYSE), jumlah saham yang melemah melampaui saham yang menguat dengan rasio 1,88 banding 1. Di Nasdaq, rasio serupa tercatat 1,79 banding 1.

S&P 500 mencatat sembilan rekor tertinggi baru dalam 52 pekan terakhir, serta tiga titik terendah baru. Nasdaq Composite membukukan 53 rekor tertinggi dan 57 titik terendah.

Volume perdagangan di seluruh bursa saham AS tercatat sebesar 13,67 miliar saham, di bawah rata-rata 18,68 miliar saham per sesi selama 20 hari terakhir.

Komentar Pejabat, Ketidakpastian Dagang, dan Awan Gelap Ekonomi AS

Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan bahwa kebijakan tarif, pemangkasan pajak, dan deregulasi dari Presiden Donald Trump ditujukan untuk menarik investasi jangka panjang ke dalam negeri. Menurutnya, gejolak jangka pendek yang muncul akibat kebijakan ini masih dapat ditoleransi oleh pasar.

Namun, di pasar keuangan, kekhawatiran meningkat. “Naiknya S&P 500 selama sembilan hari berturut-turut sulit untuk dipertahankan,” ujar Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di B Riley Wealth, Boston. “Pasar mulai memperhitungkan kemungkinan kesepakatan dagang, tetapi waktu kian menipis. Setiap pekan tanpa kesepakatan baru berisiko menimbulkan kerusakan ekonomi.”

Kebijakan tarif juga berimbas pada tekanan harga. Survei Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan sektor jasa di AS mengalami percepatan pertumbuhan pada April, dengan indeks PMI naik menjadi 51,6 dari 50,8. Namun, indeks harga yang dibayar oleh pelaku usaha melonjak ke titik tertinggi dalam lebih dari dua tahun terakhir, mencerminkan tekanan inflasi dari kebijakan perdagangan. Hal ini diperkuat oleh data S&P Global yang menunjukkan bahwa aktivitas bisnis AS melambat ke level terendah dalam 16 bulan, sementara harga barang dan jasa naik ke level tertinggi dalam 13 bulan.

Selain itu, sentimen masyarakat terhadap perekonomian juga melemah. Indeks Sentimen Konsumen Universitas Michigan turun tajam menjadi 52,2 pada April dari 57 di bulan sebelumnya. Penurunan 32 persen dalam indeks ekspektasi sejak Januari menjadi yang terparah sejak resesi awal 1990-an.

Sementara itu, survei American Association of Individual Investors (AAII) menunjukkan bahwa 61,9 persen investor ritel bersikap bearish pada awal April, rekor tertinggi sepanjang 38 tahun sejarah survei tersebut.

Proyeksi ekonomi AS juga semakin suram. Survei Reuters pada April mengungkapkan bahwa para ekonom memperkirakan pertumbuhan PDB AS hanya mencapai 1,4 persen pada 2025, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,2 persen. Risiko resesi dalam 12 bulan ke depan melonjak menjadi 45 persen dari 25 persen pada Maret lalu. Kebijakan tarif yang agresif disebut-sebut sebagai penyebab utama melemahnya prospek bisnis dan investasi. (*)