Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kemnaker Siapkan Aturan Baru Tuntaskan Polemik Outsourcing

Kemnaker finalisasi Permenaker baru untuk atasi masalah outsourcing, menjawab arahan Presiden Jokowi agar negara hadir memberi kepastian bagi pekerja.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 05 May 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Kemnaker Siapkan Aturan Baru Tuntaskan Polemik Outsourcing Kemnaker siapkan aturan baru soal outsourcing, targetkan perlindungan pekerja dan kesejahteraan yang lebih jelas sesuai arahan Presiden Prabowo. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Pemerintah akhirnya bersiap menuntaskan polemik panjang soal outsourcing yang selama ini jadi momok di dunia kerja. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memastikan regulasi baru sedang difinalisasi dalam bentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto yang memberi perhatian serius pada praktik alih daya yang dinilai merugikan pekerja.

Outsourcing ini, yang pertama kita harus lihat dari respon Pak Presiden, bahwa beliau sangat peduli dan menangkap aspirasi dari pimpinan Serikat Buruh,” ujar Menteri Ketenagakerjaan Yassierli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 5 Mei 2025.

Menurut Yassierli, praktik outsourcing di Indonesia selama ini menyimpan banyak masalah, terutama soal kesejahteraan dan keberlangsungan karier pekerja. Ia menyoroti banyaknya pekerja outsourcing yang sudah berusia 40–50 tahun, tetapi tetap berstatus kontrak tanpa kejelasan jenjang karier maupun peningkatan upah.

“Banyak kasus, orang usianya sudah 40 atau 50 tahun, masih saja di-outsource, gaji tetap UMP, tanpa karir, dan bahkan sering kontraknya UMP tapi dibayarnya di bawah itu. Ini yang jadi perhatian kita,” ungkapnya.

Yassierli mengatakan Prabowomeminta agar isu ini dikaji menyeluruh dan realistis. Pemerintah tak hanya ingin membuat aturan simbolik, tapi juga kebijakan konkret yang menjawab keresahan pekerja.

“Pak Presiden meminta agar ini dikaji secara realistis dan juga meminta Dewan Kesejahteraan Buruh untuk terlibat dalam pengkajiannya. Jadi semangat kita adalah negara hadir memberikan kepastian bagi pekerja,” tegas Yassierli.

Negara Harus Hadir, Bukan Sekadar Simbolik


Ia menekankan substansi Permenaker nanti tidak hanya akan mengatur aspek teknis outsourcing, tetapi juga memperkuat perlindungan hak-hak pekerja, termasuk jaminan sosial, kepastian upah, dan keberlangsungan pekerjaan.

“Semangat kita adalah memastikan negara hadir. Ini soal kepastian bagi pekerja, soal jaminan sosial, dan soal bagaimana mereka punya masa depan dalam pekerjaan, bukan sekadar jadi pekerja kontrak selamanya,” ucapnya.

Meski belum membeberkan isi rinci regulasi itu, Yassierli memastikan kementeriannya terbuka terhadap masukan dari pekerja, pengusaha, akademisi, maupun masyarakat sipil. Ia berharap aturan baru ini bisa menjadi jembatan solusi antara dunia usaha dan hak-hak pekerja.

“Tentu kami membuka ruang dialog. Yang kami inginkan adalah aturan yang adil, implementatif, dan melindungi pekerja tanpa mematikan iklim usaha,” jelasnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, sistem kerja alih daya memang jadi sorotan tajam. Buruh menilai model ini membuka celah eksploitasi karena lemahnya pengawasan, sementara pengusaha melihat fleksibilitas outsourcing sebagai bagian penting dari efisiensi bisnis.

Yassierli menegaskan, Permenaker yang sedang difinalisasi ini akan menjadi momentum evaluasi total terhadap praktik alih daya, khususnya di sektor non-core yang rawan pelanggaran. “Bukan berarti semua outsourcing itu buruk, tapi selama ini pengawasannya lemah dan banyak penyimpangan. Nah, aturan baru ini harus bisa menutup celah itu,” katanya.

Pengangguran Naik


Isu revisi aturan outsourcing ini sebenarnya tak bisa dilepaskan dari sorotan pemerintah atas lonjakan angka pengangguran nasional. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2025 mencapai 4,76 persen, turun tipis 0,06 persen poin dibanding Februari tahun lalu. Secara jumlah, itu berarti sekitar 7,28 juta orang menganggur dari total angkatan kerja nasional sebanyak 153,05 juta orang.

Namun, di balik angka itu, ada satu catatan penting: lebih dari 49 juta orang bekerja tidak penuh alias hanya 1–34 jam per minggu. Jumlah ini mencakup 8 persen setengah pengangguran dan 25,81 persen pekerja paruh waktu. Sementara mereka yang bekerja penuh (≥35 jam per minggu) berjumlah 96,48 juta orang atau sekitar 66,19 persen.

Tren ini menandakan satu hal: meski lebih banyak orang bekerja, belum tentu mereka mendapat pekerjaan yang layak secara jam kerja. Bahkan, ketika angkatan kerja bertambah 3,67 juta orang dan jumlah penduduk bekerja naik 3,59 juta orang dalam setahun terakhir, kualitas jam kerja tetap jadi pekerjaan rumah besar.

Lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi, serta perawatan mobil dan sepeda motor. Sektor ini menambah sekitar 980 ribu pekerja baru, mengalahkan sektor lain. Namun, kenaikan rata-rata upah buruh nasional justru cuma 1,78 persen, dari Rp3,04 juta menjadi Rp3,09 juta. Artinya, kenaikan upah kalah cepat dibanding kenaikan kebutuhan hidup sehari-hari.

BPS mencatat proporsi pekerja penuh mengalami sedikit peningkatan dibanding Februari 2024, tapi ini belum cukup untuk memutar keadaan. Di tengah tekanan ekonomi global, kenaikan proporsi pekerja penuh dari sekitar 65,6 persen (Februari 2024) ke 66,19 persen (Februari 2025) masih rapuh dan mudah terpukul oleh gejolak sektor industri atau perdagangan.

Di tingkat kebijakan, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli sudah mewanti-wanti soal pembentukan Satgas PHK. Ia berharap Satgas ini tidak hanya sibuk memadamkan masalah di hilir, tapi juga menyiapkan perluasan lapangan kerja dari hulu. Dengan lebih dari 7 juta pengangguran plus 49 juta pekerja tidak penuh, tantangan sektor ketenagakerjaan Indonesia jelas tidak sederhana.(*)