KABARBURSA.COM - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 mencatat angka 4,87 persen secara tahunan (year on year/yoy), menandai perlambatan signifikan dari kuartal sebelumnya dan menjadi laju terendah sejak kuartal III-2021.
Senior Ekonom Fithra Faisal Hastiadi menilai kondisi ini menunjukkan tekanan struktural dan siklikal yang masih membayangi ekonomi nasional.
“Angka ini menunjukkan perlambatan signifikan dibandingkan kuartal IV-2024 (5,02 persen) dan merupakan laju pertumbuhan paling lambat sejak kuartal III-2021,” jelas Fithra dalam keterangannya, Senin 4 Mei 2025.
Ia menekankan bahwa melemahnya permintaan domestik dan investasi menjadi sinyal bahwa ekonomi Indonesia belum benar-benar keluar dari tekanan pascapandemi dan dinamika global.
Meskipun berada di periode Ramadan yang biasanya menjadi pendorong konsumsi, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru menurun dari 54,9 persen pada kuartal I-2024 menjadi 54,5 persen.
“Pertumbuhan konsumsi melambat karena melemahnya kepercayaan konsumen,” kata Fithra.
Ia menambahkan, data penjualan ritel dan indikator mobilitas menunjukkan bahwa lonjakan konsumsi yang lazim terjadi saat hari raya justru mengalami keterlambatan, dan kemungkinan besar tidak akan pulih di kuartal II.
Dari sisi investasi, pembentukan modal tetap swasta juga tertahan oleh suku bunga tinggi, hambatan regulasi, dan ketidakpastian global. Sementara itu, sektor ekspor yang biasanya menjadi penopang saat konsumsi dalam negeri lesu, kali ini juga tidak mampu memberikan kontribusi berarti.
“Pertumbuhan ekspor secara keseluruhan memberikan bantalan yang terbatas di tengah melemahnya permintaan dari Tiongkok dan melambatnya perdagangan kawasan,” lanjut Fithra. Efek lanjutan dari kebijakan dagang AS juga turut memperparah keadaan.
Ia menyebut bahwa tarif AS berpotensi memangkas pertumbuhan PDB 2025 sebesar 0,3 hingga 0,5 poin persentase. Ancaman ini diperkuat dengan data PMI S&P April yang terkontraksi tajam di level 46,7, menandakan kondisi perdagangan yang memburuk.
Melihat kondisi tersebut, Fithra memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 kemungkinan hanya akan berada di angka 4,8 persen. “Hambatan struktural dan siklus ekonomi masih akan membebani perekonomian dalam beberapa kuartal ke depan,” ujarnya.
Di sisi lain, ia mengakui bahwa pemerintah masih optimistis dengan target pertumbuhan 5,2 persen. Namun, menurut Fithra, target tersebut membutuhkan pemulihan yang jauh lebih kuat, terutama dari sisi investasi tetap, konsumsi swasta, dan produksi industri.
“Beberapa faktor pendukung mulai terlihat, seperti belanja modal pemerintah yang diperkirakan meningkat pada kuartal III-IV, khususnya untuk infrastruktur dan hilirisasi industri,” kata dia.
Namun demikian, tantangan eksternal tetap mengintai. Meskipun rupiah sempat menguat, musim repatriasi dividen pada Mei bisa menekan nilai tukar.
“Selain itu, kondisi keuangan global yang ketat dan ketidakpastian arah pemangkasan suku bunga oleh The Fed juga menjadi hambatan tambahan,” tutupnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2025 tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Kinerja ini ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu 10,52 persen. Namun, di balik angka positif itu, terdapat kontraksi ekonomi sebesar 0,98 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter), yang memunculkan kekhawatiran mengenai ketahanan ekonomi nasional memasuki kuartal II.
Direktur Neraca Produksi BPS, Puji Agus Kurniawan, menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada Januari–Maret 2025 mencapai Rp5.665,9 triliun, atau Rp3.264,5 triliun berdasarkan harga konstan 2010.
Menurutnya, kontraksi secara kuartalan mencerminkan pelemahan aktivitas domestik akibat rendahnya serapan belanja negara. “Penurunan signifikan dalam konsumsi pemerintah sebesar 39,89 persen menjadi penyebab utama kontraksi. Ini mencerminkan pola musiman sekaligus tantangan struktural dalam realisasi belanja fiskal,” ujar Puji dalam Berita Resmi Statistik (BPS), Senin, 5 Mei 2025.
Dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian menjadi penopang utama dengan kontribusi kuat, diikuti oleh jasa lainnya, jasa perusahaan, serta transportasi dan pergudangan yang juga mencatatkan pertumbuhan tinggi. Namun, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi cukup dalam secara kuartalan, yakni 7,42 persen, seiring volatilitas harga komoditas global.
Sementara itu, dari sisi pengeluaran, ekspor barang dan jasa tumbuh 6,78 persen yoy, menjadi motor pendorong di tengah lesunya konsumsi rumah tangga. Konsumsi domestik hanya tumbuh 4,89 persen, yang meskipun dominan secara struktur PDB (54,53 persen), dinilai belum cukup kuat menahan tekanan ekonomi eksternal dan internal.
Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Pipit Helly Sorayan, mencatat bahwa selain konsumsi pemerintah, hampir semua komponen pengeluaran mengalami tekanan. “Ekspor dan impor barang serta jasa masing-masing terkontraksi 6,11 persen dan 10,20 persen secara kuartalan. Ini memberikan sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang lebih luas,” jelasnya.
Secara spasial, Pulau Jawa masih menjadi kontributor utama dengan porsi 57,43 persen dan pertumbuhan 4,99 persen. Sulawesi bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 6,40 persen. Namun, ketimpangan masih terlihat, terutama di wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua yang hanya tumbuh 1,69 persen. (*)