KABARBURSA.COM - Pertumbuhan ekonomi Republik Indonesia (RI) secara statistik kalah dari Vietnam. Meskipun pemerintah mengklaim capaian triwulan I 2025 cukup solid di level 4,87 persen secara tahunan (year on year/yoy), angka ini tetap di bawah Vietnam yang mencatat pertumbuhan impresif sebesar 6,93 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif tinggi dibanding beberapa negara anggota G20.
“Kita pertumbuhannya nomor dua tertinggi di bawah China yang tumbuh 5,4 persen. Kita masih di atas Malaysia yang 4,4 persen. Kemudian Singapura yang 3,8 persen, Spanyol 2,9 persen,” ujar Airlangga kepada wartawan usai rapat koordinasi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin 5 Mei 2025
Meski demikian, ia mengakui keunggulan Vietnam yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia Tenggara. “Kita sedikit di bawah Vietnam,” imbuh Airlangga.
Pemerintah boleh saja menekankan bahwa posisi Indonesia berada di atas Malaysia, Singapura, atau Spanyol dalam daftar pertumbuhan ekonomi global. Namun, perbandingan itu justru mengaburkan fakta utama: Indonesia tertinggal dari Vietnam, tetangga terdekat yang kerap dibandingkan dalam hal kompetisi investasi dan efisiensi ekonomi.
Baik selisihnya kecil maupun besar, keunggulan Vietnam menunjukkan bahwa negara tersebut mampu menjaga momentum reformasi dan menarik investasi dengan lebih konsisten.
Klaim “hanya sedikit di bawah” Vietnam tidak menghapus kenyataan bahwa Vietnam tetap di depan, dan ini seharusnya menjadi cermin evaluasi, bukan sekadar pembelaan.
Namun di balik pernyataan optimistis pemerintah, sejumlah ekonom menilai Indonesia sedang mengalami stagnasi pertumbuhan yang perlu diwaspadai.
Ekonom Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, menyoroti tiga masalah mendasar yang menghambat akselerasi ekonomi nasional: tumpang tindih regulasi, kualitas sumber daya manusia yang belum optimal, serta efektivitas rendah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Indonesia ini mengalami stagnasi pertumbuhan karena tiga faktor utama ya. Pertama adanya tumpang tindihnya aturan, kemudian persoalan SDM dan yang ketiga tidak efektifnya APBN sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi,” kata Handi dalam sebuah diskusi ekonomi yang digelar pekan lalu.
Masalah struktural ini juga tercermin dari rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang tinggi. Saat ini, ICOR Indonesia berada di level 6,5, jauh di atas rata-rata negara tetangga yang berkisar di angka 4 hingga 5.
Sebagai perbandingan, ICOR Malaysia tercatat 4,5, Thailand 4,4, Vietnam 4,6, dan Filipina hanya 3,7. Semakin tinggi ICOR, semakin besar biaya investasi yang dibutuhkan untuk menciptakan output ekonomi yang setara, menunjukkan rendahnya efisiensi investasi Indonesia.
“Jadi artinya, sebenarnya persoalan ini pemerintah sudah tahu. Tapi kita terus dibebani oleh hambatan regulasi dan ketidakefisienan. Ini akhirnya bikin investor memilih pindah ke Vietnam, Malaysia, dan negara lain,” jelas Handi.
Ia juga mengkritik pendekatan populis yang bersifat sementara, seperti pemberian tunjangan hari raya (THR) atau bantuan tunai, yang tidak menyentuh akar persoalan. Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah reformasi struktural dan konsistensi kebijakan, bukan respons jangka pendek.
“Jadi ini bukan persoalan kita memberikan THR atau tidak karena memang efisiensi investasi di kita ini tinggi, biaya tinggi gitu. Nah ini tercermin dari ICOR tadi,” tegas Handi.
Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi kebijakan dan keberanian menyelesaikan masalah secara struktural. Ia juga menyoroti kecenderungan pemerintahan yang hanya fokus dalam durasi singkat karena tersandera agenda politik lima tahunan.
“Jadi kuncinya memang konsistensi kita dalam menyelesaikan persoalan perekonomian kita ini perlu dilakukan. Jadi jangan sampai yang kita alami kan durasi pemerintahan kita ini kan singkat, 5 tahun yang fokusnya paling cuma 2-3 tahun karena setelah itu udah urusan politik gitu,” kata Handi.
Senada dengan Handi, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam, menilai bahwa Vietnam berhasil mengungguli Indonesia berkat kepastian kebijakan yang kuat.
"Vietnam itu negara sosialis, sistem kebijakan mereka masih sangat ditentukan oleh pusat, ditentukan oleh pemerintah. Kalau pemerintah sudah mengatakan A, itu A," ujar Piter dalam diskusi bertajuk IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025.
Sementara itu, lanjut Piter, situasi di Indonesia berbeda. Demokrasi ekonomi yang berkembang justru menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha.
"Kita kan masih banyak sekali yang kita sebut sebagai demokrasi ekonomi yang menyebabkan justru menjadi faktor kelemahannya kita. Bukan berarti demokrasi ekonomi jelek, tapi demokrasi ekonomi yang kita kembangkan itu yang masih belum pas untuk kita," jelasnya. (*)