KABARBURSA.COM – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2025 tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Kinerja ini ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencatat pertumbuhan tertinggi, yaitu 10,52 persen. Namun, di balik angka positif itu, terdapat kontraksi ekonomi sebesar 0,98 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter), yang memunculkan kekhawatiran mengenai ketahanan ekonomi nasional memasuki kuartal II.
Direktur Neraca Produksi BPS, Puji Agus Kurniawan, menjelaskan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada Januari–Maret 2025 mencapai Rp5.665,9 triliun, atau Rp3.264,5 triliun berdasarkan harga konstan 2010.
Menurutnya, kontraksi secara kuartalan mencerminkan pelemahan aktivitas domestik akibat rendahnya serapan belanja negara. “Penurunan signifikan dalam konsumsi pemerintah sebesar 39,89 persen menjadi penyebab utama kontraksi. Ini mencerminkan pola musiman sekaligus tantangan struktural dalam realisasi belanja fiskal,” ujar Puji dalam Berita Resmi Statistik (BPS), Senin, 5 Mei 2025.
Dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian menjadi penopang utama dengan kontribusi kuat, diikuti oleh jasa lainnya, jasa perusahaan, serta transportasi dan pergudangan yang juga mencatatkan pertumbuhan tinggi. Namun, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi cukup dalam secara kuartalan, yakni 7,42 persen, seiring volatilitas harga komoditas global.
Sementara itu, dari sisi pengeluaran, ekspor barang dan jasa tumbuh 6,78 persen yoy, menjadi motor pendorong di tengah lesunya konsumsi rumah tangga. Konsumsi domestik hanya tumbuh 4,89 persen, yang meskipun dominan secara struktur PDB (54,53 persen), dinilai belum cukup kuat menahan tekanan ekonomi eksternal dan internal.
Direktur Neraca Pengeluaran BPS, Pipit Helly Sorayan, mencatat bahwa selain konsumsi pemerintah, hampir semua komponen pengeluaran mengalami tekanan. “Ekspor dan impor barang serta jasa masing-masing terkontraksi 6,11 persen dan 10,20 persen secara kuartalan. Ini memberikan sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang lebih luas,” jelasnya.
Secara spasial, Pulau Jawa masih menjadi kontributor utama dengan porsi 57,43 persen dan pertumbuhan 4,99 persen. Sulawesi bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 6,40 persen. Namun, ketimpangan masih terlihat, terutama di wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua yang hanya tumbuh 1,69 persen.
Situasi triwulan I 2025 ini menjadi semacam "peringatan dini" bagi para pemangku kebijakan dan pelaku pasar. Meski angka tahunan masih dalam jalur positif, tren kuartalan menurun bisa menjadi indikasi tekanan yang lebih dalam apabila tidak segera diantisipasi.
Sejumlah ekonom menyoroti lemahnya daya beli masyarakat sebagai sinyal utama yang perlu diwaspadai. Bahkan momentum Ramadan dan Lebaran yang biasanya mendorong konsumsi, dinilai gagal memberikan efek maksimal. Jika konsumsi rumah tangga tidak segera digenjot, misalnya lewat insentif fiskal atau pengendalian inflasi, risiko perlambatan lebih tajam di kuartal II akan meningkat.
Prospek pertumbuhan pada triwulan berikutnya pun dipengaruhi oleh banyak faktor: realisasi belanja APBN, penguatan nilai tukar rupiah, pemulihan sektor ekspor di tengah perang dagang global, hingga efektivitas komunikasi kebijakan pemerintah pasca transisi kekuasaan. Di tengah tantangan ini, strategi koordinasi fiskal dan moneter menjadi krusial untuk menjaga ritme pertumbuhan tetap berada di jalur target pemerintah sebesar 5,2 persen.
“Beberapa indikator konsumsi dan ekspor masih menunjukkan resiliensi. Tapi sinyal-sinyal pelemahan tetap harus diwaspadai dengan serius,” kata Puji Agus menutup paparan BPS.
Dengan demikian, meskipun triwulan I 2025 tidak bisa disebut sebagai kegagalan ekonomi, data yang muncul cukup menjadi alarm. Kuartal II akan menjadi titik krusial: apakah Indonesia mampu mengoreksi kontraksi atau justru masuk ke zona risiko yang lebih besar?
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen untuk tahun 2025, sebagaimana tercantum dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN 2025.
Namun, realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 yang hanya mencapai 4,87 persen menunjukkan adanya tantangan dalam mencapai target tersebut. Hal ini mengindikasikan perlunya evaluasi dan penyesuaian strategi ekonomi untuk mencapai pertumbuhan yang diharapkan.
Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari setengah PDB Indonesia, tumbuh sebesar 4,89 persen pada kuartal I-2025. Meskipun demikian, pertumbuhan ini merupakan yang terendah dalam lima kuartal terakhir, bahkan di tengah momentum Ramadan dan Idulfitri. Hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih lemah dan memerlukan perhatian khusus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Pertumbuhan investasi pada kuartal I-2025 tercatat hanya sebesar 2,12 persen, merupakan yang terendah dalam dua tahun terakhir. Sementara itu, belanja pemerintah mengalami kontraksi sebesar 39,89 persen secara kuartalan.
Kedua komponen ini, yang seharusnya menjadi pendorong utama pertumbuhan, justru menunjukkan pelemahan yang signifikan, menandakan perlunya stimulus fiskal yang lebih efektif.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi global, termasuk ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat yang berencana memberlakukan tarif impor tambahan sebesar 32 persen untuk produk Indonesia. Situasi ini menambah tekanan pada ekspor dan menimbulkan ketidakpastian yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Melihat kinerja kuartal I-2025, prospek pertumbuhan ekonomi pada kuartal II sangat bergantung pada akselerasi belanja pemerintah dan penguatan konsumsi domestik. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan, termasuk mempercepat pencairan anggaran dan memberikan stimulus yang tepat sasaran. Dengan demikian, diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat kembali ke jalur yang sesuai dengan target yang telah ditetapkan. (