KABARBURSA.COM - Pasar energi global kembali dibuat ramai dengan keputusan terbaru dari OPEC+.
Dalam pertemuan virtual yang berlangsung singkat namun penuh dampak, aliansi produsen minyak dunia tersebut sepakat untuk kembali menaikkan produksi minyak mentah sebesar 411.000 barel per hari pada bulan Juni 2025.
Ini adalah bulan kedua berturut-turut OPEC+ mempercepat peningkatan produksi, meski harga minyak tengah melemah dan permintaan global diperkirakan akan melambat.
Kenaikan produksi ini menambah tekanan pada harga minyak yang sudah jatuh ke level terendah dalam empat tahun. Brent crude sempat merosot lebih dari 1 persen pada hari Jumat, 2 Mei 2025 sebelumnya ke posisi USD61,29 per barel.
Harga ini mencerminkan ketakutan pasar akan banjir pasokan baru, terutama di tengah kekhawatiran atas pertumbuhan ekonomi global yang dibayangi ketegangan dagang akibat tarif dari Presiden AS, Donald Trump.
Menariknya, langkah OPEC+ ini tidak datang tiba-tiba. Saudi Arabia, sebagai pemimpin de facto kelompok ini, dilaporkan tengah mendorong percepatan pelonggaran pemangkasan produksi. Hal ini khususnya sebagai bentuk tekanan terhadap Irak dan Kazakhstan yang dianggap kurang disiplin dalam memenuhi kuota produksi.
Kazakhstan bahkan terang-terangan menolak patuh dan lebih memilih mengedepankan kepentingan nasional dalam menentukan tingkat produksinya, sementara output bulan April mereka malah melampaui batas yang disepakati, meski secara teknis mengalami penurunan 3 persen.
Selain faktor internal, tekanan eksternal pun ikut bermain. Presiden Trump secara terbuka meminta OPEC+ untuk meningkatkan suplai minyak global. Ia dijadwalkan mengunjungi Arab Saudi akhir Mei, yang mungkin menjadi panggung diplomasi energi tersendiri.
Sebagian analis menilai permintaan Trump ini ikut mendorong keputusan OPEC+, walaupun kelompok ini tetap menyebut kebijakan mereka sebagai “unwinding yang terkelola”, bukan sebagai ajang perang pangsa pasar.
Sebanyak delapan negara anggota OPEC+ sebelumnya telah sepakat untuk menghapus secara bertahap pemangkasan produksi sebesar 2,2 juta barel per hari sejak April 2025.
Dengan tambahan di bulan Juni nanti, total peningkatan produksi dalam tiga bulan terakhir akan mencapai 960.000 barel per hari—setara dengan 44 persen dari total pemangkasan awal. Kenaikan ini menunjukkan keseriusan kelompok dalam mengatur keseimbangan pasar secara perlahan.
Namun, tak semua pihak yakin pasar siap menerima tambahan pasokan ini. Menurut Giovanni Staunovo dari UBS, harga minyak kemungkinan besar akan kembali turun pada hari Senin, 5 Mei 2025, seiring kombinasi tekanan dari lonjakan pasokan, ketegangan perdagangan global, dan melambatnya proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia.
Di sisi lain, Helima Croft dari RBC Capital Markets menyoroti bahwa kepatuhan tetap menjadi isu utama, terutama karena Kazakhstan dan Irak secara konsisten gagal memenuhi target kompensasi, sementara Rusia masih dalam zona abu-abu.
OPEC+, yang terdiri dari negara-negara anggota OPEC dan sekutunya seperti Rusia, saat ini masih menjalankan pemangkasan total hampir 5 juta barel per hari.
Sebagian besar pemangkasan tersebut dijadwalkan akan tetap berlaku hingga akhir tahun 2026, menunjukkan bahwa meskipun ada pelonggaran, strategi pengendalian suplai tetap berlangsung dalam jangka panjang.
Keputusan untuk menambah pasokan minyak mentah di tengah harga yang turun dan permintaan yang lemah mungkin tampak kontradiktif. Namun, bagi OPEC+, ini adalah langkah strategis yang sarat nuansa politik dan diplomatik, bukan sekadar soal harga.
Dengan pertemuan menteri penuh yang dijadwalkan berlangsung pada 28 Mei mendatang, arah kebijakan energi global tampaknya akan terus menjadi perhatian utama pelaku pasar dan pengamat ekonomi.
Dalam dinamika ini, para investor dan analis energi harus tetap waspada. Pasar minyak global saat ini bukan hanya dipengaruhi oleh neraca supply-demand, tetapi juga oleh kebijakan luar negeri, kepatuhan internal, dan ketegangan geopolitik yang kompleks. Satu hal yang pasti, volatilitas masih akan mewarnai pergerakan harga minyak dalam waktu dekat.
Pasar Terus Waspada
Harga minyak turun lebih dari 1 persen pada Sabtu, 3 Mei 2025, dan mencatat kerugian mingguan terbesar sejak akhir Maret. Para trader mengambil posisi hati-hati menjelang rapat penting OPEC+ yang akan menentukan kebijakan produksi untuk bulan Juni.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, Minyak West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup melemah 95 sen atau 1,6 persen di USD58,29 per barel, sementara Brent turun 84 sen atau 1,4 persen menjadi USD61,29 per barel. Untuk sepekan, Brent amblas lebih dari 8 persen, sedangkan WTI kehilangan sekitar 7,7 persen.
Menariknya, rapat OPEC+ dimajukan menjadi Sabtu hari ini, padahal awalnya dijadwalkan Senin. Belum jelas alasan perubahan jadwal ini. Dua sumber Reuters menyebut anggota OPEC+—yang mencakup negara-negara OPEC dan sekutunya—masih mempertimbangkan apakah akan menaikkan produksi secara agresif di Juni atau tetap dengan kenaikan yang lebih kecil.
Apa pun keputusannya, pasar minyak sudah bersiap menghadapi tambahan pasokan di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi akibat perang dagang AS-China. Banyak analis pasar bahkan mulai menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak untuk tahun ini. “Pasar sekarang sepenuhnya fokus ke OPEC, bahkan perang tarif pun jadi nomor dua,” ujar Scott Shelton, spesialis energi United ICAP.
Reuters melaporkan pekan ini bahwa pejabat Saudi Arabia—pemimpin de facto OPEC+—telah memberi sinyal kepada sekutu dan pelaku industri bahwa mereka enggan terus menopang pasar minyak dengan pemangkasan pasokan tambahan. Saat ini, OPEC+ sudah memangkas produksi lebih dari 5 juta barel per hari.
Selain itu, para trader juga berhati-hati menanti potensi meredanya tensi dagang AS-China, setelah Beijing pada Jumat mengumumkan sedang mengevaluasi proposal dari Washington untuk membuka pembicaraan terkait tarif Presiden Donald Trump. “Ada sedikit optimisme soal hubungan AS-China, tapi tandanya masih sangat samar,” kata Kepala Riset di Onyx Capital Group, Harry Tchilinguirian.
Meski demikian, penurunan harga minyak pada Jumat agak tertahan oleh kenaikan pasar saham. Analis UBS Giovanni Staunovo mencatat, Wall Street menguat setelah data ketenagakerjaan AS menunjukkan jumlah pekerja yang bertambah lebih besar dari perkiraan.
Ancaman Trump pada Kamis yang menyebut akan memberlakukan sanksi sekunder kepada pembeli minyak Iran juga membantu menahan tekanan harga. Sanksi ini bisa memperketat pasokan global dan sekaligus mempersulit negosiasi dagang dengan China yang merupakan importir utama minyak Iran.
Dari sisi lain, tanda-tanda perlambatan pertumbuhan produksi minyak AS juga dinilai bisa menjadi faktor pendukung harga dalam jangka panjang. Data Baker Hughes menunjukkan, jumlah rig pengeboran minyak AS turun empat menjadi 479 unit pekan ini—penurunan pertama dalam tiga minggu. Jumlah rig ini menjadi indikator awal untuk proyeksi output ke depan.(*)