KABARBURSA.COM - Laju inflasi Indonesia meningkat tajam pada April 2025, menandai tekanan harga yang semakin nyata di tengah momen Lebaran dan depresiasi rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan (year-on-year/YoY) mencapai 1,95 persen—level tertinggi sejak Agustus 2024 dan jauh melampaui proyeksi awal yang dipatok pada 1,3 persen.
Kenaikan ini mencerminkan efek pass-through dari harga yang lebih tinggi selama periode Ramadan dan Lebaran, serta reaksi pelaku usaha yang mulai meneruskan beban kenaikan biaya produksi kepada konsumen.
“Ketika harga-harga meningkat, dan kurs rupiah terus terdepresiasi, pelaku usaha tak punya pilihan selain menaikkan harga jual,” ujar Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Fithra Faisal Hastiadi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat 2 Mei 2025.
Sektor perumahan menjadi penyumbang utama lonjakan inflasi dengan pertumbuhan tahunan sebesar 1,60 persen, berbalik arah dari deflasi 4,68 persen pada Maret lalu. Lonjakan ini dipicu berakhirnya program diskon tarif listrik 50 persen yang sebelumnya berlaku pada dua bulan pertama tahun ini.
Selain itu, inflasi juga meningkat di sektor makanan dan kesehatan, meskipun relatif lebih moderat. Sementara itu, sektor transportasi dan komunikasi justru mencatat kontraksi harga, dan laju kenaikan di sektor akomodasi dan restoran mulai melambat.
Di sisi lain, inflasi inti—yang mencerminkan tekanan harga jangka panjang dan lebih stabil—naik ke level 2,50 persen YoY, menjadi yang tertinggi dalam hampir dua tahun terakhir. Menurut Fithra, ini menjadi indikator penting bahwa tekanan biaya dari sisi penawaran, khususnya akibat pelemahan rupiah, mulai berdampak lebih luas.
“Meskipun permintaan masih lemah, pengusaha mulai mengalami tekanan di sisi biaya, terutama dari komponen impor,” katanya.
Fithra juga menegaskan bahwa kondisi ini perlu diwaspadai secara cermat. “Jika depresiasi rupiah terus berlangsung, dan pasokan global masih terganggu, maka tekanan terhadap inflasi inti bisa bertahan lebih lama dari yang diharapkan,” tambahnya.
Ke depan, inflasi diperkirakan tetap berada dalam koridor target Bank Indonesia, yakni 1,5 persen hingga 3,5 persen. Namun, arah kebijakan moneter diperkirakan akan tetap berhati-hati, dengan perhatian utama tertuju pada stabilitas nilai tukar dan ekspektasi inflasi.
“Bank Indonesia akan tetap menjaga suku bunga pada level tinggi selama rupiah masih rentan terhadap gejolak global,” jelas Fithra.
Dalam pandangan Fithra, kombinasi antara inflasi yang meningkat, lemahnya permintaan domestik, dan depresiasi rupiah menjadi tantangan utama bagi pemulihan ekonomi nasional. Oleh karena itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini pun direvisi turun menjadi 4,8 persen dari sebelumnya 4,97 persen.
“Ini mencerminkan kehati-hatian, namun masih dalam koridor optimisme bahwa ekonomi bisa tetap tumbuh positif,” pungkasnya.
Untuk diketahui, inflasi tahunan Indonesia pada April 2025 melonjak ke level 1,95 persen (YoY), tertinggi sejak Agustus 2024. Kenaikan ini jauh melebihi ekspektasi Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) yang memperkirakan inflasi hanya 1,3 persen. Lonjakan inflasi ini terutama disebabkan oleh efek pass-through harga selama periode Lebaran, terutama di tengah depresiasi nilai tukar rupiah.
Kenaikan paling mencolok terjadi pada sektor perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga yang naik 1,60 persen secara tahunan, setelah sebelumnya mencatat deflasi 4,68 persen pada Maret. Ini terjadi seiring berakhirnya diskon 50 persen tarif listrik yang diberlakukan pada awal tahun. Sektor makanan, minuman, dan kesehatan juga mengalami kenaikan, meskipun lebih moderat. Sebaliknya, sektor transportasi dan komunikasi justru mengalami deflasi, masing-masing sebesar -0,11 persen dan -0,64 persen secara tahunan.
Inflasi inti juga menunjukkan peningkatan signifikan, mencapai 2,50 persen—puncak tertinggi dalam 22 bulan terakhir. Kenaikan ini mencerminkan tekanan harga yang lebih dalam, kemungkinan besar berasal dari biaya impor yang lebih tinggi akibat pelemahan rupiah, meskipun permintaan domestik belum menunjukkan penguatan berarti. Hal ini menjadi sinyal bahwa pelaku usaha mulai meneruskan kenaikan biaya operasional kepada konsumen, tren yang perlu diawasi di tengah ketidakstabilan nilai tukar dan pasokan global.
Meski begitu, tekanan inflasi secara keseluruhan masih diperkirakan tetap dalam kisaran target Bank Indonesia, yaitu 1,5–3,5 persen. Bank sentral kemungkinan akan tetap bersikap hati-hati dalam menentukan kebijakan suku bunga, dengan fokus pada stabilitas nilai tukar dan pengendalian ekspektasi inflasi. Ketidakpastian global dari sisi geopolitik maupun perdagangan masih menjadi faktor risiko tambahan dalam menentukan arah kebijakan ke depan.
Namun, risiko depresiasi rupiah yang berkelanjutan membuat suku bunga mungkin tetap tinggi dalam waktu yang lebih lama. Selain itu, inflasi yang masih dapat dikendalikan juga berpotensi menahan pemulihan permintaan domestik. SSI sendiri menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 dari 4,97 persen menjadi 4,8 persen, mencerminkan prospek ekonomi yang optimistis namun tetap berhati-hati.
Dalam rincian pengeluaran, kategori makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar inflasi April (0,64 poin), diikuti oleh jasa perawatan pribadi (0,62 poin), dan perumahan-listrik (0,25 poin). Kenaikan harga terbesar tercatat pada jasa perawatan pribadi yang melonjak hampir 10 persen (9,93% YoY), menjadi indikasi lonjakan biaya layanan.
🔍 Implikasi Saham:
🔍 Implikasi Saham:
Lonjakan inflasi pada April 2025 memberikan tekanan signifikan terhadap beberapa sektor industri di pasar saham Indonesia. Sektor konsumer, properti, ritel, dan manufaktur menjadi kelompok yang paling terdampak secara negatif. Harga-harga yang meningkat membuat margin keuntungan sektor konsumer tergerus, sementara permintaan masyarakat melemah akibat daya beli yang menurun. Di sektor properti, beban operasional meningkat karena naiknya tarif listrik dan bunga kredit yang tinggi, membuat sektor ini semakin tidak atraktif dalam jangka pendek.
Sektor ritel juga ikut tertekan karena konsumen semakin sensitif terhadap harga, memaksa pelaku usaha untuk menahan kenaikan harga jual agar tidak kehilangan permintaan. Sementara itu, manufaktur yang bergantung pada bahan impor mengalami tekanan biaya, terutama karena depresiasi rupiah membuat bahan baku lebih mahal, dan akhirnya menurunkan profitabilitas.
Namun di tengah tekanan tersebut, beberapa sektor justru menunjukkan daya tahan yang relatif kuat. Sektor komoditas, seperti energi dan CPO (Crude Palm Oil), tetap mendapat dukungan dari harga jual global yang tinggi, sehingga berpotensi menjadi lindung nilai alami terhadap inflasi. Sektor telekomunikasi juga menunjukkan ketahanan karena adanya deflasi harga layanan dan permintaan yang relatif stabil, menjadikannya pilihan defensif bagi investor.
Sementara itu, bank-bank besar tetap menarik, karena mampu mempertahankan net interest margin (NIM) mereka di tengah suku bunga tinggi. Selain itu, kemampuan mereka dalam menyeleksi pemberian kredit secara selektif membantu menjaga kualitas aset tetap sehat.
Secara keseluruhan, situasi inflasi saat ini menuntut investor untuk bersikap selektif dan strategis dalam mengelola portofolio, dengan mempertimbangkan sektor yang mampu bertahan di tengah tekanan harga dan nilai tukar yang fluktuatif.(*)