Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

USD Terancam? ini Jawaban Mengejutkan dari Ekonom RI

Di tengah gejolak global dan ekspansi China, Muhammad Syarkawi Rauf tegaskan dominasi USD belum akan tergeser dalam waktu dekat.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 02 May 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Syahrianto
USD Terancam? ini Jawaban Mengejutkan dari Ekonom RI Pegawai menghitung uang dolar AS (USD) saat melayani pengunjung yang menukarkan mata uang di La Tunrung Money Changer, Juanda, Selasa, 11 Maret 2025. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Kebijakan tarif kontroversial yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu polemik global. Di tengah ketegangan perdagangan yang membayangi relasi AS–China, sorotan kini tertuju pada kekuatan dolar Amerika Serikat (USD) sebagai mata uang utama dunia. Bahkan, muncul spekulasi bahwa mata uang China, Renminbi (RMB), memiliki peluang untuk menggantikan dominasi dolar.

Ketegangan yang meningkat akibat kebijakan tersebut disebut-sebut memperbesar ketidakpastian, mendorong pelemahan nilai tukar dolar dan menekan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Ketidakstabilan ini membuka ruang bagi berbagai spekulasi tentang kemungkinan bergesernya kekuatan finansial global ke arah timur.

Namun, Muhammad Syarkawi Rauf, ekonom dan mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) periode 2015–2018, menilai kekhawatiran tersebut terlalu dini. Ia menjelaskan bahwa meskipun indeks dolar AS sempat turun, dominasi USD sebagai mata uang utama global masih sangat kuat.

“Penurunan indeks nilai tukar dolar ini lebih disebabkan oleh faktor politik internal AS, bukan karena ada mata uang lain yang siap menggantikan posisinya,” kata Syarkawi melalui pesan tertulis pada Jumat, 2 Mei 2025. 

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa status dolar sebagai safe haven asset belum sepenuhnya goyah. Menurutnya, di tengah ketidakpastian global, investor tetap mengandalkan USD karena likuiditas tinggi dan jangkauan luasnya dalam sistem keuangan internasional. 

“Pada akhirnya, investor global lebih cenderung memilih dolar AS saat terjadi ketidakpastian ekonomi karena likuiditasnya yang tinggi dan jangkauannya yang luas. Meskipun ada penurunan sementara, saya rasa ini hanya sebuah gejolak yang sementara,” ucap dia. 

Terkait munculnya RMB sebagai alternatif USD, Syarkawi mengakui bahwa China memang mencatatkan pertumbuhan peran dalam perdagangan internasional. Namun, ia menggarisbawahi bahwa sistem ekonomi dan politik China masih menjadi penghalang utama. 

“Meskipun China telah menunjukkan peningkatan dalam perdagangan internasional, RMB belum dapat menggantikan peran dollar AS karena kebijakan pengendalian lalu lintas devisa yang ketat dan kebijakan nilai tukar tetap. Selama ini, China tidak cukup fleksibel dalam hal aliran modal dan sistem nilai tukar mereka,” ujarnya. 

Menurut Syarkawi, tanpa liberalisasi arus modal dan reformasi sistem nilai tukar, sangat sulit bagi RMB untuk diadopsi secara global sebagai pengganti dolar. Ia juga menyoroti aspek kelembagaan dan kepercayaan internasional sebagai hambatan serius.

“Institusi politik China juga sangat eksklusif, yang membuat banyak negara enggan untuk sepenuhnya bergantung pada RMB. Untuk menjadi mata uang global utama, China perlu melakukan reformasi besar dalam sistem politik dan ekonominya,” katanya.

Walau demikian, ia tak menutup kemungkinan bahwa China bisa meningkatkan porsi penggunaan RMB dalam transaksi perdagangan lintas negara. Tapi ia menegaskan, peran itu masih akan terbatas tanpa adanya kebijakan moneter dan devisa yang lebih terbuka.

“China bisa memaksimalkan penggunaan RMB dalam perdagangan internasional, terutama dengan negara-negara mitranya. Namun, ini memerlukan kebijakan yang lebih fleksibel dari People’s Bank of China (POBC) terkait sistem devisa dan nilai tukar,” paparnya.

Namun di sisi lain, reformasi tersebut tidaklah mudah bagi pemerintah China. Perubahan arah kebijakan ekonomi bisa berisiko terhadap kontrol negara atas sektor keuangan domestik.

“China harus memikirkan dampak jangka panjang dari perubahan kebijakan ini. Meskipun ada potensi besar, langkah-langkah ini bisa menjadi tantangan yang besar bagi pemerintah China,” tambahnya.

Secara keseluruhan, Syarkawi menyimpulkan bahwa kemungkinan tergesernya dolar oleh RMB masih sangat kecil dalam waktu dekat. Dolar AS, katanya, akan tetap menjadi mata uang dominan secara global, setidaknya dalam jangka menengah hingga panjang.

“Dolar AS tetap menjadi pilihan utama bagi investor global yang mencari keamanan dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi,” tegasnya.

Sebagai tambahan, berdasarkan data Bank Indonesia per 2 Mei 2025, nilai tukar 1 USD terhadap RMB berada di kisaran 7,271, sementara terhadap Rupiah Indonesia (IDR), 1 USD diperdagangkan sekitar Rp16.472.

Dominasi USD Bukan Sekadar Ekonomi, tapi Struktur Global

Di sisi lain, dominasi dolar AS juga tetap diperkuat oleh sistem keuangan global yang masih sangat bergantung pada peran institusi-institusi Amerika, seperti The Federal Reserve dan jaringan perbankan internasional berbasis SWIFT. Selain itu, lebih dari 60 persen cadangan devisa bank sentral di dunia masih disimpan dalam bentuk USD. Dengan fakta ini, transisi ke mata uang lain sebagai pengganti dolar tidak hanya memerlukan perubahan kebijakan domestik suatu negara, tetapi juga restrukturisasi tatanan moneter global yang sudah mengakar sejak era Bretton Woods.

Posisi USD juga didukung oleh sistem pembayaran global yang sangat terintegrasi dengan infrastruktur keuangan berbasis dolar. Transaksi perdagangan lintas negara, pembayaran utang internasional, hingga harga komoditas global seperti minyak dan emas sebagian besar masih menggunakan denominasi dolar. Selama belum ada alternatif yang mampu menyaingi skala, stabilitas, dan penerimaan global seperti USD, maka peran dominannya sulit untuk ditandingi. (*)