KABARBURSA.COM - Puluhan organisasi yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia bersama Serikat Pekerja Domestik dan Pekerja Rumah Tangga menggelar aksi damai di depan Gedung DPR RI untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Aksi tersebut mengusung tema “Tolak Solusi Palsu Pemerintah, Wujudkan Kesejahteraan Nyata untuk Buruh, Perempuan, dan Rakyat.”
Aksi unjuk rasa hari ini menyoroti kinerja pemerintah dalam mengatasi krisis ketenagakerjaan serta menuntut perlindungan hak-hak masyarakat kecil, khususnya buruh perempuan.
Pertama, mereka mendesak pemerintah menghentikan kebijakan yang dinilai menyesatkan dan hanya berpihak pada keuntungan semata. Massa meminta agar kebijakan difokuskan pada kesejahteraan buruh, perempuan, dan rakyat melalui keadilan ekonomi berbasis kehidupan.
Kedua, peserta aksi menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Mereka menuntut jaminan perlindungan bagi pekerja dan keluarganya dari dampak PHK yang semakin meluas.
Ketiga, massa mendesak adanya perlindungan sosial bagi pekerja di sektor perawatan. Pemerintah diminta menyediakan fasilitas penitipan anak (daycare) yang berkualitas dan terjangkau, serta subsidi bagi pekerja domestik.
Keempat, mereka mendesak implementasi jaminan sosial yang bersifat universal dan bebas diskriminasi, baik dari sisi status kerja maupun gender.
Kelima, massa mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 190 yang mengatur penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, sekaligus memberikan perlindungan bagi pekerja informal, digital, migran, dan kelompok rentan lainnya.
Keenam, peserta aksi menolak RKUHAP dan RUU Polri serta mendesak pencabutan UU TNI, karena dinilai membuka ruang represi terhadap warga sipil.
Ketujuh, massa menuntut pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) serta mendorong keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Berdasarkan pantauan KabarBursa.com, mayoritas peserta aksi terlihat mengenakan kaus berwarna merah serta membawa sejumlah poster berisi tuntutan mereka.
Selain membawa poster, perwakilan massa turut membawa perlengkapan rumah tangga seperti panci dan wajan sebagai simbol perjuangan. Alat-alat masak itu kemudian dipukul secara bergantian sebagai bentuk protes.
Dalam aksinya, mereka mendesak percepatan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) serta penegakan hak-hak dasar bagi pekerja domestik.
Pentingnya pengesahan RUU PPRT tak bisa dilepaskan dari besarnya jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia yang hingga kini belum mendapatkan perlindungan hukum memadai. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO), terdapat lebih dari 4 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, mayoritas perempuan, yang bekerja tanpa kontrak formal, tanpa upah layak, dan kerap menjadi korban eksploitasi.
Dalam laporan ILO tahun 2022, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pekerja rumah tangga terbanyak di Asia Tenggara, namun regulasi perlindungannya masih tertinggal. Banyak dari mereka tidak hanya bekerja tanpa batas waktu, tapi juga menghadapi risiko kekerasan, diskriminasi, dan beban kerja yang tidak manusiawi.
Dengan belum disahkannya RUU PPRT, para pekerja ini tetap berada dalam “zona abu-abu” ketenagakerjaan—dianggap bekerja, tapi tidak diakui secara formal. Situasi ini membuat mereka tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial, hak cuti, bahkan perlindungan hukum bila terjadi pelanggaran. Oleh karena itu, desakan untuk segera mengesahkan RUU PPRT menjadi semakin mendesak di tengah gelombang PHK dan ketidakpastian ekonomi nasional.
Selain itu, massa juga menuntut perlindungan buruh dari gelombang PHK massal, jaminan bagi tenaga perawat, pemberian subsidi sosial bagi pekerja domestik, dan kebijakan perlindungan yang inklusif tanpa diskriminasi berdasarkan status kerja.
Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam beberapa tahun terakhir menjadi sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih timpang dan tidak inklusif. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti bahwa ketidakseimbangan dalam struktur ekonomi telah berdampak pada sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik.
"Sektor-sektor seperti UMKM dan pariwisata mengalami tekanan akibat daya beli masyarakat yang melemah," kata Achmad kepada KabarBursa.com.
Menurutnya, inflasi harga pangan dan energi yang melonjak pada 2023-2024 memperburuk beban rumah tangga. Meskipun inflasi mulai terkendali, upah riil pekerja tidak mengalami kenaikan signifikan, sehingga konsumsi rumah tangga tetap lesu.
Lebih lanjut, Achmad menjelaskan bahwa ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi menjadi faktor utama mengapa pemulihan tidak merata.
"Pertumbuhan yang digerakkan oleh ekspor komoditas dan industri padat modal tidak menyentuh sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi, bukan menciptakan lapangan kerja baru," jelasnya.
Dampaknya, angka pengangguran terbuka (TPT) tetap tinggi, terutama di kalangan pemuda dan lulusan baru. "Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, banyak perusahaan justru melakukan efisiensi melalui otomatisasi," tambahnya
"PHK di sektor formal juga mendorong pergeseran ke sektor informal, yang umumnya menawarkan upah rendah dan tidak ada jaminan sosial," lanjutnya.
Di sisi lain, Achmad mengapresiasi langkah pemerintah dalam menjaga surplus neraca dagang melalui diversifikasi pasar ekspor dan insentif bagi industri nonmigas. Namun, ia mengingatkan bahwa fokus berlebihan pada pertumbuhan ekspor tanpa memperkuat ekonomi domestik dapat memperlebar ketimpangan.
"Program seperti hilirisasi mineral memang strategis, tetapi implementasinya perlu dipercepat agar nilai tambah benar-benar dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya korporasi besar," ujar Achmad.
Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan daya beli, seperti bantuan sosial dan subsidi energi, dinilai masih bersifat sementara. Jika tidak disertai dengan perbaikan sistemik, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran tenaga kerja murah dan ekspor bahan mentah.
"Pemerintah perlu merancang strategi industri yang memprioritaskan sektor padat karya berbasis teknologi agar ekspansi manufaktur bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja," katanya.(*)