Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Hal-hal Penting soal Industri Batu Bara AS di Era Trump

Trump kembali beri napas panjang bagi industri batu bara AS, mulai dari pembukaan tambang federal hingga penundaan aturan emisi, memicu pro-kontra di era transisi energi hijau.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 02 May 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Hal-hal Penting soal Industri Batu Bara AS di Era Trump Trump beri kelonggaran besar untuk industri batu bara AS, dari izin tambang baru, penundaan aturan emisi, hingga pemangkasan kantor keselamatan tambang. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM — Di tengah sorotan dunia soal transisi energi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump malah bikin gebrakan kontroversial. Bulan lalu, Trump mengeluarkan serangkaian perintah eksekutif yang ditujukan untuk menyelamatkan industri batu bara AS yang makin megap-megap.

Bayangkan saja, tambang di lahan federal yang sebelumnya dilarang, kini boleh dibuka lagi. Tak cuma itu, beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara tua yang mestinya pensiun juga dikasih izin darurat untuk terus beroperasi. Alasannya karena permintaan listrik melonjak karena ledakan pusat data, kecerdasan buatan (AI), dan mobil listrik.

Tak berhenti di situ, Trump juga memberi pengecualian dua tahun untuk hampir 70 pembangkit listrik batu bara lawas agar mereka tak perlu patuh pada aturan pengurangan emisi bahan kimia beracun. Ini semacam “penunda napas” buat mereka, meski jelas bikin para pegiat lingkungan geleng-geleng kepala.

Yang menarik, tim efisiensi pemerintahan Trump yang diketuai Elon Musk, pada awal tahun ini juga merancang rencana menutup 34 kantor Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Tambang AS (MSHA) di 19 negara bagian. Langkah ini dianggap sebagai bagian dari upaya “perampingan birokrasi,” walau di lapangan, para pekerja tambang mungkin waswas soal keselamatan kerja mereka.

Kalau kita mundur sedikit, industri batu bara AS dulu sempat jadi raja. Pada puncaknya di era 1920-an, ada sekitar 900 ribu penambang yang bekerja di seluruh negeri. Tahun 1950, jumlahnya turun jadi 350 ribu, dan terus merosot sejak 1980-an.

Data dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA) mencatat, produksi batu bara mencapai 1 miliar ton pada 2014, tapi amblas ke 578 juta ton pada 2023. Penyebab itu semua adalah karena adanya transisi. Perusahaan listrik ramai-ramai beralih ke energi terbarukan dan gas alam yang lebih murah serta ramah lingkungan.

Meski begitu, ada sedikit rebound setelah pandemi. Dilansir dari AP di Jakarta, Jumat, 2 Mei 2025, jumlah pekerja batu bara naik 4,2 persen dari 2022 ke 2023, menjadi 45.476 orang. Negara bagian dengan jumlah penambang terbanyak adalah West Virginia (14 ribu), diikuti Kentucky (5 ribu). Uniknya, meski Wyoming hanya punya 15 tambang, produksinya paling tinggi berkat mekanisasi dan akses tambang yang lebih mudah.

Kabar baiknya, angka kematian di tambang dalam empat dekade terakhir turun drastis. Dalam lima tahun terakhir, catatan MSHA menunjukkan jumlah kematian akibat kecelakaan tambang selalu 11 orang atau kurang setiap tahun.

Jadi, ketika Trump memberi “napas tambahan” buat industri ini, yang muncul bukan hanya harapan bagi sebagian komunitas tambang, tapi juga kekhawatiran soal dampak lingkungan dan kesehatan kerja. Di era ketika dunia berlomba menuju energi hijau, AS justru memilih menengok ke belakang.

Target Pemangkasan MSHA


MSHA adalah lembaga yang bertanggung jawab menegakkan hukum keselamatan tambang di Amerika Serikat. Mereka wajib memeriksa setiap tambang bawah tanah setiap kuartal dan tambang terbuka dua kali setahun. Nah, pemangkasan yang diusulkan oleh tim yang disebut Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) milik Elon Musk bisa bikin para inspektur MSHA harus bepergian lebih jauh untuk mencapai tambang.

Menurut Jack Spadaro, penyelidik keselamatan tambang sekaligus spesialis lingkungan yang sudah lama bekerja di lembaga itu, jarak perjalanan yang makin jauh ini bisa berujung pada pemeriksaan yang kurang menyeluruh.

Menurut situs web resmi DOGE, menghentikan sewa kantor MSHA diproyeksikan menghemat USD18 juta. Tapi, belum jelas apakah posisi para inspektur dan staf lainnya akan dipindahkan ke fasilitas lain. Dari tujuh kantor MSHA yang bakal ditutup, tujuh ada di Kentucky, empat di Pennsylvania, dan dua di West Virginia.

Ada juga wacana menutup kantor Office of Surface Mining Reclamation and Enforcement di Lexington, Kentucky, dan Tulsa, Oklahoma. Padahal, lembaga ini dulunya dibentuk era Presiden Jimmy Carter untuk memulihkan lahan bekas tambang yang rusak.

Sebuah tinjauan terbaru dari Appalachian Citizens’ Law Center menyebut, dari awal 2024 sampai Februari 2025 saja, staf MSHA di fasilitas yang masuk daftar pemangkasan sudah melakukan hampir 17.000 inspeksi keselamatan dan kesehatan kerja.

Untuk Apa Lagi Batu Bara?


Para pendukung industri batu bara sudah lama berargumen bahwa batu bara tak cuma buat pembangkit listrik. Ada teknologi baru yang memungkinkan pemanfaatan lebih bersih. Misalnya, Core Natural Resources yang berbasis di Canonsburg, Pennsylvania, sedang mengembangkan proses untuk mengubah batu bara asal West Virginia menjadi bahan sintetis yang bisa dipakai sebagai anoda baterai lithium-ion. Kata Direktur Urusan Pemerintahan Core, Matthew Mackowiak, ini bisa membantu Amerika Serikat mengurangi ketergantungan pada negara seperti China.

Core juga baru saja mengakuisisi perusahaan yang mengubah batu bara jadi busa karbon yang kemudian dipakai untuk membuat cetakan komposit—misalnya, buat bikin hidung roket dan sayap pesawat untuk industri pertahanan AS.

“Apakah nanti masih ada pembangkit listrik berbasis batu bara di masa depan? Ya, itu soal lain yang bisa didiskusikan nanti,” ujar Mackowiak. “Tapi setidaknya, untuk sekarang, kita harus fokus mempertahankan armada pembangkit batu bara yang sudah ada.”

Dampak Napas Tambahan Batu Bara AS bagi Investor Indonesia

Gebrakan Donald Trump di industri batu bara memunculkan kekhawatiran di pasar global, khususnya bagi Indonesia. Dampaknya tak berhenti di dalam negeri mereka saja, tetapi bisa menjalar alias spillover ke pasar modal dan sektor komoditas Indonesia.

Pertama, mari lihat dari sisi sentimen global. Saat AS memutuskan memberi “napas tambahan” ke sektor batu bara, termasuk izin untuk pembangkit tua terus beroperasi, pasar energi global langsung bergerak. Harga batu bara global bisa terdongkrak karena ekspektasi kenaikan permintaan domestik AS. Artinya, eksportir batu bara Indonesia, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) atau PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), bisa ikut menikmati berkah harga yang lebih baik di pasar internasional.

Tapi jangan buru-buru senang dulu. Kalau kebijakan Trump memicu over-supply di pasar energi, atau kalau AS malah mendorong pengembangan teknologi baru seperti batu bara untuk baterai lithium, persaingan global bisa makin sengit. Investor perlu memantau risiko ini, terutama buat emiten yang sangat bergantung pada pasar ekspor batu bara konvensional.

Kedua, dari sisi iklim investasi, langkah Trump yang menantang tren transisi energi global bisa menciptakan polarisasi. Investor institusi yang mengusung prinsip ESG (environmental, social, governance) makin selektif memilih portofolio. Indonesia, sebagai salah satu eksportir komoditas besar, harus pandai-pandai membaca arah angin, apakah permintaan energi kotor ini akan bertahan lama atau justru sekadar perlawanan sesaat sebelum tren hijau makin kuat?

Ketiga, investor juga perlu mengantisipasi spillover ke pasar keuangan. Kalau ketegangan dagang atau kebijakan energi Trump memicu kekhawatiran geopolitik, bisa saja ada arus modal keluar dari pasar negara berkembang termasuk Indonesia menuju aset-aset aman seperti dolar AS atau emas. Kita sudah pernah melihat skenario serupa saat perang tarif AS–China, jadi waspada tetap perlu.

Singkatnya, investor Indonesia jangan cuma terpaku pada berita dalam negeri. Perubahan arah kebijakan energi di negara sebesar AS bisa menciptakan gelombang yang sampai ke Jakarta, entah dalam bentuk peluang, risiko, atau keduanya. Kuncinya adalah jeli memantau, sabar membaca pola, dan jangan gegabah bikin keputusan investasi hanya karena satu-dua headline internasional.(*)