Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Hari Buruh, Daftar Emiten yang Paling Sering Didemo Pekerja

Beberapa emiten besar di bursa, mulai Unilever, Sritex, Semen Indonesia, Bata, hingga Krakatau Steel, tercatat sering jadi sasaran demo pekerja karena isu PHK, status kerja, hingga hak pensiun.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 01 May 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Hari Buruh, Daftar Emiten yang Paling Sering Didemo Pekerja Di Hari Buruh ini, ada emiten yang paling sering didemo pekerja: Unilever, Sritex, SMGR, Bata, Krakatau Steel. Isu demo buruh berdampak pada saham dan kinerja mereka di bursa.

KABARBURSA.COM – Hari Buruh alias May Day selalu jadi momentum panas buat menyoroti hubungan pekerja dan perusahaan. Di Indonesia, Hari Buruh selalu diramaikan oleh demonstrasi di jalan, spanduk tuntutan, dan orasi lantang para buruh.

Namun, di balik teriakan itu, ternyata ada emiten-emiten besar di bursa yang paling sering jadi sasaran demo buruh. Bukan cuma sekali dua kali, beberapa dari mereka bahkan langganan didemo gara-gara PHK massal, diskriminasi, sampai masalah gaji. Nah, berikut ini daftar dan ceritanya satu-satu yang dirangkum KabarBursa dari berbagai sumber.


1. PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)


Unilever Indonesia, salah satu pemain terbesar di sektor barang konsumsi, kena gelombang protes buruh di pabriknya di kawasan Rungkut, Surabaya, pada 30 Maret 2022. Ratusan buruh beraksi di depan pabrik dan menuntut kejelasan soal PHK yang dinilai sepihak.

Kepala Pabrik Rungkut, Endri Suprianto, bilang kalau transformasi bisnis jadi alasan utama. Perusahaan katanya sudah mencoba semua alternatif sebelum PHK, termasuk evaluasi objektif. Buat pekerja terdampak, mereka janji kasih pesangon di atas standar, insentif, plus pelatihan biar tetap produktif.

Masalahnya, buruh menilai komunikasi perusahaan tidak transparan, meskipun Endri ngotot semua sudah lewat forum bipartit dan townhall. Demo akhirnya bubar, tapi panasnya isu tak hilang begitu saja.

Kendati begitu, di bursa saham, UNVR menunjukkan performa yang cukup memikat. Dalam satu bulan terakhir, menurut data Stockbit, harga sahamnya naik 45,34 persen menjadi Rp1.715 per saham. Dari sisi kinerja, laba bersih Unilever pada tahun 2024 tercatat sebesar Rp3,36 triliun, sementara di tahun berjalan 2025 (baru kuartal pertama) sudah mencapai Rp1,24 triliun. Angka ini menunjukkan Unilever masih berada di jalur positif, meskipun diterpa isu ketenagakerjaan di lapangan.

2. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex


Siapa yang tak kenal Sritex? Raksasa tekstil dari Solo ini sering bikin heboh karena PHK massal ribuan pekerja. Pada 5 Maret 2025, Partai Buruh dan KSPI memimpin demo besar di berbagai kota, termasuk di depan Istana Negara, Jakarta, dan di Semarang.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menuding proses pailit Sritex sebagai alasan PHK ilegal yang melanggar UU Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi. Buruh Sritex katanya tak diberi kesempatan perundingan bipartit atau tripartit, bahkan diminta mendaftarkan PHK secara individual.

Said bilang ini dugaan intimidasi serius. Negara dinilai absen, Menteri Ketenagakerjaan pun dianggap cuma lip service. Demo ini jadi salah satu yang terbesar di awal 2025 dan tekanan publiknya begitu kuat hingga mengundang reaksi Presiden Prabowo Subianto.

Tidak tinggal diam, Prabowo memanggil tim kurator Sritex, perwakilan pekerja, dan jajaran kementerian ke Istana Negara untuk mencari jalan keluar. Fokus utamanya jelas: bagaimana menyelamatkan nasib ribuan buruh yang kehilangan pekerjaan setelah perusahaan tekstil raksasa ini diputus pailit oleh pengadilan.

Dalam rapat tersebut, Presiden Prabowo disebut berkali-kali meminta agar semua pihak memikirkan solusi konkret yang bisa memberi kejelasan bagi para pekerja. Salah satu opsi yang muncul adalah skema penyewaan peralatan produksi Sritex kepada investor baru, agar mesin-mesin pabrik tetap beroperasi dan nilainya tidak menyusut. Lebih penting lagi, skema ini membuka peluang agar sebagian mantan karyawan bisa direkrut kembali oleh penyewa baru, meskipun sifatnya masih sementara.

Tim kurator Sritex saat itu menjelaskan dalam dua minggu ke depan, mereka akan memutuskan siapa investor yang berhak menyewa aset-aset tersebut. Investor inilah yang nantinya akan menyerap sebagian tenaga kerja terdampak, sembari menunggu proses lelang aset yang akan menentukan kepemilikan baru perusahaan. Meski belum ada angka pasti berapa jumlah pekerja yang akan terserap, harapan mulai tumbuh di kalangan buruh.

Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group bahkan langsung menyampaikan kabar ini kepada para buruh yang sudah lama menanti kepastian. Harapannya jelas: agar mereka bisa kembali bekerja, menjalankan keterampilan yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. Pemerintah pun berharap agar setidaknya delapan ribu karyawan lama dapat kembali direkrut, tetap di bidang tekstil, menjaga roh Sritex yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung industri sandang nasional.

Di bursa saham, kondisi SRIL memang sedang berat. Data yang dilihat di Stockbit menunjukkan sahamnya kini disuspensi di level Rp146 per saham. Dari sisi kinerja, sepanjang 2024 perusahaan ini mencatatkan rugi bersih hingga Rp1,39 triliun, melanjutkan tren rugi tahun-tahun sebelumnya. Pada 2025, SRIL bahkan merugi Rp5,88 triliun. Angka ini memperlihatkan bahwa selain gejolak demo buruh, SRIL juga tengah menghadapi tantangan finansial serius yang membuat posisinya di pasar modal semakin rapuh.

3. PT Semen Indonesia Tbk (SMGR)


PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) adalah pemain utama di industri semen nasional. Sebagai BUMN, perusahaan ini memegang peran penting dalam pembangunan infrastruktur negeri — mulai dari jalan tol, gedung, hingga pelabuhan. Namun, di balik perannya sebagai tulang punggung konstruksi nasional, SIG juga pernah diterpa gejolak di internalnya.

Pada 8 Agustus 2024, ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Tuban menggeruduk pabrik SIG di Tuban. Aksi ini dipicu oleh perubahan status kerja 290 buruh yang sebelumnya berstatus PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), tapi kemudian diturunkan menjadi pekerja harian lepas. Padahal, sebagian besar dari mereka sudah bekerja selama 15 tahun.

Ketua Konsulat Cabang FSPMI Tuban, Duraji, menyebut para buruh merasa penghasilan mereka makin merosot karena kini digaji di bawah upah minimum kabupaten. Selain soal status kerja, mereka juga memprotes term of reference (TOR) yang dianggap merampas hak dan kesejahteraan buruh. Sayangnya, manajemen SIG tidak turun langsung menemui massa aksi. Senior Manager Corporate Communication SMGR hanya menyampaikan bahwa masalah ini sebenarnya adalah tanggung jawab vendor penyedia tenaga kerja.

Situasi memanas, buruh sempat memblokade gerbang pabrik dan mengancam akan menutup jalur Pantura jika tuntutan mereka tidak direspons dengan serius. Demo ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan bentuk protes yang mengguncang rantai distribusi dan mengingatkan publik bahwa sektor padat karya selalu menyimpan potensi konflik ketenagakerjaan yang bisa berdampak luas.

Di bursa saham, SMGR mencatatkan kenaikan harga yang cukup solid, naik 15,49 persen dalam sebulan terakhir ke level Rp2.610 per saham. Meski demikian, dari sisi laba bersih terlihat adanya penurunan signifikan. Pada 2024, laba tahunan SMGR hanya sebesar Rp720 miliar, jauh lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Adapun pada 2025 kuartal pertama baru tercatat Rp43 miliar. Angka ini memperlihatkan tantangan yang dihadapi emiten pelat merah ini di mana mereka harus menjaga stabilitas bisnis di tengah tekanan pasar dan isu ketenagakerjaan.

4. PT Sepatu Bata Tbk (BATA)


PT Sepatu Bata Tbk (BATA) sudah lama dikenal sebagai pemain utama di industri alas kaki nasional. Perusahaan ini sudah berdiri sejak 1994 dan dikenal sebagai produsen sepatu legendaris yang merambah pasar menengah dengan jaringan ritel di berbagai kota. Namun, di balik nama besar dan popularitas mereknya, Bata juga menyimpan catatan panjang soal gejolak ketenagakerjaan.

Mungkin agak lawas, tapi demo buruh di PT Sepatu Bata Tbk ini legendaris. Pada Oktober–November 2012, aksi demo buruh memaksa pabrik berhenti total. Akses keluar masuk dipalang, pengiriman barang terhenti. Produksi akhirnya dihentikan hingga 16 November 2012 karena situasi dianggap force majeure.

Selain insiden demo besar itu, Bata juga mencatat gelombang pemutusan hubungan kerja massal pada masa pandemi COVID-19 dan di tahun-tahun berikutnya. Ratusan karyawan yang sudah lama mengabdi harus meninggalkan perusahaan, sebagian menerima pesangon sesuai aturan, sementara yang lain berjuang mencari penghidupan baru. Mantan buruh bahkan menyebut, separuh hidup mereka telah dihabiskan di lantai pabrik Bata. Walhasil, pemutusan hubungan kerja bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan identitas diri.

Eks Direktur Bata, Ricardo Lumalessil, ketika itu bilang mereka sebenarnya lagi bernegosiasi sama serikat pekerja buat cari jalan keluar. Tapi realitanya, ribuan buruh yang terkena PHK malah bingung cari kerja baru. Anjar Fajrian, mantan leader injection plastic, cerita dia harus melamar ke pabrik-pabrik lain, sementara pesangon rata-rata Rp100 juta baru cair setelah proses panjang.

Isu-isu seperti ini mengingatkan publik bahwa di sektor manufaktur padat karya, relasi industrial bukan cuma soal angka-angka di laporan tahunan, melainkan soal keberlanjutan kehidupan ribuan keluarga yang menggantungkan harapan pada roda produksi.

Di bursa saham, BATA tengah berada di posisi sulit. Sahamnya kini mentok di harga Rp50 per saham. Dari sisi kinerja, BATA mencatat rugi bersih tahunan sebesar Rp106 miliar pada 2022, membengkak jadi Rp190 miliar pada 2023, dan makin parah di 2024 dengan rugi mencapai Rp173 miliar hanya dari laporan tahunan, bahkan tercatat rugi Rp239 miliar untuk total trailing twelve months (TTM). Angka-angka ini menunjukkan bahwa selain isu demo buruh dan PHK massal, emiten ini juga berjuang keras bertahan menghadapi pukulan bisnis yang panjang.


5. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS)


PT Krakatau Steel, salah satu BUMN baja terbesar di negeri ini, dihantam demo besar pada 2 Juli 2019 di Cilegon. Ribuan buruh dari berbagai serikat di bawah Federasi Serikat Baja Cilegon (FSBC) turun ke jalan. Mereka protes rencana restrukturisasi dan PHK sepihak yang bakal bikin ribuan buruh kehilangan pekerjaan.

Koordinator aksi, Muhari Machdum, bilang sejak 1 Juni 2019 sudah ada 529 pekerja outsourcing yang dirumahkan. Masalahnya, proses itu sepihak, tak melibatkan serikat pekerja, bahkan tanpa kejelasan nasib bagi 2.600 pekerja outsourcing lainnya.

Tak cuma soal pekerja aktif, pensiunan Krakatau Steel juga ikut protes. Suparto, Ketua Perhimpunan Pensiunan KS, bilang ada sekitar 8.000 pensiunan yang haknya digantung sejak 2020, padahal laporan keuangan KS Group menunjukkan adanya laba. Mereka sudah lima kali demo beruntun sejak Desember 2023 dan ancam bakal demo tiap tahun kalau tak ada perubahan.

Di bursa saham, KRAS mencatat kenaikan harga signifikan, naik 31,07 persen dalam sebulan terakhir ke level Rp135 per saham. Namun, performa finansialnya menunjukkan tekanan berat. Setelah mencetak laba tipis Rp290 miliar pada 2022, Krakatau Steel berbalik merugi sebesar Rp1,98 triliun pada 2023, dan di 2024 kerugiannya membengkak hingga Rp3,91 triliun. Angka-angka ini menegaskan bahwa meskipun sahamnya sempat bangkit, emiten pelat merah ini masih harus berjuang keras memperbaiki kinerja fundamentalnya di tengah sorotan tajam publik dan tekanan internal.

Pada akhirnya, kisah-kisah demonstrasi para buruh di perusahaan-perusahaan besar ini bukan cuma catatan hitam dalam sejarah korporasi, melainkan potret nyata betapa rapuhnya jalinan antara pemodal dan pekerja.

Setiap teriakan di gerbang pabrik, setiap spanduk yang dikibarkan di jalan, bukan hanya soal angka gaji atau status kontrak, tetapi juga tentang harga diri, harapan, dan masa depan keluarga. Di momen Hari Buruh ini, lantai bursa mungkin tetap berdenyut, tetapi di sudut lain, ada ribuan tangan yang masih menggenggam janji-janji yang belum ditepati.(*)