Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Dedi Mulyadi Ubah Arah Inflasi Jawa Barat?

Mengulas dampak kebijakan ekonomi Dedi Mulyadi terhadap inflasi, fiskal daerah, dan keberlanjutan ekonomi Jawa Barat.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 30 April 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Syahrianto
Dedi Mulyadi Ubah Arah Inflasi Jawa Barat? Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. (Foto: Tangkapan Layar YouTube)

KABARBURSA.COM - Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang paling sensitif terhadap dinamika harga kebutuhan pokok dan daya beli masyarakat. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, Jawa Barat memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas harga di tingkat nasional. Perubahan kecil dalam inflasi di Jawa Barat dapat berdampak signifikan terhadap kesejahteraan jutaan warga dan iklim investasi di kawasan tersebut.​

Pada awal 2025, Jawa Barat memasuki babak baru kepemimpinan di bawah Gubernur Dedi Mulyadi. Dikenal dengan pendekatan populis dan kebijakan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat, Dedi Mulyadi menghadapi tantangan besar dalam mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas ekonomi daerah. 

Untuk memahami dinamika inflasi di Jawa Barat menjelang dan setelah pelantikan Gubernur Dedi Mulyadi pada Februari 2025, penting untuk meninjau data inflasi terkini. 

Pada Desember 2024, inflasi tahunan (year-on-year/yoy) Jawa Barat tercatat sebesar 1,64 persen, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) mencapai 107,33. Angka ini merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir, menunjukkan keberhasilan pengendalian harga menjelang akhir tahun.

Pada tahun 2020, inflasi di Jawa Barat tercatat sebesar 2,18 persen, yang merupakan dampak dari pandemi COVID-19 yang menekan permintaan dan aktivitas ekonomi . Tahun berikutnya, 2021, inflasi menurun menjadi 1,69 persen, mencerminkan pemulihan ekonomi yang masih lambat.

Namun, pada 2022, terjadi lonjakan inflasi hingga 6,04 persen, dipicu oleh kenaikan harga komoditas global dan gangguan rantai pasok. Tahun 2023 menunjukkan perbaikan dengan inflasi turun menjadi 2,48 persen, seiring dengan stabilisasi harga dan pemulihan ekonomi yang lebih kuat.

Tren inflasi di Jawa Barat selama lima tahun terakhir menunjukkan fluktuasi yang signifikan, dengan puncak pada 2022 dan penurunan drastis pada 2024. 

Namun, memasuki awal 2025, terjadi perubahan signifikan. Pada Februari 2025, Jawa Barat mengalami deflasi tahunan sebesar 0,27 persen, dengan IHK turun menjadi 105,95. Deflasi ini dipengaruhi oleh penurunan harga pada kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 11,44 persen, serta kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,30 persen.

Perubahan dari inflasi rendah ke deflasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan baru dalam menjaga stabilitas harga. Meskipun deflasi dapat meningkatkan daya beli masyarakat dalam jangka pendek, jika berlanjut, dapat menandakan penurunan permintaan dan aktivitas ekonomi yang melambat.​

Oleh karena itu, penting bagi Gubernur Dedi Mulyadi dan tim ekonominya untuk mengimplementasikan kebijakan yang dapat menstimulasi permintaan domestik dan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga. Langkah-langkah seperti peningkatan belanja infrastruktur, dukungan terhadap UMKM, dan program sosial yang tepat sasaran dapat menjadi strategi untuk mengatasi tantangan ini.

Kebijakan Ekonomi Dedi Mulyadi 

Sejak dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat pada Februari 2025, Dedi Mulyadi mengusung sejumlah kebijakan ekonomi yang diklaim berbasis efisiensi dan keberpihakan pada masyarakat. Ia menyebut telah melakukan efisiensi anggaran hingga Rp5,5 triliun dengan memangkas belanja yang dinilai tidak mendesak, seperti perjalanan dinas dan seminar, dan mengalihkan anggaran tersebut ke sektor prioritas. Anggaran pembangunan ruang kelas SMA melonjak dari Rp60 miliar menjadi Rp1,2 triliun, sementara dana untuk infrastruktur jalan ditingkatkan menjadi Rp2,4 triliun.

Kendati angka-angka tersebut terdengar impresif, arah kebijakan ini menuai kritik. Tidak sedikit yang menilai bahwa pendekatan Dedi terlalu mengandalkan langkah-langkah instan dan populis, tanpa kerangka makroekonomi jangka menengah yang kuat. Kebijakan pemutihan denda pajak kendaraan bermotor yang berlaku pada Maret hingga Juni 2025, misalnya, memang berhasil mendorong pendapatan pajak hingga Rp5,5 miliar dalam satu hari. Namun, tidak ada jaminan bahwa kepatuhan pajak masyarakat akan berlanjut setelah masa insentif selesai.

Kebijakan penertiban tempat wisata ilegal di Puncak, Bogor, juga memunculkan dilema. Meski secara administratif menunjukkan ketegasan, langkah ini dilakukan tanpa rencana pemulihan atau penataan destinasi wisata yang lebih sistematis. Akibatnya, kepastian hukum dan iklim investasi di sektor pariwisata justru bisa terganggu.

Rekam jejak Dedi Mulyadi sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode, dari 2008 hingga 2018, menunjukkan kecenderungan pola kebijakan yang serupa. Fokus utama diarahkan pada pembangunan infrastruktur fisik, terutama jalan-jalan desa dan lingkungan, yang memang berhasil memperbaiki konektivitas wilayah. Ia juga mencetuskan program “Beas Perelek” yang mengandung nilai solidaritas sosial dan kultural, namun tidak disertai dengan penguatan kapasitas ekonomi warga secara menyeluruh.

Selama kepemimpinannya, APBD Purwakarta lebih banyak dialokasikan untuk proyek infrastruktur dan program sosial berbasis budaya. Struktur ekonomi daerah tetap bertumpu pada industri pengolahan yang menyumbang lebih dari separuh PDRB, tanpa diversifikasi berarti. Memang benar bahwa inflasi Purwakarta menurun dari 6,76 persen pada 2012 menjadi 2,68 persen pada 2018, tetapi keberhasilan itu belum menunjukkan transformasi struktural yang kuat. Indikator-indikator kesejahteraan yang lebih dalam, seperti ketimpangan, produktivitas, dan lapangan kerja berkelanjutan, masih menjadi titik lemah dari pendekatan yang diambil.

Dari catatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi Dedi Mulyadi selama ini lebih menonjol pada aspek simbolik dan taktis, dibandingkan dengan reformasi fiskal yang bersifat jangka panjang dan menyeluruh. Efisiensi dan respons cepat memang penting, namun tanpa peta jalan pembangunan ekonomi yang terukur, capaian yang diraih berisiko tidak berkelanjutan.

Perbandingan dengan Kepemimpinan Sebelumnya 

Dalam upaya mengendalikan inflasi di Jawa Barat, pendekatan yang diambil oleh Gubernur Ridwan Kamil dan Gubernur Dedi Mulyadi menunjukkan perbedaan strategi yang mencerminkan prioritas dan respons terhadap kondisi ekonomi saat itu.​

Pada masa kepemimpinannya, Ridwan Kamil menghadapi tantangan inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2022. Sebagai respons, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp110 miliar untuk menekan dampak inflasi tersebut. Dana ini digunakan untuk membiayai transportasi distribusi bahan pangan, sehingga harga bahan pangan yang didatangkan dari wilayah lain tidak mengalami kenaikan signifikan. Selain itu, Pemprov Jabar memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp600.000 per penerima manfaat kepada masyarakat miskin yang tidak mendapatkan jatah dari program pemerintah pusat atau daerah. ​

Di samping itu, Ridwan Kamil juga mendorong kepala daerah di Jawa Barat untuk fokus mengendalikan inflasi dengan memanfaatkan Belanja Tidak Terduga (BTT) dan mengoptimalkan penggunaan produk lokal. Langkah ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.​

Kebijakan Ridwan Kamil lebih berfokus pada intervensi langsung melalui subsidi dan bantuan sosial untuk meredam dampak inflasi yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti kenaikan harga BBM.​

Selama masa kepemimpinan Ridwan Kamil (2018–2023), inflasi tahunan di Jawa Barat mengalami fluktuasi yang signifikan. Pada Desember 2020, inflasi tercatat sebesar 2,18 persen, menurun menjadi 1,69 persen pada 2021. Namun, pada 2022, inflasi melonjak tajam menjadi 6,04 persen akibat kenaikan harga BBM subsidi yang diumumkan pemerintah pusat pada September 2022. Kenaikan harga BBM ini berdampak langsung pada peningkatan biaya transportasi dan harga bahan pokok, sehingga mendorong inflasi ke level tertinggi dalam lima tahun terakhir. ​

Sebagai respons terhadap lonjakan inflasi tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil mengalokasikan dana sebesar Rp110 miliar dari APBD untuk menekan dampak inflasi. Dana ini digunakan untuk membiayai transportasi distribusi bahan pangan dan memberikan BLT kepada masyarakat miskin yang tidak mendapatkan jatah dari program pemerintah pusat atau daerah. ​

Analisis dari jurnal "welfare" menyebutkan bahwa kebijakan intervensi langsung seperti subsidi dan bantuan sosial dapat meredam dampak inflasi dalam jangka pendek, namun tidak cukup efektif untuk menekan inflasi secara struktural. Kebijakan semacam ini cenderung bersifat reaktif dan tidak menyentuh akar permasalahan inflasi, seperti ketergantungan pada energi fosil dan distribusi logistik yang tidak efisien. ​

Sebaliknya, pada awal masa jabatan Dedi Mulyadi, inflasi tahunan per Desember 2024 tercatat sebesar 1,64 persen, yang merupakan angka terendah dalam lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan struktural yang menekankan efisiensi anggaran dan alokasi ke sektor prioritas seperti ketahanan pangan dan kesejahteraan sosial dapat lebih efektif dalam menekan inflasi secara berkelanjutan.

Sementara itu, Dedi Mulyadi mengadopsi pendekatan struktural dengan mengefisiensikan anggaran dan mengalokasikannya ke sektor-sektor prioritas yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.​

Efektivitas kedua pendekatan ini dapat dilihat dari data inflasi dan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Pada Desember 2024, inflasi yoy di Jawa Barat tercatat sebesar 1,64 persen, yang merupakan angka terendah dalam lima tahun terakhir. Namun, pada Februari 2025, terjadi deflasi sebesar 0,27 persen, yang menunjukkan adanya penurunan permintaan dan aktivitas ekonomi.​

Namun, penting untuk dicatat bahwa sebagian besar kebijakan efisiensi anggaran dan realokasi belanja tersebut mulai diimplementasikan setelah Dedi Mulyadi resmi menjabat pada Februari 2025. Oleh karena itu, pencapaian inflasi rendah pada Desember 2024 lebih mencerminkan hasil dari kebijakan yang diterapkan oleh Penjabat Gubernur Bey Triadi Machmudin. Dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Tahun Anggaran 2024, Dedi Mulyadi mengapresiasi kinerja Bey Machmudin, menyatakan bahwa capaian kinerja Jawa Barat pada tahun tersebut berada dalam kategori sangat baik, meskipun masih membutuhkan peningkatan di beberapa sektor.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun Ridwan Kamil menghadapi tantangan eksternal yang memicu lonjakan inflasi, pendekatan Dedi Mulyadi yang menekankan efisiensi anggaran dan alokasi ke sektor prioritas berpotensi menekan inflasi ke level yang lebih rendah. Namun, perlu diingat bahwa hasil nyata dari kebijakan Dedi Mulyadi akan lebih terlihat pada data inflasi tahun 2025 dan seterusnya, mengingat implementasi kebijakan tersebut baru dimulai setelah beliau menjabat.

Dampak Kebijakan Dedi Mulyadi terhadap Inflasi dan Perekonomian Jawa Barat 

Sejak menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat pada Februari 2025, Dedi Mulyadi telah menerapkan berbagai kebijakan ekonomi yang berdampak signifikan terhadap inflasi dan perekonomian daerah. Langkah-langkah seperti efisiensi anggaran dan kebijakan spontan menunjukkan pendekatan yang proaktif dalam mengatasi permasalahan ekonomi.​

Salah satu kebijakan utama adalah efisiensi anggaran sebesar Rp5,5 triliun, yang dialokasikan untuk sektor prioritas seperti ketahanan pangan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Langkah ini tidak hanya meningkatkan efisiensi penggunaan dana publik, tetapi juga berpotensi menstimulasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi di sektor-sektor strategis.

Selain itu, kebijakan spontan seperti penghapusan denda pajak kendaraan bermotor berhasil meningkatkan pendapatan pajak daerah secara signifikan. Langkah ini menunjukkan bahwa kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah.

Menurut analisis dari berbagai sumber, pendekatan Dedi Mulyadi dalam mengelola ekonomi daerah menunjukkan hasil yang positif. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga. Kebijakan yang berfokus pada efisiensi dan responsivitas perlu diimbangi dengan strategi jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Gubernur Dedi Mulyadi menunjukkan pendekatan yang proaktif dan responsif terhadap permasalahan ekonomi di Jawa Barat. Efisiensi anggaran dan kebijakan spontan telah memberikan dampak positif terhadap inflasi dan perekonomian daerah.​

Ke depan, prospek inflasi di Jawa Barat di bawah kepemimpinan Dedi Mulyadi akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah daerah dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga. Implementasi kebijakan yang berfokus pada efisiensi dan responsivitas perlu diimbangi dengan strategi jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. (*)