KABARBURSA.COM - Independensi Bank Indonesia (BI) kembali menjadi sorotan di tengah dorongan untuk memperkuat peran bank sentral dalam mendukung pembangunan sektor riil.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, menyatakan bahwa tekanan terhadap independensi BI sudah mulai terasa sejak masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), dan hingga kini terus berlanjut.
“Jadi ini sebenarnya menguji independensi Bank Indonesia yang terus digoyang semenjak Covid,” ujar Handi dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025.
Menurut Handi, sejak pandemi, Bank Indonesia telah diminta untuk melakukan berbagai langkah tidak lazim, salah satunya melalui skema burden sharing dengan pemerintah, di mana BI membeli surat berharga negara di pasar sekunder guna membantu pendanaan fiskal.
“Kita ketahui Bank Indonesia dituntut untuk melakukan burden sharing yang mengharuskan Bank Indonesia membeli surat berharga di secondary market. Nah sampai kemudian diminta untuk banyak melakukan aksi-aksi yang mendorong pertumbuhan ekonomi atau sektor riil,” jelasnya.
Ia menilai, tekanan agar Bank Indonesia lebih fleksibel dalam merespons kebutuhan ekonomi justru bisa membelokkan fungsi utama bank sentral yang selama ini berorientasi pada stabilitas.
“Jadi memang ini juga perlu dikaji menurut saya, apakah kebijakan yang dilakukan oleh central bank ini untuk menyelaraskan dengan kebijakan fiskal itu kita butuhkan hari ini,” katanya.
Handi menekankan bahwa selama satu dekade terakhir, kebijakan ketat dan independensi yang dijaga oleh Bank Indonesia telah membantu menjaga kestabilan makroekonomi Indonesia, meskipun terjadi fluktuasi nilai tukar dan suku bunga.
“Strik kebijakan yang diperlihatkan oleh bank sentral selama ini yang kemudian bisa membuat dalam 10 tahun terakhir misalkan ya kita relatif stabil walaupun memang terjadi fluktuasi tingkat suku bunga, tingkat kurs mata uang tetapi masih dalam batas yang terkendali,” ujar Handi.
Namun kini, lanjutnya, BI dituntut untuk lebih lentur, serta ikut terlibat lebih dalam dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor riil. Kondisi ini dinilai membutuhkan kajian mendalam untuk menilai arah dan fungsi Bank Indonesia ke depan.
“Nah sekarang dituntut untuk lebih fleksibel, dituntut untuk bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada, terlibat dalam pembangunan di sektor riil. Nah saya pikir ini memang perlu ada satu analisis yang lebih komprehensif, lebih tajam bagaimana memposisikan keberadaan bank sentral kita ke depan,” tegas Handi.
Ia juga menekankan bahwa harmonisasi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi sangat krusial. Oleh karena itu, peran Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang menaungi seluruh otoritas terkait, perlu dioptimalkan untuk menciptakan sinergi kebijakan yang kuat dan efektif.
“Bagaimanapun harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter ini kuncinya juga ada pada regulator. Sekarang kita sudah punya KSSK yang membawahi semua regulator yang ada, nah ini perlu dioptimalkan kerja-kerja yang sudah dilakukan selama ini,” pungkas Handi.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menilai Indonesia memiliki kelemahan besar dalam kebijakan mikroekonomi yang berdampak pada daya saing. Meskipun demikian, ia menyebutkan bahwa Indonesia masih memiliki ketahanan yang cukup baik pada tingkat makroekonomi, terutama dalam kebijakan fiskal dan moneter.
Namun, belakangan ini, kondisi tersebut mulai terganggu. Yose menyebutkan bahwa kebijakan Bank Indonesia (BI) belakangan ini, yang terkesan ikut campur dalam program unggulan Presiden Prabowo, 3 juta rumah telah memicu ketidakpastian di pasar keuangan.
Untuk diketahui, Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) telah menggandeng kerja sama dengan sejumlah kementerian dan lembaga.
Hal itu merupakan hasil dari rapat tertutup yang berlangsung selama sekitar 1 jam di kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani, malam ini, Rabu 19 Feberuari 2025. Rapat itu juga diikuti oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Hasil dari rapat tersebut salah satunya yakni Bank Indonesia (BI) yang memberikan insnetif Kebijakan Likuiditas Mikroprudensial (KLM) senilai Rp80 triliun untuk mendukung program 3 juta rumah.
Dalam penjelasannya Ara menyebut salah satunya dukungan likuiditas jumbo itu bakal disalurkan untuk menambah dukungan pembiayaan perumahan melalui skema Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau KPR FLPP.
"Sebenarnya Indonesia ini memang sudah terkenal tidak mempunyai kebijakan mikroekonomi yang cukup baik. Kita kehilangan daya saing kita. Tetapi pada tingkatan makroekonomi sebenarnya Indonesia masih cukup resiliens. Kebijakan-kebijakannya cukup baik dengan disiplin yang cukup baik, baik itu pada disiplin fiskal maupun juga di disiplin kebijakan moneter kita," ujar Yose dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025..
Namun, ia menilai kebijakan BI yang seharusnya fokus pada disiplin moneter justru mulai terseret dalam upaya mendorong sektor perumahan, yang bisa berisiko bagi stabilitas pasar keuangan.
"Sayangnya beberapa waktu ini hal tersebut sudah mulai terganggu. Sehingga kita bisa lihat bagaimana Bank Indonesia malah ikut-ikutan ingin mendorong pembangunan perumahan. Kebijakan-kebijakan tetap pada tingkatan suku bunga kemudian tidak sejalan dengan berbagai kondisi-kondisi yang ada itu juga dilakukan," paparnya.
Lebih jauh, Yose mengungkapkan bahwa kebijakan semacam itu menimbulkan pertanyaan besar mengenai independensi Bank Indonesia dalam mengelola kebijakan moneternya, yang pada gilirannya mempengaruhi kepercayaan pasar keuangan Indonesia.
"Hal-hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan apakah independensi Bank Indonesia itu cukup baik atau tidak? Bisa kita jujur atau tidak? Dan ini sangat penting sekali, kritikal sekali ketika kita bicara tentang ketidakpercayaan di pasar keuangan," tegas Yose.
Menurut Yose, ketidakpercayaan yang terjadi di pasar keuangan dapat dengan cepat menular ke pasar saham. Salah satu dampaknya dapat terlihat pada penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG), yang mencerminkan rasa ketidakpercayaan investor terhadap kestabilan ekonomi Indonesia.
"Akibatnya kalau ketidakpercayaan di pasar keuangan itu memudar atau jatuh kita bisa lihat bagaimana dampaknya terhadap stok market kita yang sebenarnya merupakan indikator dari ketidakpercayaan tadi," kata Yose.
Tak hanya itu, ia juga menyebutkan bahwa ketidakpercayaan tersebut bisa memperburuk kondisi nilai tukar rupiah, yang sudah mulai tertekan dalam beberapa waktu terakhir. "Kemudian kalau ini dibarengi juga dengan capital outflow tentunya ini akan berpengaruh juga kepada nilai tukar rupiah," pungkas Yose.
Ketidakpastian yang menyelimuti arah kebijakan moneter, khususnya terkait independensi Bank Indonesia, membawa serangkaian risiko strategis yang patut dicermati oleh pelaku pasar. Salah satu risiko utama adalah kebijakan yang tidak terprediksi, di mana investor kesulitan membaca arah kebijakan suku bunga dan nilai tukar yang selama ini menjadi panduan utama dalam pengambilan keputusan investasi. Ketidakjelasan ini memunculkan kecemasan terhadap konsistensi dan kredibilitas pengambil kebijakan.
Selain itu, terdapat tekanan langsung terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan sektor keuangan, khususnya saham-saham perbankan yang sangat sensitif terhadap dinamika suku bunga dan stabilitas bank sentral. Setiap indikasi intervensi yang melampaui fungsi moneter murni dapat mendorong volatilitas pada sektor ini.
Dalam konteks yang lebih luas, ketidakpastian moneter juga membuka peluang terjadinya outflow asing, yaitu arus keluar dana investor global yang memilih mengalihkan portofolio ke negara dengan kebijakan yang lebih stabil dan terukur. Ini bisa memperburuk sentimen jangka pendek dan mengurangi likuiditas pasar domestik.
Terakhir, risiko volatilitas rupiah menjadi sorotan. Ketika nilai tukar menjadi tidak stabil akibat capital outflow dan tekanan kebijakan, maka emiten-emiten yang bergantung pada impor bahan baku atau utang dalam mata uang asing akan mengalami penurunan kinerja. Hal ini dapat berujung pada penurunan margin laba dan harga saham di sektor-sektor tertentu.
Secara keseluruhan, situasi ini menuntut kehati-hatian ekstra dari investor dalam menyusun strategi portofolio, serta menyoroti pentingnya transparansi dan konsistensi dalam kebijakan moneter untuk menjaga kepercayaan pasar.
Tips Investor
Dalam menghadapi ketidakpastian makroekonomi dan potensi terganggunya independensi Bank Indonesia, strategi investasi perlu disesuaikan dengan profil risiko masing-masing investor. Setiap kategori investor memerlukan pendekatan yang berbeda agar tetap dapat memitigasi risiko dan menangkap peluang yang tersedia.
Bagi investor konservatif, disarankan untuk mengurangi eksposur terhadap saham-saham siklikal yang rentan terhadap fluktuasi ekonomi dan gejolak kebijakan. Fokus utama sebaiknya dialihkan ke emiten defensif seperti sektor konsumer (ICBP) dan telekomunikasi (TLKM), yang cenderung lebih stabil di tengah ketidakpastian.
Untuk investor moderat, strategi yang disarankan adalah memonitor pergerakan saham properti dan konstruksi, terutama yang mendapat sentimen positif dari stimulus pemerintah seperti program KPR FLPP. Namun, perlu diimbangi dengan menghindari sektor perbankan dalam jangka pendek, karena sangat rentan terhadap volatilitas kebijakan suku bunga dan potensi tekanan terhadap margin.
Sementara itu, investor agresif dapat mengambil peluang melalui spekulasi jangka pendek pada emiten-emiten yang terpapar langsung pada program subsidi rumah, termasuk pengembang perumahan segmen menengah bawah. Meski begitu, strategi ini harus dilakukan dengan kewaspadaan tinggi terhadap risiko likuiditas dan fluktuasi nilai tukar, yang bisa dengan cepat mempengaruhi profitabilitas dan harga saham.
Dengan pendekatan yang terukur sesuai karakteristik masing-masing investor, potensi kerugian dapat diminimalisir sambil tetap membuka ruang untuk peluang cuan di tengah dinamika pasar yang tidak menentu.(*)