KABARBURSA.COM - Ekonom dari Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, menilai bahwa stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia terjadi bukan tanpa sebab. Ia menyoroti tiga faktor utama yang menjadi akar permasalahan, yakni tumpang tindih regulasi, kualitas sumber daya manusia yang belum optimal, serta tidak efektifnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Indonesia ini mengalami stagnasi pertumbuhan karena tiga faktor utama ya. Pertama adanya tumpang tindihnya aturan, kemudian persoalan SDM dan yang ketiga tidak efektifnya APBN sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi,” ungkap Handi dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025.
Permasalahan ini, lanjut Handi, turut tercermin dalam tingginya rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia, yang saat ini berada di angka 6,5. Angka tersebut jauh di atas rata-rata negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang hanya berkisar 4 hingga 5.
Sebagai catatan, ICOR adalah rasio yang menunjukkan perbandingan antara tambahan investasi dengan tambahan output suatu negara. ICOR juga merupakan indikator makro yang menggambarkan efisiensi perekonomian suatu daerah.
Untuk diketahui, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), ICOR Indonesia mencapai 6,33 persen pada 2023. Angka tersebut lebih rendah dibanding ICOR Malaysia di angka 4,5 persen, Thailand 4,4 persen, Vietnam 4,6 persen, dan Filipina 3,7 persen.
“Nah tiga hal ini juga kemudian tercermin dari angka ICOR ya. Incremental Capital Output Ratio kita yang cukup tinggi 6,5 dibandingkan negara peers di kawasan ASEAN ini yang sudah 4 sampai 5,” jelasnya.
ICOR yang tinggi menjadi indikator bahwa investasi di Indonesia membutuhkan biaya yang besar untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang setara. Ini, kata Handi, memperlihatkan rendahnya efisiensi investasi nasional, yang kemudian menyebabkan investor melirik negara lain sebagai lokasi alternatif penanaman modal.
“Jadi artinya sebenarnya persoalan kita ini pemerintah itu juga sudah tahu gitu loh. Persoalan pertumbuhan kenapa kita terhambat ya tadi juga sudah disampaikan banyaknya hambatan, gangguan ya yang dilakukan ya dan kemudian kita mulai merasakan ketika para investor pindah dari Indonesia, pindah ke Vietnam, pindah ke Malaysia dan lain sebagainya,” katanya.
Handi pun mengkritisi wacana-wacana populis seperti pemberian tunjangan hari raya (THR) sebagai solusi ekonomi, yang menurutnya tidak menyentuh akar masalah.
“Jadi ini bukan persoalan kita memberikan THR atau tidak karena memang efisiensi investasi di kita ini tinggi, biaya tinggi gitu. Nah ini tercermin dari ICOR tadi,” tegas Handi.
Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi kebijakan dan keberanian menyelesaikan masalah secara struktural. Ia juga menyoroti kecenderungan pemerintahan yang hanya fokus dalam durasi singkat karena tersandera agenda politik lima tahunan.
“Jadi kuncinya memang konsistensi kita dalam menyelesaikan persoalan perekonomian kita ini perlu dilakukan. Jadi jangan sampai yang kita alami kan durasi pemerintahan kita ini kan singkat, 5 tahun yang fokusnya paling cuma 2-3 tahun karena setelah itu udah urusan politik gitu,” kata Handi.
Ia bahkan menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo pun mengalami degradasi konsistensi kebijakan, yang pada awalnya baik namun menurun seiring berjalannya waktu.
“Nah jadi ini yang mungkin perlu kita review ya bagaimana tadi ya dikatakan di awal Pak Jokowi bagus tapi kemudian masuk tahun ke-2, tahun ke-3 mengalami degradasi sampai kemudian ya banyak melahirkan kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif gitu,” tandasnya.
Meski begitu, Handi yakin pemerintah mengetahui secara jelas apa saja permasalahan ekonomi yang ada. Tantangannya adalah sejauh mana keseriusan untuk menyelesaikannya secara tuntas.
“Begitu juga dengan hari ini. Jadi saya tidak yakin pemerintah tidak mengetahui masalah yang ada nah tapi bagaimana menyelesaikan ini,” pungkasnya.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menilai Indonesia memiliki modal yang cukup kuat untuk menggali peluang di tengah tantangan ekonomi global yang kian kompleks. Meski Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025-2026 hanya sebesar 4,7 persen, Yose tetap optimistis terhadap prospek perekonomian nasional.
“Masih banyak berita baik dari Indonesia yang bisa kita lihat,” kata Yose dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025.
Salah satu modal utama Indonesia, menurut Yose, adalah keterbukaan terhadap diversifikasi dan relokasi investasi. Indonesia dinilai cukup aktif menarik investasi asing, termasuk dari perusahaan-perusahaan yang melakukan relokasi dari negara lain di tengah ketegangan perdagangan global.
Selain itu, Yose menyoroti inisiatif Indonesia dalam membangun kerja sama respons kolektif di kawasan ASEAN untuk menghadapi dinamika global. Upaya ini dinilai lebih efektif dibandingkan dengan negosiasi unilateral oleh masing-masing negara.
“Indonesia juga menginisiasi kerja sama respons kolektif dengan negara ASEAN dalam menghadapi dinamika global, bukan hanya melalui negosiasi masing-masing,” ujarnya.
Dalam mendorong permintaan domestik, Yose menyebut program-program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) bisa menjadi instrumen penting. Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan program tersebut sangat bergantung pada eksekusi di lapangan.
“Kalau bisa berjalan dengan baik, itu bisa menciptakan permintaan. Tapi, ‘kalau’-nya ini besar sekali. Misal, MBG menjanjikan bahwa bisa meningkatkan permintaan. Tapi, ‘kalau’ ini berhasil dan bisa dijalankan dengan baik. ‘Kalau’-nya ini besar sekali sehingga kita perlu perhatikan bersama-sama agar ‘kalau’-nya bisa terpenuhi,” jelas Yose.
Modal berikutnya yang dinilai mendukung stabilitas ekonomi Indonesia adalah tingkat inflasi yang masih rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi Indonesia pada Maret 2025 berada di level 1,03 persen (year-on-year/yoy), setelah sebelumnya mencatat deflasi 0,09 persen (yoy) pada Februari.
“Inflasi kita cukup rendah, sehingga sebenarnya bisa memberikan ruang untuk kebijakan yang sifatnya lebih ekspansif dan bisa mendukung perekonomian Indonesia lebih baik lagi,” kata Yose.
Pernyataan Handi Risza Idris menyoroti tiga kelemahan utama ekonomi Indonesia: tumpang tindih regulasi, kualitas sumber daya manusia yang belum optimal, dan ketidakefektifan APBN dalam mendorong pertumbuhan. Ketiga faktor ini menjadi sinyal bahwa struktur ekonomi nasional belum cukup efisien dalam menyerap investasi untuk menghasilkan output produktif. Tingginya ICOR Indonesia sebesar 6,5 menegaskan bahwa biaya investasi di Indonesia relatif mahal dengan hasil yang kurang optimal. Kondisi ini secara langsung menggerus minat investor institusi, khususnya dari luar negeri.
Handi juga menegaskan adanya relokasi investasi dari Indonesia ke negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Hal ini menjadi peringatan bagi investor portofolio maupun strategis, terutama yang memiliki eksposur di sektor manufaktur, properti, dan infrastruktur. Selain itu, kritik terhadap ketidakpastian kebijakan serta dominasi agenda politik lima tahunan meningkatkan kekhawatiran terhadap arah ekonomi jangka panjang. Akibatnya, banyak investor mengadopsi strategi wait and see, yang berpotensi menekan volume transaksi dan memperlambat pemulihan harga saham.
Tingkat inflasi Indonesia yang terjaga di 1,03 persen (YoY) membuka peluang bagi kebijakan fiskal dan moneter yang lebih ekspansif. Ini menjadi katalis positif terutama untuk sektor konsumsi, properti, dan infrastruktur. Meskipun terdapat arus keluar investasi, Yose Rizal menyoroti bahwa relokasi masuk tetap berlangsung, terutama dari negara-negara yang terdampak tensi geopolitik. Peluang ini membuka ruang bagi sektor industri dasar, energi terbarukan, dan kawasan industri di Indonesia.
Jika dieksekusi dengan efektif, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat mendorong pertumbuhan permintaan domestik. Hal ini berpotensi menguntungkan sektor consumer goods, makanan & minuman, serta ritel modern. Namun, Yose mengingatkan pentingnya faktor keberhasilan implementasi program ini agar manfaat ekonominya bisa benar-benar terasa di pasar domestik.