KABARBURSA.COM – Harga minyak mentah global melemah tajam pada awal pekan ini, di tengah kekhawatiran perlambatan permintaan akibat ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China. Ketidakpastian negosiasi tarif serta potensi perlambatan ekonomi global terus membayangi prospek harga minyak.
Kontrak berjangka Brent untuk pengiriman terdekat ditutup turun USD1,01 atau 1,51 persen menjadi USD65,86 per barel pada perdagangan Senin, 28 April 2025. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat melemah 97 sen atau 1,545 persen ke level USD62,05 per barel.
Pada dua sesi sebelumnya, Brent sempat mencatat kenaikan marginal, namun tetap mengakhiri pekan lalu dengan kerugian mingguan lebih dari 1 persen. Melemahnya harga minyak ini mencerminkan ketidakpastian pasar yang dipicu oleh sinyal-sinyal bertentangan dari Washington dan Beijing mengenai progres perundingan dagang.
John Evans, analis dari PVM, menyatakan bahwa ketegangan perdagangan Amerika Serikat-China kini menjadi faktor dominan yang mempengaruhi harga minyak, bahkan mengalahkan perhatian pasar terhadap perkembangan negosiasi nuklir antara Amerika Serikat dan Iran, serta dinamika internal dalam koalisi produsen minyak OPEC+.
Gary Cunningham, direktur riset pasar di Tradition Energy, menambahkan bahwa sikap "menunggu dan melihat" dari hasil perundingan dagang ini meningkatkan kekhawatiran investor. Ia memperingatkan bahwa jika negosiasi mengalami kegagalan, permintaan minyak dari China bisa mengalami penurunan yang signifikan, menambah tekanan terhadap harga.
Pasar minyak global juga terus bergejolak di tengah komentar yang bertentangan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan otoritas China mengenai kemajuan negosiasi tarif. Menteri Keuangan Amerika Serikat, Scott Bessent, pada Minggu lalu tidak mendukung klaim Trump bahwa pembicaraan dengan China sedang berlangsung, sementara pihak China secara terbuka membantah adanya negosiasi aktif.
"Sebagian besar sentimen pasar bergantung pada bagaimana situasi akan berkembang dalam 24 hingga 48 jam ke depan," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group. "Apakah kita akan melihat eskalasi ketegangan dengan Iran? Apakah China akan membeli lebih banyak minyak? Semua ketidakpastian ini membebani pasar."
OPEC+ dan Risiko Tambahan Terhadap Harga Minyak
Di tengah volatilitas ini, perhatian pasar juga tertuju pada rencana pertemuan OPEC+ yang dijadwalkan berlangsung pada 5 Mei. Sejumlah anggota OPEC+ diperkirakan akan mengusulkan percepatan kenaikan produksi minyak untuk bulan kedua berturut-turut, sebagai respons terhadap pasar yang masih rapuh.
Dalam catatan analis BNP Paribas, sentimen pasar telah berubah menjadi lebih bearish dibandingkan bulan sebelumnya. Laporan tersebut mencatat bahwa meningkatnya kekhawatiran akan ketidakompakan dalam koalisi OPEC+ menjadi faktor utama yang mengubah pandangan pasar.
BNP Paribas kini memproyeksikan harga Brent akan bertahan di kisaran USD60 hingga USD70 per barel pada kuartal II 2025, lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Selain dinamika pasokan dari OPEC+, ketidakpastian global juga diperburuk oleh perkembangan di Timur Tengah. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, menyatakan bahwa ia tetap "sangat berhati-hati" terhadap peluang keberhasilan dalam negosiasi nuklir yang berlangsung di Oman pekan ini. Sementara itu, sebuah ledakan besar di pelabuhan utama Iran, Bandar Abbas, dilaporkan telah menewaskan sedikitnya 40 orang dan melukai lebih dari 1.200 orang, menurut media pemerintah Iran.
Harga Minyak Melemah, Big Oil Terancam Pangkas Buyback
Dampak dari melemahnya harga minyak mulai terasa terhadap ekspektasi kinerja perusahaan minyak besar dunia (Big Oil) seperti Exxon Mobil dan Chevron. Kedua perusahaan tersebut dijadwalkan merilis laporan keuangan kuartal I pekan ini, di tengah kekhawatiran investor bahwa tekanan harga minyak akan membatasi kemampuan mereka untuk mempertahankan program dividen dan pembelian kembali saham (buyback).
Meski analis memperkirakan laba kuartalan Exxon dan Chevron masing-masing akan mencapai USD1,73 dan USD2,18 per saham menurut data LSEG, fokus utama investor kini beralih ke strategi keuangan perusahaan menghadapi harga minyak yang lebih rendah.
Harga rata-rata Brent sepanjang kuartal I tercatat sebesar USD74,98 per barel, naik 1,3 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun, setelah pengumuman tarif baru oleh Presiden Trump pada awal April, harga minyak mulai merosot, dengan rata-rata harga Brent sepanjang April tercatat sebesar USD66,79 per barel.
Analis dari beberapa firma riset memperingatkan bahwa jika harga bertahan di kisaran USD60-an sepanjang tahun ini, perusahaan seperti Chevron dan Exxon mungkin harus merevisi program buyback mereka. Chevron sebelumnya menargetkan buyback tahunan antara USD10 miliar hingga USD20 miliar, namun penurunan harga minyak membuat target tersebut sulit tercapai.
Data RBC Capital Markets menunjukkan bahwa untuk menutup pembayaran dividen dan buyback, Chevron memerlukan harga Brent di kisaran USD95 per barel, sedangkan Exxon memerlukan harga sekitar USD88 per barel. Jika harga minyak bertahan di USD60 sepanjang tahun, Bank of America Global Research memperkirakan Chevron hanya mampu membeli kembali saham sebesar USD11 miliar, dan Exxon sekitar USD13,5 miliar, lebih rendah dari proyeksi awal.
Meskipun demikian, analis menilai Exxon dalam posisi lebih kuat untuk mempertahankan pembayaran kepada pemegang saham, berkat cadangan kas yang lebih besar dan efisiensi biaya produksi. (