KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam, menilai Vietnam lebih unggul dibandingkan Indonesia dalam menarik investasi asing karena memiliki kepastian kebijakan yang lebih kuat.
Menurut Piter, sistem ekonomi Vietnam yang sosialis membuat keputusan pemerintah lebih konsisten dan tidak mudah berubah. "Vietnam itu negara sosialis, sistem kebijakan mereka masih sangat ditentukan oleh pusat, ditentukan oleh pemerintah. Kalau pemerintah sudah mengatakan A, itu A," ujar Piter dalam diskusi bertajuk IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025.
Sementara itu, lanjut Piter, situasi di Indonesia berbeda. Demokrasi ekonomi yang berkembang justru menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha.
"Kita kan masih banyak sekali yang kita sebut sebagai demokrasi ekonomi yang menyebabkan justru menjadi faktor kelemahannya kita. Bukan berarti demokrasi ekonomi jelek, tapi demokrasi ekonomi yang kita kembangkan itu yang masih belum pas untuk kita," jelasnya.
Ia mencontohkan kompleksitas persoalan lahan di Indonesia yang sangat berbeda dibandingkan Vietnam. Di negara tersebut, keputusan terkait peruntukan lahan untuk investasi dapat diambil dengan cepat dan minim perubahan.
"Ketika pemerintah sudah menetapkan peruntukan lahan untuk sebuah kegiatan investasi itu sudah bisa dikatakan pasti. Tingkat perubahannya kecil sekali," ujar Piter.
Lebih jauh, Piter mengungkapkan bahwa ketidakpastian kebijakan menjadi alasan utama investor asing enggan masuk ke Indonesia. Ia mengkritik respons pemerintah yang dinilainya belum tepat dalam merespons tantangan ekonomi. Menurutnya, banyak kebijakan yang lahir dari pengingkaran atas fakta di lapangan, seperti penurunan daya beli masyarakat.
"Pemerintah masih sangat mengingkari bahwa terjadi penurunan daya beli. Sederhana saja, ketika kita mengatakan Indonesia gelap, pemerintah kemudian mengeluarkan statement Indonesia cerah. Ini kan mengingkari. Padahal yang kita butuhkan adalah bagaimana kejujuran kita untuk menjadi pijakan menyusun kebijakan," tegas Piter.
Piter menambahkan, selama pemerintah tidak jujur terhadap data dan kondisi sebenarnya, akan sulit melahirkan kebijakan yang efektif. "Kalau kita tidak mau jujur terhadap data, terhadap kondisi yang sedang kita hadapi, kita sangat sulit untuk menyampaikan kebijakan yang tepat," ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya pemerintah untuk mendapatkan masukan informasi yang akurat dan relevan dalam penyusunan kebijakan. "Sering disampaikan, pemerintah kok sepertinya tidak mendapatkan masukan informasi yang cukup, yang benar. Sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah benar-benar didasarkan kepada data masukan yang sejalan," kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Piter menegaskan bahwa ketidakpastian kebijakan pemerintah menjadi faktor utama keluarnya investor asing dari Indonesia, bukan sekadar persoalan biaya seperti Tunjangan Hari Raya (THR). Ia menyebut anggapan bahwa kewajiban pembayaran THR menjadi penyebab hengkangnya investor sebagai keliru.
"Kita berhitungkan sebagai penyebab dari keluarnya investor. Memang THR ini adalah bagian dari kos biaya. Tapi saya kira itu terlalu kecil dan kalau secara statistik juga tidak bisa kita masukkan sebagai penyebab dari keluarnya investor," jelasnya.
Piter menjelaskan bahwa kewajiban membayar THR di Indonesia sudah diterapkan sejak lama, dan dalam periode tersebut, investor tetap datang dan pergi. Karena itu, ia menilai tidak ada hubungan langsung antara THR dan keluarnya investasi.
"THR ini kan sudah kita berikan cukup lama ya. Bukan hanya pada waktu-waktu terakhir ini saja. Ada periode di mana investor itu masuk, ada periode investor itu keluar. Jadi secara statistik kita mengatakan tidak ada relevansinya, tidak ada dampak dari THR terhadap keluarnya investor," tegasnya.
Menurut Piter, faktor yang lebih besar dan berpengaruh terhadap keputusan investasi adalah kepastian hukum dan kebijakan. Ia menyebutkan bahwa investor akan tetap bertahan meski biaya operasional tinggi asalkan ada jaminan keuntungan dan minim risiko.
"Biaya itu adalah sesuatu yang menjadi pertimbangan investor. Tetapi coba bayangkan kalau saya sebagai investor, biayanya besar, tetapi saya mendapatkan keuntungan yang besar. Saya berarti biaya saya tidak akan berhitungkan. Yang penting adalah keuntungannya," ujar Piter.
Piter menekankan bahwa ketidakpastian dalam kebijakan pemerintah menjadi momok terbesar bagi dunia usaha. Ia menyayangkan inkonsistensi dalam regulasi yang masih terjadi meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya reformasi.
"Yang seringkali menjadi pertimbangan sekali oleh para pengusaha, para investor adalah kepastian, ketidakpastian yang terkait dengan kebijakan. Makanya kebijakan pemerintah itu diharapkan adalah sebuah kebijakan yang memberikan kepastian. Kalau kebijakannya maju-mundur, kebijakannya 1-2 hari berganti, itu memunculkan ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang sangat-sangat dibenci oleh para pengusaha," paparnya.
Ia menyinggung upaya Presiden Joko Widodo di periode pertama dan kedua pemerintahannya untuk memperbaiki iklim investasi melalui reformasi perizinan. Namun, implementasinya dinilai belum cukup kuat untuk mengurangi ketidakpastian.
"Pada periode pertama Jokowi, periode kedua, itu kan good news-nya ya. Beliau berusaha untuk memperbaiki, memperbaiki perizinan, memperbaiki iklim investasi. Tapi sayangnya, apa yang diupayakan oleh Pak Jokowi itu tidak sejalan (dengan Presiden Prabowo) perubahan kebijakan, ketidakpastian itu masih tetap tinggi," ucapnya.
Ia bahkan menilai bahwa Undang-Undang Cipta Kerja, yang diklaim sebagai langkah untuk memperbaiki kemudahan investasi, belum berhasil mencapai tujuannya. "Bahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang katanya itu memperbaiki kemudahan investasi juga kita tahu itu tidak berhasil," tambah Piter.
Piter mengingatkan bahwa saat Indonesia masih berkutat dengan masalah ketidakpastian kebijakan, negara-negara lain justru memperbaiki sistem dan meningkatkan kualitas kebijakan ekonominya. Hal ini membuat Indonesia semakin tertinggal dalam persaingan menarik investasi global.
"Negara-negara lain justru sebaliknya memperbaiki sistem mereka, memperbaiki ekonomi mereka, memperbaiki kualitas kebijakan mereka. Sehingga apa yang menjadi faktor negatif, faktor kelemahan kita itu justru menjadi faktor keunggulannya mereka," tutupnya. (*)