KABARBURSA.COM – Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dradjad Wibowo, menilai strategi terbaik dalam menghadapi tekanan dagang internasional adalah dengan memangkas ekonomi biaya tinggi di dalam negeri.
Menurutnya, langkah ini jauh lebih efektif ketimbang sekadar bersandar pada negosiasi yang belum tentu menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan.
"Kalau negosiasi gagal, kita tetap kena tarif tambahan. Tapi kalau produsen kita bisa efisien, misalnya memangkas biaya produksi hingga 30 persen, dampaknya bisa diimbangi," kata Dradjad melalui keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, 26 April 2025.
Dradjad mencontohkan, saat pemerintah menghadapi tekanan dari Amerika Serikat untuk mengimpor daging sapi, Indonesia perlu berhitung dengan cermat. Apalagi, Indonesia saat ini memiliki surplus dagang besar dengan India sekitar USD13 miliar, berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2024. India, yang juga menjadi pemasok utama daging sapi bagi Indonesia, menyumbang ekspor daging senilai USD320 juta sepanjang 2023.
"Kalau kita mengalihkan impor ke Amerika, India bisa membalas dengan menaikkan tarif untuk produk unggulan kita, seperti kelapa sawit. Ujung-ujungnya Malaysia yang diuntungkan," jelasnya.
Lebih lanjut, Dradjad menyoroti kebijakan dalam negeri seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kuota impor yang rawan disalahgunakan. Ia menilai, sebagian kebijakan tersebut memang dirancang untuk melindungi industri lokal seperti sektor telekomunikasi, namun sebagian lainnya bisa menjadi celah korupsi.
"Hal ini perlu disisir satu per satu. Harus ada ketegasan untuk memilah mana yang murni kebijakan protektif, dan mana yang justru menjadi ladang rente," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), hingga Oktober 2024 telah diterbitkan 19.669 sertifikat TKDN untuk 22.667 produk nasional. Khusus sektor industri kecil, sebanyak 8.949 sertifikat TKDN telah diterbitkan untuk 11.940 produk. Pemerintah menargetkan rata-rata nilai TKDN nasional mencapai 50 persen pada 2024, naik dari 43,3 persen pada 2020. Program ini turut berdampak pada sektor-sektor strategis seperti Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT), yang kini 94 persen produknya berasal dari manufaktur dalam negeri.
Kebijakan TKDN juga berdampak langsung terhadap belanja pemerintah, dengan realisasi belanja atas produk manufaktur domestik diperkirakan mencapai Rp1.441 triliun pada 2024. Setiap Rp1 belanja produk dalam negeri diperkirakan menghasilkan nilai tambah ekonomi sebesar Rp2,2, memperkuat argumentasi perlunya efisiensi dan keberpihakan pada produksi lokal.
Dradjad juga mengingatkan pentingnya mengajak para pelaku usaha ekspor, khususnya yang menjual ke pasar Amerika seperti industri udang, untuk mengidentifikasi hambatan biaya di lapangan.
"Kalau mereka bilang biaya tinggi karena izin yang berbelit atau pungli di pelabuhan, ya itu yang harus kita potong. Supaya efisiensi tercapai dan mereka tetap bisa bersaing meski ada tarif baru," tegasnya.
Ia menegaskan, efisiensi dan pemangkasan biaya tinggi bukan hanya jargon lama, tapi harus menjadi strategi konkret dalam memperkuat daya saing Indonesia di tengah perang dagang global.
"Kita tidak bisa hanya berharap pada negosiasi. Saatnya pemerintah fokus membereskan struktur biaya di dalam negeri agar industri bisa bertahan," tutupnya.
Perlambatan Ekonomi Secara Menyeluruh
Kenaikan tajam tarif sejak awal tahun 2025 ini, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), bukan hanya membuat perdagangan global menjadi lebih mahal. Dunia kini tengah memasuki fase baru, semacam era pasca-globalisasi, yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan di banyak negara. Amerika Serikat, yang mengobarkan kembali perang tarif sejak Donald Trump kembali ke Gedung Putih, diperkirakan menjadi salah satu yang paling terpukul.
Trump telah memberlakukan gelombang demi gelombang kenaikan tarif sejak dilantik awal Januari. Mulai 5 April 2025, AS memberlakukan tarif dasar 10 persen untuk semua impor, dengan tarif lebih tinggi, hingga 24 persen untuk Jepang dan 20 persen untuk Uni Eropa, bagi negara-negara yang dianggap melakukan praktik perdagangan tidak adil. Langkah ini memicu respons balasan dari sejumlah negara.
Dalam laporan triwulanan terbarunya, IMF mencatat tarif impor Amerika kini sudah melampaui rekor yang tercipta pada masa Depresi Besar, sebuah pencapaian suram setelah dunia menikmati era tarif rendah selama lebih dari 80 tahun sejak Perang Dunia II berakhir.
"Sistem ekonomi global yang selama ini kita jalani sedang di-reset. Dunia sedang digiring masuk ke era baru," tulis penasihat ekonomi IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 22 April 2025.
Dampak langsung dari lonjakan tarif ini, menurut IMF, adalah perlambatan ekonomi global secara menyeluruh. Proyeksi pertumbuhan global untuk tahun 2025 dipangkas dari 3,3 persen menjadi 2,8 persen, sedikit lebih tajam dibandingkan saat invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Untuk 2026, IMF memperkirakan pertumbuhan global hanya mencapai 3,0 persen.
Negara-negara yang paling terpukul termasuk Meksiko, yang awalnya diproyeksikan tumbuh 1,4 persen, kini malah diprediksi menyusut 0,3 persen pada 2025. Moody's Investors Service juga telah merevisi prospek pelabuhan-pelabuhan utama di Amerika Serikat menjadi negatif, dengan proyeksi penurunan volume perdagangan impor sebesar 7 persen hingga 12 persen akibat dampak tarif baru.
Amerika Serikat sendiri mengalami revisi tajam: pertumbuhan ekonomi 2025 dipangkas dari 2,7 persen menjadi 1,8 persen, sementara untuk 2026 dari dua koma satu persen menjadi hanya 1,7 persen.
China turut terdampak, meskipun dalam skala lebih kecil. Proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk 2025 dan 2026 diturunkan menjadi 4,0 persen untuk kedua tahun, dari sebelumnya 4,6 persen dan 4,5 persen. Sementara itu, zona euro juga mengalami penyesuaian: dari pertumbuhan 1,0 persen menjadi hanya 0,8 persen.
Menurut IMF, kebijakan proteksionisme ini tidak hanya berdampak pada perdagangan global, tetapi juga menekan investasi dan output jangka panjang. Oleh karena itu, strategi memperkuat efisiensi biaya produksi di tingkat nasional menjadi semakin krusial dalam menjaga daya saing di tengah ketidakpastian global. (*)