Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kebijakan Fiskal dan Pengaruhnya buat Pertumbuhan Ekonomi

Dalam konteks ini, kebijakan fiskal mencakup berbagai aspek, seperti pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, serta penerimaan negara yang berasal dari berbagai jenis pajak dan retribusi.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 26 April 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Syahrianto
Kebijakan Fiskal dan Pengaruhnya buat Pertumbuhan Ekonomi Ilustrasi: Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi. (Foto: AI untuk KabarBursa)

KABARBURSA.COM - Kebijakan fiskal merupakan instrumen utama yang digunakan pemerintah untuk mengelola perekonomian melalui pengaturan pendapatan dan pengeluaran negara. Tujuan utamanya adalah menjaga stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, kebijakan fiskal mencakup berbagai aspek, seperti pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, serta penerimaan negara yang berasal dari berbagai jenis pajak dan retribusi.

Pada tahun 2025, perekonomian global menghadapi dinamika yang kompleks. Faktor-faktor seperti perubahan geopolitik, disrupsi teknologi, dampak perubahan iklim, dan pemulihan pascapandemi menjadi tantangan utama yang membentuk lanskap ekonomi dunia. Indonesia, sebagai bagian dari ekonomi global, tidak terlepas dari dampak tersebut. Bank Dunia (World Bank) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 menjadi 4,7 persen dari sebelumnya 5,1 persen, akibat meningkatnya ketidakpastian global dan pembatasan perdagangan.

Dalam menghadapi tantangan ini, kebijakan fiskal Indonesia diarahkan untuk mempercepat transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dilansir laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kebijakan ini ditempuh melalui optimalisasi tiga fungsi utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi diarahkan untuk mendukung transformasi ekonomi melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, percepatan pembangunan infrastruktur, dan mendorong aktivitas ekonomi bernilai tambah tinggi. Fungsi stabilisasi diperkuat dengan mengoptimalkan peran APBN sebagai penyangga kejut (shock absorber) untuk mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat. Sementara itu, fungsi distribusi diarahkan untuk mendukung berbagai program afirmasi dalam rangka penghapusan kemiskinan ekstrem dan penurunan stunting.

Artikel Kabarbursa.com ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam mengenai mekanisme kebijakan fiskal Indonesia, peranannya dalam perekonomian nasional, serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan memahami kebijakan fiskal secara aplikatif, diharapkan pembaca dapat melihat bagaimana kebijakan ini menjadi instrumen vital dalam menghadapi tantangan ekonomi dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan.

Dasar Teoretis dan Evolusi Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan dua instrumen utama dalam pengelolaan ekonomi makro. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan, namun berbeda dalam pelaksanaannya.

Kebijakan fiskal dijalankan oleh pemerintah melalui pengaturan pendapatan (seperti pajak) dan pengeluaran negara untuk mempengaruhi perekonomian. Instrumen utama kebijakan fiskal meliputi perubahan dalam tarif pajak, belanja publik, dan subsidi. Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.

Kebijakan moneter, di sisi lain, dilaksanakan oleh bank sentral (di Indonesia, Bank Indonesia) dan berfokus pada pengendalian jumlah uang yang beredar serta suku bunga. Instrumen kebijakan moneter meliputi operasi pasar terbuka, penetapan suku bunga acuan, dan pengaturan cadangan wajib bank. Tujuannya adalah menjaga stabilitas harga dan nilai tukar, serta mendukung pertumbuhan ekonomi.

Perkembangan kebijakan fiskal di Indonesia telah mengalami transformasi signifikan sejak era Orde Baru hingga saat ini.​

Pada masa Orde Baru (1966–1998), pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan fiskal yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan industrialisasi. Program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) diluncurkan untuk mendukung pertumbuhan industri dan perdagangan, serta mendorong investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). Namun, ketergantungan pada utang luar negeri dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan keuangan negara menjadi tantangan utama pada periode ini.

Setelah krisis ekonomi Asia pada 1997–1998, Indonesia memasuki era Reformasi, yang ditandai dengan upaya memperkuat tata kelola keuangan negara. Salah satu langkah penting adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menetapkan bahwa APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. 

Filosofi kebijakan fiskal Indonesia saat ini menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan sosial. Pemerintah berupaya memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya tinggi secara angka, tetapi juga merata dan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini tercermin dalam kebijakan fiskal yang mendukung pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan, serta program perlindungan sosial untuk kelompok rentan. ​

Dengan memahami perbedaan antara kebijakan fiskal dan moneter, serta evolusi kebijakan fiskal di Indonesia, kita dapat melihat bagaimana peran pemerintah dalam mengelola perekonomian telah berkembang dan beradaptasi terhadap tantangan zaman. Landasan hukum yang kuat dan filosofi yang menekankan pada keadilan sosial menjadi kunci dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

APBN dan Belanja Negara

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN merupakan instrumen utama kebijakan fiskal Indonesia yang berfungsi sebagai peta jalan pengelolaan keuangan negara. APBN mencerminkan prioritas pembangunan pemerintah dan menjadi alat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif serta berkelanjutan.​

Pada tahun 2024, APBN dirancang dengan total pendapatan negara sebesar Rp2.802,3 triliun. Pendapatan ini berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492,0 triliun. Pendapatan ini digunakan untuk membiayai berbagai program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.​

Belanja negara dalam APBN 2024 ditetapkan sebesar Rp3.325,1 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.467,5 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp857,6 triliun . Alokasi belanja ini difokuskan pada sektor-sektor strategis seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan perlindungan sosial. Misalnya, anggaran pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sementara belanja infrastruktur diarahkan untuk mempercepat pembangunan dan konektivitas antarwilayah.​

Namun, perbedaan antara pendapatan dan belanja negara menyebabkan defisit anggaran. Pada tahun 2024, defisit APBN mencapai Rp507,8 triliun atau setara dengan 2,29 persen dari PDB. Defisit ini dibiayai melalui pembiayaan anggaran, termasuk penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman lainnya. Pemerintah berkomitmen untuk mengelola defisit ini secara hati-hati guna menjaga keberlanjutan fiskal dan stabilitas ekonomi.

Strategi pengelolaan defisit anggaran meliputi konsolidasi fiskal dengan menurunkan defisit secara bertahap, optimalisasi pembiayaan investasi melalui selektivitas dalam pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN dan BLU, serta pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk mengantisipasi ketidakpastian global . Langkah-langkah ini diharapkan dapat menjaga kredibilitas fiskal Indonesia dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.​ 

Dengan demikian, APBN 2024 berperan sebagai motor penggerak ekonomi nasional melalui alokasi belanja yang strategis, sekaligus menghadapi tantangan defisit anggaran dengan strategi pengelolaan yang prudent. Keberhasilan dalam mengelola APBN akan sangat menentukan arah pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia di masa depan.

Memasuki tahun 2025, pemerintah Indonesia menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan total pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun. Sementara itu, total belanja negara direncanakan mencapai Rp3.621,3 triliun, yang terbagi atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.701,4 triliun dan transfer ke daerah serta dana desa sebesar Rp919,9 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran tahun 2025 diproyeksikan sebesar Rp616,2 triliun, atau setara dengan 2,53 persen dari PDB. 

Alokasi belanja negara difokuskan pada sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, ketahanan pangan, infrastruktur, dan hilirisasi industri. Strategi pengelolaan defisit anggaran meliputi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL), serta pembiayaan investasi yang selektif dan intensif, termasuk pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN dan Badan Layanan Umum (BLU) dengan tata kelola yang baik agar efisien dan produktif.

Infografis: Struktur APBN tahun 2025. (Foto: AI untuk KabarBursa)
Insentif Fiskal 

​Insentif fiskal telah menjadi salah satu instrumen utama dalam kebijakan ekonomi Indonesia untuk mendorong investasi dan pertumbuhan sektor-sektor strategis. Pemerintah menawarkan berbagai bentuk insentif, seperti tax holiday, tax allowance, dan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP). 

Tax holiday memberikan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Badan hingga 100 persen untuk jangka waktu tertentu kepada investor yang memenuhi kriteria tertentu, seperti investasi minimal Rp1 triliun. Sementara itu, tax allowance menawarkan pengurangan penghasilan kena pajak berdasarkan jumlah investasi atau kegiatan tertentu. PPN-DTP merupakan kebijakan di mana pemerintah menanggung PPN atas penyerahan barang atau jasa tertentu guna mendorong konsumsi dan investasi.

Sektor-sektor yang menjadi fokus penerima insentif fiskal meliputi manufaktur, energi, pariwisata, dan pertanian. Sektor manufaktur, sebagai penyumbang signifikan terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, mendapatkan berbagai insentif untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas. Sektor energi, terutama energi baru dan terbarukan, didorong melalui insentif untuk mendukung transisi energi dan ketahanan energi nasional. Pariwisata dan ekonomi kreatif, yang terdampak signifikan oleh pandemi, juga menerima insentif untuk mempercepat pemulihan dan menarik investasi. Sektor pertanian, sebagai penopang ketahanan pangan, mendapatkan dukungan melalui berbagai insentif untuk meningkatkan produksi dan efisiensi.

Evaluasi terhadap efektivitas insentif fiskal menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa studi mengindikasikan bahwa insentif fiskal dapat meningkatkan investasi dan output di sektor-sektor tertentu. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada desain kebijakan, pelaksanaan yang tepat sasaran, dan kondisi makroekonomi yang mendukung. Misalnya, evaluasi terhadap program insentif Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan dipengaruhi oleh efisiensi pelaksanaan, kecukupan terhadap kebutuhan, dan responsivitas program terhadap wajib pajak.

Namun, penerapan insentif fiskal tidak lepas dari tantangan. Risiko penyalahgunaan, seperti pemanfaatan insentif oleh perusahaan yang tidak memenuhi syarat atau tidak berkontribusi signifikan terhadap perekonomian, menjadi perhatian. Selain itu, ketidaktepatan sasaran dan kompleksitas administrasi dapat mengurangi efektivitas insentif. Pemberian insentif fiskal juga berpotensi mengurangi penerimaan negara, yang jika tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas ekonomi, dapat membebani APBN.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan evaluasi berkala terhadap kebijakan insentif fiskal, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta perbaikan dalam desain dan implementasi kebijakan agar insentif fiskal benar-benar berfungsi sebagai stimulus yang efektif bagi perekonomian nasional. Dengan pendekatan yang tepat, insentif fiskal dapat menjadi alat yang ampuh dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Salah satu studi kasus yang mencerminkan keberhasilan insentif fiskal dalam mendorong investasi strategis di Indonesia adalah sektor kendaraan listrik.

Salah satu contoh konkret efektivitas insentif fiskal di Indonesia terlihat pada perkembangan sektor kendaraan listrik dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, memberikan berbagai insentif fiskal, mulai dari pembebasan bea masuk atas komponen kendaraan listrik hingga pemberian tax holiday bagi investor yang menanamkan modal di sektor ini.

Dampaknya terlihat nyata. Investasi besar-besaran dari perusahaan otomotif global seperti Hyundai Motor Group dan Wuling Motors telah memperkuat industri kendaraan listrik nasional. Hyundai, misalnya, melalui fasilitas produksinya di Cikarang, Jawa Barat, menginvestasikan lebih dari USD1,55 miliar dan telah memproduksi Ioniq 5, mobil listrik murni pertama yang diproduksi secara lokal di Indonesia. Selain itu, kemitraan strategis dengan LG Energy Solution untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Karawang menunjukkan bahwa insentif fiskal berhasil menarik investasi di sepanjang rantai pasok industri kendaraan listrik.

Tak hanya itu, pertumbuhan investasi ini juga berdampak pada penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan transfer teknologi, serta memperkuat posisi Indonesia dalam peta industri kendaraan listrik dunia. Menurut Kementerian Investasi/BKPM, sektor kendaraan listrik diproyeksikan menjadi salah satu kontributor utama terhadap target realisasi investasi nasional yang mencapai Rp1.650 triliun pada tahun 2025.

Studi kasus ini membuktikan bahwa insentif fiskal yang dirancang dengan tepat sasaran dapat menjadi katalisator penting dalam mendorong sektor-sektor prioritas, mempercepat transformasi ekonomi, dan memperkuat daya saing nasional di era persaingan global yang semakin ketat.

Infografis: Jenis-jenis Insentif fiskal. (Foto: AI untuk KabarBursa)
Dampak Nyata terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Kebijakan fiskal, melalui instrumen belanja negara dan insentif fiskal, memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia. Analisis empiris menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap PDB. Studi oleh Surjaningsih et al. (2012) mengungkapkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap PDB, sementara kenaikan pajak dapat menurunkan PDB, sejalan dengan teori Keynes tentang peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian. Selain itu, penelitian oleh Miftahul Jannah et al. (2021) menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap PDB Indonesia, dengan koefisien regresi sebesar 1,010901, mengindikasikan bahwa setiap peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar satu satuan akan meningkatkan PDB sebesar 1,010901 satuan.

Pengeluaran pemerintah yang diarahkan ke sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan juga menunjukkan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian oleh Wahyudi (2020) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah provinsi untuk infrastruktur berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sementara pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan tidak menunjukkan pengaruh signifikan . Hal ini menunjukkan bahwa alokasi belanja negara yang tepat sasaran dapat meningkatkan efektivitas kebijakan fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance telah digunakan untuk menarik investasi di sektor-sektor tertentu. Studi oleh Lusiana et al. (2021) menunjukkan bahwa setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.010/2018 tentang tax holiday dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang tax allowance, investasi di Indonesia mengalami peningkatan. Namun, pemberian insentif ini belum mampu meningkatkan rasio pajak di Indonesia karena pengurangan dan pembebasan pajak penghasilan mempengaruhi penerimaan pajak yang berdampak langsung pada rasio pajak.

Studi kasus pada sektor energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), menunjukkan bahwa insentif fiskal dapat meningkatkan kelayakan finansial proyek-proyek tersebut. Kajian oleh Kementerian Keuangan dan GIZ (2018) mengembangkan model simulasi finansial untuk menghitung dampak insentif fiskal dalam pengembangan PLTMH dan PLTS, sehingga pilihan pemberian insentif fiskal dapat diukur efektivitasnya dalam mendorong investasi atau pengembangan energi terbarukan.

Secara keseluruhan, evaluasi kuantitatif dan kualitatif menunjukkan bahwa kebijakan fiskal, melalui belanja negara dan insentif fiskal, memiliki dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada desain kebijakan, pelaksanaan yang tepat sasaran, dan kondisi makroekonomi yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi berkala terhadap kebijakan fiskal untuk memastikan bahwa instrumen-instrumen tersebut benar-benar berfungsi sebagai stimulus yang efektif bagi perekonomian nasional.

Untuk memperkaya pemahaman atas posisi fiskal Indonesia dalam kancah regional, penting membandingkan pendekatan kebijakan fiskal Indonesia dengan beberapa negara ASEAN yang menghadapi tantangan serupa.

Perbandingan Kebijakan Fiskal Indonesia dan Negara ASEAN

Kebijakan fiskal di Indonesia, meskipun dirancang dengan prinsip kehati-hatian, tetap menghadapi tantangan yang tidak ringan di tengah dinamika ekonomi global. Untuk memahami posisi Indonesia secara lebih komprehensif, penting membandingkan arah dan kinerja kebijakan fiskal nasional dengan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, yang juga berupaya mengelola fiskal mereka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pascapandemi.

Dalam hal rasio belanja negara terhadap PDB, Indonesia cenderung lebih konservatif dibandingkan negara-negara tetangganya. Berdasarkan data IMF Fiscal Monitor 2024, belanja pemerintah Indonesia tercatat sekitar 16 persen dari PDB, sementara Malaysia mencapai sekitar 24 persen, Thailand sebesar 22 persen, dan Vietnam sekitar 21 persen. Angka ini menunjukkan bahwa ruang fiskal Indonesia relatif lebih terbatas, yang mencerminkan kebijakan pemerintah untuk menjaga defisit anggaran dan utang publik tetap dalam batas aman. Konsolidasi fiskal pascapandemi menjadi prioritas utama Indonesia, sejalan dengan target mengembalikan defisit APBN di bawah 3 persen dari PDB sejak tahun 2023, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.

Jika dibandingkan, Malaysia dan Thailand mengambil pendekatan yang sedikit lebih ekspansif. Malaysia, misalnya, memperpanjang stimulus fiskal untuk sektor kesehatan, bantuan sosial, dan dukungan UMKM hingga 2024, walaupun berisiko memperlebar defisit anggaran yang sempat menembus 5,5 persen dari PDB pada 2023. Thailand juga memperkenalkan stimulus fiskal baru untuk sektor pariwisata dan energi, termasuk program "Digital Wallet" yang besar untuk mendorong konsumsi domestik, yang diperkirakan meningkatkan defisit menjadi 4,2 persen dari PDB pada 2024.

Sementara itu, Vietnam mengadopsi strategi yang menarik. Pemerintah Vietnam menerapkan insentif fiskal masif untuk mendorong investasi asing langsung (FDI), termasuk pemotongan PPN dan pembebasan pajak korporasi bagi sektor teknologi dan manufaktur prioritas. Kebijakan ini berhasil menopang pertumbuhan ekonomi Vietnam yang tetap solid di kisaran 6 persen meskipun tekanan global meningkat.

Dari sisi insentif fiskal, Indonesia juga menawarkan tax holiday dan tax allowance untuk sektor-sektor prioritas seperti industri kendaraan listrik, pertambangan hilir, dan energi baru terbarukan. Namun, jika dibandingkan dengan Vietnam yang sangat agresif menarik FDI, atau Malaysia yang menawarkan insentif pajak khusus untuk industri digital, Indonesia dinilai masih perlu mempercepat reformasi administrasi insentif dan memperkuat eksekusi di lapangan untuk meningkatkan daya saingnya.

Secara keseluruhan, kebijakan fiskal Indonesia menunjukkan pendekatan yang relatif lebih berhati-hati dibandingkan beberapa negara ASEAN lain. Pemerintah tetap menyeimbangkan antara kebutuhan menjaga momentum pemulihan ekonomi dan kewajiban menjaga disiplin fiskal jangka panjang. Ke depan, dengan terus memperbaiki efektivitas belanja dan insentif fiskal, Indonesia memiliki peluang besar untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang kuat sekaligus menjaga stabilitas makroekonomi di tengah ketidakpastian global.

Infografis: Pengeluaran pemerintah di negara-negara ASEAN. (Foto: KabarBursa)
Strategi Fiskal Masa Depan

Memasuki era ketidakpastian global yang semakin kompleks, strategi kebijakan fiskal Indonesia ke depan dituntut untuk lebih adaptif, inovatif, dan berorientasi jangka panjang. Tidak cukup hanya berfungsi sebagai alat penstabil siklus ekonomi, fiskal masa depan harus mampu menjadi motor penggerak transformasi struktural menuju ekonomi yang inklusif, hijau, dan berdaya saing global.

Salah satu arah penting yang mulai diadopsi adalah penguatan kebijakan fiskal hijau. Sejalan dengan komitmen pemerintah terhadap agenda dekarbonisasi dan target Net Zero Emission pada tahun 2060, langkah-langkah konkret seperti penyusunan skema pajak karbon dan pemberian insentif fiskal untuk sektor energi baru dan terbarukan menjadi prioritas. Pajak karbon, yang mulai diimplementasikan bertahap sejak 2022, diharapkan bukan hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga mendorong perubahan perilaku industri menuju produksi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, insentif fiskal untuk sektor energi bersih seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), kendaraan listrik, dan industri hijau menjadi alat penting untuk mempercepat transisi energi nasional.

Di sisi lain, transformasi digital ekonomi turut mendorong kebutuhan reformasi fiskal yang lebih luas. Ekspansi ekonomi berbasis digital menuntut perluasan basis pajak baru, seperti pajak atas transaksi digital, layanan over-the-top (OTT), dan ekonomi platform. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memulai langkah ini dengan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi digital lintas negara sejak 2020, dan akan terus memperluas cakupan serta efektivitasnya ke depan.

Untuk memperkuat ketahanan fiskal jangka panjang, pemerintah juga berkomitmen meningkatkan rasio pajak terhadap PDB, yang saat ini masih relatif rendah dibandingkan rata-rata negara ASEAN. Target strategisnya adalah memperbaiki tax ratio secara bertahap melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, reformasi administrasi perpajakan, serta optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam dan aset negara.

Dalam kerangka besar Visi Indonesia Emas 2045, kebijakan fiskal masa depan diharapkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, memperkuat daya saing nasional, serta menciptakan ketahanan ekonomi terhadap berbagai gejolak global. Dengan strategi fiskal yang inovatif, hijau, dan inklusif, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama dunia di abad ke-21.

Simpulan dan Rekomendasi Strategis

Kebijakan fiskal Indonesia telah memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi. Melalui instrumen seperti belanja negara dan insentif fiskal, pemerintah berupaya mengarahkan perekonomian menuju transformasi yang inklusif dan berkelanjutan. Belanja negara yang difokuskan pada sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan telah menunjukkan dampak positif terhadap pertumbuhan PDB. Misalnya, pengeluaran pemerintah yang diarahkan ke sektor infrastruktur berkontribusi signifikan dalam meningkatkan konektivitas dan produktivitas ekonomi nasional.​

Selain itu, insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance telah digunakan untuk menarik investasi di sektor-sektor tertentu. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada desain kebijakan, pelaksanaan yang tepat sasaran, dan kondisi makroekonomi yang mendukung. Evaluasi terhadap efektivitas insentif fiskal menunjukkan hasil yang beragam, dengan beberapa studi mengindikasikan bahwa insentif fiskal dapat meningkatkan investasi dan output di sektor-sektor tertentu.​

Ke depan, kebijakan fiskal Indonesia diharapkan terus berperan sebagai instrumen utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memastikan bahwa alokasi belanja negara dan pemberian insentif fiskal dilakukan secara efisien dan tepat sasaran, serta didukung oleh evaluasi berkala untuk menilai efektivitasnya. Dengan pendekatan yang tepat, kebijakan fiskal dapat menjadi alat yang ampuh dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. 

Keberhasilan pengelolaan kebijakan fiskal akan menjadi fondasi penting bagi Indonesia untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di masa depan. Dalam konteks tantangan global yang semakin kompleks, kombinasi antara belanja negara yang produktif, insentif fiskal yang tepat sasaran, dan reformasi perpajakan yang progresif menjadi kunci untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional.

Infografis: Strategi fiskal masa depan Indonesia. (Foto: AI untuk KabarBursa)
Dengan arah strategis yang sudah mulai dirancang melalui konsolidasi fiskal, pengembangan sektor hijau, serta perluasan basis pajak digital, Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk meningkatkan daya saing dan stabilitas fiskal jangka panjang. Visi besar menuju Indonesia Emas 2045 menuntut kebijakan fiskal yang adaptif, inovatif, dan berkeadilan, sehingga momentum pertumbuhan yang telah terbangun tidak hanya terjaga, tetapi juga semakin diperkuat.

Dengan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan, kebijakan fiskal Indonesia tidak hanya akan menjadi instrumen penyangga perekonomian, tetapi juga motor utama transformasi menuju bangsa yang maju, makmur, dan berkelanjutan. (*)