Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

TKDN Ditekan AS, DPR: Kita Bukan Negara Kecil

Misbakhun meminta pemerintah tak tunduk pada tekanan AS soal TKDN dan GPN. Ia menegaskan kedaulatan ekonomi dan semangat nasionalisme harus jadi pijakan dalam setiap negosiasi.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 25 April 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Moh. Alpin Pulungan
TKDN Ditekan AS, DPR: Kita Bukan Negara Kecil Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun. Foto: KabarBursa/Dian Finka.

KABARBURSA.COM - Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengingatkan pentingnya menempatkan kepentingan nasional sebagai fondasi utama dalam setiap negosiasi dan diplomasi ekonomi. Ia menilai momen menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional menjadi waktu yang tepat untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan bangsa. Misbakhun menyebut salah satu perjuangan itu soal dagang dan kebijakan fiskal.

“Kita mulai memasuki bulan kebangkitan nasional. Esensi perjuangan itu harus kita ingat kembali. Kita boleh berunding, tapi tetap atas dasar kepentingan nasional,” ujar Misbakhun di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Jumat, 25 April 2025.

Misbakhun menanggapi dinamika hubungan dagang Indonesia dan Amerika Serikat yang belakangan menyoroti kebijakan dalam negeri seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Ia memandang pemerintah sebaiknya tetap konsisten pada prinsip kemandirian industri dan penguatan sistem ekonomi nasional.

Amerika Serikat yang dahulu mendorong kepatuhan pada protokol multilateral seperti WTO dan WHO, kini justru mundur dari berbagai kesepakatan global. "Kalau mereka boleh utamakan kepentingan nasional, masa kita tidak?” katanya.

Misbakhun menyinggung arahan Presiden Prabowo Subianto soal kemungkinan pembelian komoditas dari AS seperti kedelai, gandum, dan minyak asal Texas. Namun ia menekankan, kerja sama semacam itu harus dilakukan tanpa mengorbankan prinsip kedaulatan.

“Silakan kalau mereka tawarkan sesuatu yang tidak kita punya dan bisa memperkuat posisi kita. Tapi jangan pakai isu GPN atau TKDN untuk menekan kita. Kita negara merdeka, harus setara, dan saling menghormati,” ujarnya.

Mengenai komplain dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) terhadap kebijakan Indonesia, politisi Partai Golkar ini mendorong pemerintah agar tidak goyah. Ia meminta agar industri dalam negeri tetap menjadi prioritas utama.

“Bisnis ini harus dikelola oleh anak bangsa. Kalau kita butuh sesuatu yang belum bisa kita produksi, ya kita datangkan. Tapi semua harus demi memperkuat industri nasional,” katanya.

Misbakhun menilai pembentukan tim negosiasi oleh Presiden Prabowo merupakan sinyal kuat bahwa pemerintah bersedia membuka ruang dialog, namun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebijakan nasional. Arahan dari Prabowo pun sudah disampaikan secara terang, termasuk dalam forum sarasehan terakhir. Ia menekankan seluruh proses ini harus berorientasi pada tujuan utama, yakni menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia.

“Jangan sampai kita jadi korban dan diinjak demi pihak lain bisa naik. Kita juga bisa teriak ‘Make Indonesia Great Again’,” katanya.

USTR Soroti TKDN dan QRIS

Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tengah merampungkan pembahasan tarif impor dengan pemerintah Amerika Serikat. Kedua negara sepakat memberi tenggat waktu selama 60 hari untuk menyelesaikan isu kebijakan tarif resiprokal yang kian memanas sejak awal tahun.

Amerika Serikat saat ini menerapkan tarif tinggi—mencapai 32 persen—terhadap sejumlah produk asal Indonesia. Pemerintahan Donald Trump beralasan kebijakan ini merupakan langkah untuk menyeimbangkan neraca perdagangan yang dinilai merugikan AS. Washington menuding Indonesia selama ini menjalankan kebijakan tarif dan non-tarif yang dinilai mempersulit produk dan kepentingan AS masuk ke pasar dalam negeri.

Pernyataan tersebut ditegaskan dalam laporan tahunan bertajuk 2025 National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang diterbitkan oleh United States Trade Representative (USTR). Laporan ini merinci sejumlah keluhan yang secara spesifik ditujukan kepada Indonesia, mulai dari bea masuk yang dianggap melampaui batas ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) hingga regulasi yang dianggap memberatkan pelaku usaha asing.

Salah satu poin yang disorot adalah tarif impor untuk produk teknologi komunikasi berkode HS 8517, seperti peralatan switching dan routing. Meski tarif terikat di WTO seharusnya nol persen, Indonesia disebut masih mengenakan bea masuk sebesar 10 persen.

USTR juga menyoroti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2023 yang menaikkan bea masuk terhadap sejumlah barang kiriman. Perubahan ini dinilai meningkatkan beban bagi pelaku usaha, khususnya sektor e-commerce lintas negara.

Keluhan lainnya datang dari sektor perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak dianggap menjalankan proses yang tidak transparan, mulai dari sistem penilaian pajak yang rumit, hingga mekanisme sengketa yang lambat dan tanpa preseden hukum yang jelas. Ketentuan dalam PMK Nomor 41 Tahun 2022 mengenai PPh Pasal 22 juga dipersoalkan, terutama karena penambahan jenis barang yang dikenai pajak, yang menurut pengusaha AS membuat proses klaim kelebihan bayar bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Keluhan AS terhadap Indonesia. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.
Selain itu, kebijakan cukai terhadap minuman beralkohol impor turut dipermasalahkan. Produk luar negeri dikenakan tarif yang lebih tinggi hingga 52 persen dibanding produk lokal, tergantung dari kadar alkoholnya. USTR menyebut ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap produk asing.

Amerika Serikat juga menyoroti sistem perizinan impor di Indonesia. Perubahan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2024 tentang Neraca Komoditas dianggap telah menciptakan hambatan non-tarif baru karena prosedur perizinan yang tumpang tindih. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa kebijakan ini mempersempit akses pasar bagi pelaku usaha AS.

Kebijakan sertifikasi halal juga masuk dalam daftar keluhan. Perpres Nomor 6 Tahun 2023 mewajibkan semua obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang dijual di Indonesia harus bersertifikat halal, termasuk seluruh proses produksinya. Pemerintah AS menilai kebijakan ini dibuat tanpa konsultasi yang memadai dan tidak selaras dengan standar halal internasional yang telah disepakati banyak negara.

Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) juga ikut menjadi sorotan. AS menyampaikan kekhawatiran karena regulator Indonesia, yakni Bank Indonesia, tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional dalam proses penyusunan kebijakan tersebut. Hal ini dinilai berpotensi merugikan perusahaan teknologi dan keuangan asal AS yang ingin beroperasi di Indonesia.

Tak ketinggalan, aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) juga dikritisi. Pemerintah Indonesia dianggap memberlakukan batasan lokal yang menghambat masuknya produk-produk telekomunikasi dan elektronik dari perusahaan AS ke pasar domestik. Pemerintah AS secara terbuka meminta Indonesia menghapus kebijakan tersebut.

Secara keseluruhan, laporan USTR mencerminkan kekhawatiran Negeri Paman Sam terhadap meningkatnya kebijakan proteksionisme di Indonesia dan menyerukan agar seluruh hambatan ini dapat segera dihapus dalam kerangka perundingan dagang yang adil dan saling menguntungkan. Pemerintah Indonesia hingga kini belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut.(*)