KABARBURSA.COM – Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyampaikan pandangan kritisnya terhadap hubungan dagang Indonesia-Amerika serta proyeksi ekonomi nasional. Ia juga menegaskan pentingnya posisi strategis Indonesia di tengah dinamika geopolitik dan perang tarif global.
“Sebesar apapun Amerika, dia juga tetap membutuhkan Indonesia. Itu dulu posisinya,” ujar Awalil dalam acara siaran langsung KabarBursa Hari Ini, Kamis, 24 April 2025 malam.
Ia menekankan bahwa meski Amerika memiliki daya tawar yang besar, Indonesia tetap memiliki nilai strategis dalam rantai pasok global, khususnya karena produk ekspor padat karya yang menyasar pasar AS, seperti tekstil dan alas kaki.
Menurut Awalil, ekspor Indonesia ke Amerika menyumbang sekitar 12 persen dari total ekspor nasional. Dengan asumsi ekspor tahunan sebesar USD300 miliar, maka nilai ekspor ke AS bisa mencapai USD36 miliar. Lebih lanjut, ia menyebut bahwa Amerika dan India adalah dua negara dengan posisi surplus perdagangan terbesar bagi Indonesia.
“Kadang India, kadang Amerika. Tapi dua-duanya penting buat kita,” ucap dia.
Menanggapi isu tarif baru yang diberlakukan oleh AS di bawah pemerintahan Presiden Trump, Awalil mengingatkan agar pemerintah tidak tergesa-gesa atau bersikap emosional.
“Saya tidak sependapat jika Presiden kita menanggapi dengan gaya yang serupa. Harus cool. Tidak perlu dramatis, tapi pelajari secara rinci keinginan Trump, karena dibalik tarif itu pasti ada desain tertentu,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu optimis atau defensif dalam menyikapi pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh IMF dari 5,06 persen menjadi 4,7 persen.
“Kalau saya berpendapat, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan jangan terlalu normatif. Harus dijelaskan secara rinci langkah mitigasi dan arah kebijakan,” ujar Awalil.
Terkait diversifikasi pasar ekspor dan peran organisasi seperti BRICS dan OECD, Awalil bersikap realistis. “Justru dalam 1-2 tahun ini, lembaga seperti BRICS dan OECD sulit diandalkan. Pendekatan G2G, seperti kata Presiden, lebih rasional,” katanya.
Ia menekankan bahwa semua negara kini berebut pasar ekspor baru, dan Indonesia harus cermat dalam melihat peluang komoditas apa yang bisa dimaksimalkan, tanpa harus memaksakan diri mengejar angka ekspor semata.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar pemerintah menyeimbangkan penurunan ekspor dengan penguatan permintaan domestik dan perluasan investasi non-ekspor.
“Kalau kita stuck di USD290 miliar atau bahkan turun sedikit, itu bisa dikompensasi dengan konsumsi dalam negeri dan investasi sektor lain. Tidak harus di hilirisasi saja, bisa reindustrialisasi,” ucapnya.
Awalil juga menyinggung kemungkinan tekanan geopolitik di balik hubungan dagang Indonesia-AS. Ia menduga bahwa posisi Indonesia yang dianggap terlalu dekat dengan China bisa menjadi alasan tekanan dari Amerika.
“Tentu ini harus dikaji oleh pemerintah lewat berbagai jalur komunikasi strategis. Jangan cuma berasumsi, tapi betul-betul dicek,” ujarnya.
RI Jadi Negara ke-15 Penyumbang Defisit Dagang AS
Ketegangan dalam perdagangan global tengah memanas. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan tarif resiprokal terhadap 185 negara sebagai bagian dari langkah untuk menekan ketimpangan neraca perdagangan AS dengan mitra-mitra dagangnya. Dalam konteks ini, Indonesia turut masuk dalam radar Negeri Paman Sam sebagai negara penyumbang defisit perdagangan terbesar ke-15.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa kontribusi Indonesia terhadap defisit neraca perdagangan Amerika Serikat pada 2024 tercatat sebesar 1,40 persen. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi ke-15 dari 20 negara penyumbang defisit terbesar.
“Indonesia menjadi negara ke-15 terbesar penyumbang defisit perdagangan dengan Amerika Serikat,” kata Amalia dalam konferensi pers di kantornya, Senin 21 April 2025.
Untuk diketahui, berdasarkan grafik Share 20 Negara Penyumbang Terbesar Defisit Perdagangan Amerika Serikat Tahun 2024, China menjadi negara dengan kontribusi tertinggi terhadap defisit perdagangan AS, yakni sebesar 23,07 persen. Disusul oleh Meksiko (12,72 persen), Vietnam (9,35 persen), Jerman (6,36 persen), dan Irlandia (6,30 persen).
Sementara itu, negara-negara Asia lainnya seperti Taiwan, Jepang, Korea Selatan, India, Thailand, dan Malaysia juga tercatat sebagai kontributor signifikan. Di tengah tekanan global tersebut, posisi Indonesia menunjukkan bahwa nilai ekspor ke AS masih tinggi dibandingkan dengan nilai impornya dari negara tersebut.
Ketidakseimbangan ini makin diperuncing oleh meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Amalia menjelaskan bahwa pada 12 April 2025, China kembali menaikkan tarif retaliasi menjadi 145 persen untuk sejumlah produk impor dari Amerika. Tak lama berselang, pada 15 April 2025, AS membalas dengan menaikkan tarif menjadi 245 persen terhadap barang-barang dari China.
“Dan eskalasi konflik dagang antara Amerika Serikat dengan China terjadi dengan saling balas tarif impor yang diberlakukan untuk produk impor dari masing-masing negara,” ungkap Amalia.(*)