KABARBURSA.COM – Bank Indonesia mulai memberi sinyal kemungkinan menurunkan suku bunga acuannya dalam waktu mendatang, meski saat ini masih bertahan di angka 5,75 persen. Langkah ini diambil dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa keputusan tersebut masih dalam kajian mendalam, mengingat pentingnya menjaga nilai tukar rupiah serta mengendalikan laju inflasi.
"Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan BI rate lebih lanjut dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar rupiah, prospek inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan," ujar Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Kamis 24 April 2025.
Sebelumnya, dalam hasil Rapat Dewan Gubernur yang digelar pada 22–23 April 2025, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga Deposit Facility tetap di level 5 persen dan Lending Facility tetap di angka 6,5 persen.
Di tengah tekanan ekonomi global, BI pun memperkuat strategi stabilisasi nilai tukar rupiah. Salah satunya dilakukan melalui instrumen intervensi pasar, khususnya pada transaksi non-delivery forward (NDF) di pasar luar negeri atau offshore.
Perry mengungkapkan bahwa sejak 7 April 2025, intervensi secara berkala dilakukan di pasar NDF di wilayah Asia, Eropa, dan New York. Langkah ini dinilai efektif dalam menjaga kestabilan rupiah di tengah gejolak eksternal yang tinggi.
"Respon kebijakan ini memberikan hasil positif terjamin dari perkembangan rupiah yang terkendali stabil dan bahkan cenderung menguat yang tadi telah disampaikan oleh Bu Menteri Keuangan," jelas Perry.
Stabilitas Ekonomi Nasional
Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen pada bulan April 2025 mengukuhkan pendekatan hati-hati otoritas moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Langkah ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan menunjukkan bahwa BI masih fokus pada stabilitas nilai tukar rupiah, pengendalian inflasi, serta ketahanan sistem keuangan di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.
Stabilnya suku bunga ini juga diiringi dengan tidak berubahnya tingkat fasilitas deposito di 5 persen dan fasilitas pinjaman di 6,5 persen, memperlihatkan konsistensi kebijakan moneter untuk menjaga ruang stabilisasi ekonomi.
Di sisi makro, data ekonomi terbaru memberikan gambaran menarik mengenai arah kebijakan ini. Cadangan devisa Indonesia mengalami kenaikan dari USD 154,51 miliar pada Februari menjadi USD 157,09 miliar pada Maret 2025.
Peningkatan ini menjadi sinyal positif bagi pasar karena memperkuat daya tahan rupiah terhadap guncangan eksternal dan menjaga kredibilitas kebijakan moneter BI. Stabilitas suku bunga juga terlihat dari tingkat bunga antarbank yang tetap berada di 6,69 persen, mencerminkan kondisi likuiditas yang cukup terjaga di pasar uang domestik.
Namun, di tengah sikap stabil tersebut, terdapat sejumlah sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang perlu diwaspadai. Pertumbuhan kredit secara tahunan (year-on-year) turun dari 10,3 persen menjadi 9,16 persen pada Maret 2025, menandakan potensi perlambatan permintaan pinjaman dari sektor swasta.
Meski nominal pinjaman kepada sektor swasta naik menjadi Rp6.784 triliun, pertumbuhan yang moderat ini bisa menjadi sinyal bahwa dunia usaha masih menahan ekspansi, kemungkinan akibat suku bunga yang relatif tinggi dan ketidakpastian ekonomi global.
Data peredaran uang juga menunjukkan penurunan. Uang beredar dalam arti sempit (M1) turun dari Rp2.790 triliun menjadi Rp2.775 triliun, sementara uang primer (M0) juga mengalami sedikit penurunan.
Penurunan ini mencerminkan bahwa aktivitas konsumsi dan transaksi keuangan di masyarakat mungkin belum sepenuhnya pulih atau masih tertahan, yang pada akhirnya juga berpengaruh pada aktivitas sektor riil dan pertumbuhan ekonomi secara umum.
Dampaknya terhadap pasar saham Indonesia cenderung beragam. Di satu sisi, stabilnya suku bunga menjaga sentimen positif karena memberikan kepastian kebijakan dan menghindari tekanan mendadak pada biaya pinjaman.
Sektor-sektor seperti energi dan komoditas bisa tetap tangguh karena stabilitas nilai tukar mendukung pengelolaan biaya impor dan ekspor. Namun, bagi sektor properti dan perbankan, bunga acuan yang tetap tinggi dapat menahan permintaan kredit dan memperlambat pertumbuhan margin, khususnya untuk pembiayaan ritel dan hipotek.
Pasar juga menunggu kemungkinan penurunan suku bunga di paruh kedua tahun 2025 jika tekanan inflasi mereda dan kondisi global lebih bersahabat. Peluang ini bisa menjadi katalis positif bagi saham-saham berkapitalisasi besar yang sensitif terhadap suku bunga, seperti sektor teknologi, properti, dan otomotif.
Secara keseluruhan, sikap stabil dari Bank Indonesia pada April 2025 mencerminkan upaya menjaga keseimbangan antara menjaga stabilitas makroekonomi dan memberi ruang pertumbuhan. Meskipun efek langsung terhadap ekspansi bisnis dan konsumsi masih terbatas akibat tingginya suku bunga, konsistensi kebijakan ini memberikan sinyal positif bagi investor bahwa bank sentral bersedia menjaga fondasi ekonomi tetap kokoh di tengah gelombang ketidakpastian global.
Dengan pemantauan cermat terhadap inflasi, nilai tukar, dan aliran modal, langkah berikutnya dari BI sangat ditunggu oleh pelaku pasar yang mengincar arah kebijakan lanjutan di sisa tahun 2025.
Untuk diketahui, BI sebelumnya telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2025.
Adapun senior Chief Economist SSI Research, Fithra Faisal Hastiadi, menjelaskan bahwa keputusan BI merefleksikan keseimbangan yang hati-hati antara pengendalian inflasi dalam kisaran target 2,5±1 persen untuk tahun 2025 dan 2026, serta menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian global.
"BI menunjukkan sikap yang prudent dengan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memicu arus keluar modal atau melemahkan nilai tukar rupiah," ujar Fithra dalam keterangan tertulisnya kutip Kamis, 24 April 2025.
Perkembangan inflasi terbaru turut mewarnai prospek kebijakan moneter. Setelah mencatat deflasi tahunan pada Februari, inflasi Indonesia melonjak ke level tertinggi dalam tiga bulan terakhir sebesar 1,03 persen secara tahunan pada Maret. Meskipun mengalami kenaikan, tingkat inflasi ini masih jauh di bawah titik tengah target BI.
"Lonjakan inflasi ini tetap memberi ruang bagi BI untuk bersikap akomodatif bila dibutuhkan, namun tren inflasi tetap harus dipantau ketat, terutama risiko inflasi impor akibat depresiasi rupiah dan tekanan pasokan dari sisi perdagangan," lanjut Fithra.
Menanggapi tekanan pada nilai tukar rupiah, SSI Research merekomendasikan strategi intervensi moneter secara bertahap guna menstabilkan kurs di kisaran Rp16.500–Rp16.600 per dolar AS.
Berdasarkan analisis impulse response function (IRF), setiap suntikan devisa asing senilai USD1 miliar diperkirakan dapat menguatkan rupiah sekitar 100 poin.
"BI perlu menyuntikkan sekitar USD4 miliar ke pasar valas dalam dua tahap. Tahap pertama pada April sebesar USD2 miliar untuk memberi sinyal kuat ke pasar dan meredam tekanan spekulatif. Tahap kedua dilakukan pada Mei, bersifat kondisional mengikuti perkembangan indikator makroekonomi dan arus modal," ucap dia.
Ke depan, BI diperkirakan tetap mempertahankan bias kehati-hatian. Lingkungan global yang masih didominasi oleh suku bunga tinggi, ketegangan geopolitik, dan risiko perdagangan menjadi alasan utama pendekatan berbasis data dan sensitif terhadap risiko.
"Jika tekanan eksternal meningkat (termasuk potensi eskalasi perang dagang) BI perlu siap meningkatkan intensitas intervensi. Bila tekanan terhadap rupiah semakin tajam, kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin pada semester pertama menjadi opsi yang harus dipertimbangkan," tutur Fithra.(*)